Eropa & AS Tak Kuasa Hadapi Diplomasi Iran Soal Perundingan Nuklir

Sabtu, 04/12/2021 20:51 WIB
Wakil Sekjen European External Action Service (EEAS) Enrique Mora dan kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri Kani menunggu dimulainya pertemuan Komisi Gabungan JCPOA di Wina, Austria 3 Desember 2021. (Foto: Reuters)

Wakil Sekjen European External Action Service (EEAS) Enrique Mora dan kepala perunding nuklir Iran Ali Bagheri Kani menunggu dimulainya pertemuan Komisi Gabungan JCPOA di Wina, Austria 3 Desember 2021. (Foto: Reuters)

Jakarta, law-justice.co - Perundingan AS-Iran soal kesepakatan nuklir Iran 2015 terhenti hingga minggu depan. Musababnya, para pejabat Eropa tak kuasa menghadapi diplomasi Iran yang menuntut imbal balik keringanan sanksi ekonomi jika program nuklir dibatasi.

Akibatnya, para diplomat Barat kecewa atas tuntutan besar-besaran oleh pemerintahan baru Iran.

Putaran ketujuh perundingan di Wina adalah yang pertama dengan delegasi yang dikirim oleh Presiden Iran, Ebrahim Raisi, mengenai bagaimana menghidupkan kembali perjanjian. Iran bersedia membatasi program nuklirnya asalkan ada keringanan dari sanksi ekonomi.

Terpilihnya Ebrahim Raisi pada bulan Juni lalu menyebabkan perundingan nuklir Iran terjeda selama jeda lima bulan. Hal ini meningkatkan kecurigaan di antara para pejabat AS dan Eropa bahwa Iran bermain-main dengan waktu sambil memajukan program nuklirnya.

"Iran saat ini tampaknya tidak serius melakukan apa yang diperlukan untuk kembali patuh, itulah sebabnya kami mengakhiri putaran pembicaraan di Wina ini," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, dikutip dari Reuters, Sabtu (4/12/2021).

Para diplomat Barat mengatakan delegasi Iran telah mengusulkan perubahan besar pada teks yang dengan susah payah dinegosiasikan di putaran sebelumnya.

Kecewa dan Khawatir

Lebih dari lima bulan yang lalu, Iran menyela negosiasi soal perundingan nuklir. Sejak itu, Iran telah mempercepat program nuklirnya.

"Minggu ini, ia (Iran) telah mundur dari kemajuan diplomatik yang dibuat," kata pejabat senior dari Prancis, Inggris dan Jerman dalam sebuah pernyataan.

Tiga pejabat Eropa menyatakan kekecewaan dan keprihatinannya atas tuntutan Iran. Beberapa di antaranya mereka katakan tidak sesuai dengan persyaratan kesepakatan atau melampaui kesanggupan mereka.

Perjanjian 2015 memberlakukan batasan ketat pada kegiatan pengayaan uranium Iran. Iran membantah mencari senjata nuklir. Mereka menyatakan hanya ingin menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Sebagai imbalan atas pembatasan nuklir, kesepakatan 2015 yang dibuat oleh Iran dan enam kekuatan besar, yakni Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat - mencabut banyak sanksi AS, Uni Eropa, dan PBB terhadap Republik Islam tersebut.

Setelah lebih dari dua tahun kepatuhan Iran terhadap pembatasan inti, Presiden AS saat itu, Donald Trump, menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan pada 2018.

Dia menyebut koalisinya terlalu lunak terhadap Teheran dan menerapkan kembali sanksi ekonomi AS yang menyakitkan bagi Teheran.

Pada 2019, Tehran akhirnya melanggar banyak batasan kesepakatan pada pengayaan dan batasan lainnya. Dengan manfaat kesepakatan nuklir yang sekarang terkikis parah, beberapa pejabat Barat mengatakan hanya ada sedikit waktu tersisa sebelum dasar kesepakatan itu rusak dan tidak dapat diperbaiki.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan dia pikir kemungkinan putaran pembicaraan saat ini tidak akan berhasil. Hal ini mengisyaratkan untuk melibatkan lebih banyak negara, seperti negara-negara Teluk Arab, dalam diskusi yang lebih luas jika pembicaraan Wina gagal.

"Saya pikir sangat sulit untuk menemukan kesepakatan jika negara-negara Teluk, Israel, semua yang keamanannya terkena dampak langsung, tidak ambil bagian," katanya kepada wartawan di Dubai.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar