Sengkarut Kasus Karhutla Indonesia

Krisis Penegakan Hukum Pembakar Hutan

Sabtu, 04/12/2021 11:47 WIB
Kebakaran hutan (Foto: Dok. Greenpeace)

Kebakaran hutan (Foto: Dok. Greenpeace)

law-justice.co - Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan putusan kasasi yang membebaskan PT Kumai Sentosa dari kewajiban membayar ganti rugi Rp 935 miliar atas kebakaran lahan seluas 2.600 hektar. Putusan tersebut menguatkan apa yang diputuskan sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, yang menyebut bahwa PT KS bebas dari tuduhan untuk bertanggung jawab atas kebakaran hutan pada 2019 lalu.

Putusan MA tersebut dikritik oleh berbagai pihak, mengingat pertimbangan hakim adalah karena PT KS telah memasang plang ‘dilarang membakar hutan’. Dikhawatirkan, hal itu akan menjadi preseden buruk karena beberapa perusahaan yang dituntut bertanggung jawab atas kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera antara tahun 2015 - 2019, saat ini sedang dalam proses persidangan.

Selain itu, angin segar bagi perusahaan pembakar hutan juga akan semakin menunda-nunda proses eksekusi denda yang sudah dimenangkan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang diputus bersalah atas kebakaran hutan. Wahana Lingkungan Hdup (Walhi) menyebut bahwa pemerintah telah memenangkan denda Rp 18 triliun yang harus dibayarkan oleh beberapa perushaan, namun tidak kunjung dieksekusi.

Data dari Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 50 perusahaan telah digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kasus kebakaran hutan dari tahun 2015 hingga Juni 2020, dengan 11 putusan yang sudah final dan mengikat.

Namun, menurut sebuah siaran pers yang diterbitkan kementerian di tanggal 7 Agustus 2020, hanya ada 19 perusahaan yang telah digugat oleh kementerian. Sembilan di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan diputus bersalah. Kesembilan perusahaan yang diputuskan bersalah di periode 2015-2019 ini diperintahkan untuk membayar denda sebesar 3,15 triliun rupiah.

Dari 9 perusahaan tersebut, KLHK menyebut bahwa hanya 1 perusahaan yang sudah membayar denda, yakni PT Bumi Mekar Hijau. Tagihan atas denda terhadap perusahaan-perusahaan lainnya tidak jelas progresnya hingga saat ini.

Greenpeace sebagai NGO yang mengawasi lingkungan hidup mengakui penegakan hukum terkait perusakan dan pembakaran hutan di Indonesia masih belum maksimal dan terkesan setengah hati.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Asep Komarudin soal data kerusakan dan kebakaran hutan hingga tiap tahunnya ada peningkatan walau pun pemerintah melalui KLHK sudah menyiapkan aturan dan perangkat penindakan.

Namun menurut Asep ada beberapa hal yang dinilainya tidak maksimal misalnya soal transparansi data perusahaan yang dinyatakan bersalah dan dihukum karena terbukti melakukan pelanggaran pembakaran hutan.

"Mengenai sanksi administrasi, penekanannya hanya terkait standar-standar administratif yang harus dipenuhi perusahaan. Sementara sanksi denda (perdata) dan pidana, kata Asep, beberapa perusahaan pasti ada yang kena, namun tidak diketahui secara rinci perusahaan mana saja yang digugat oleh KLHK secara pidana maupun perdata," ungkap Asep kepada Law-Justice.co.

"Ada dua hal yang Greenpeace minta ke pemerintah, pertama pemerintah harus serius melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang sudah digugat Gakkum KLHK, terutama yang telah masuk dalam daftar putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda," tambah Asep.

Menurut dia, banyak perusahaan pembakar hutan yang tidak mampu membayar denda sehingga banyak perusahaan yang tidak bisa menjalankan sanksi dan hukuman.

Untuk itu diperlukan aturan mengikat agar perusahaan bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada negara.

"Jika memang perusahaan ini tidak mampu membayar denda, harus ada solusi lain yang intinya mengikat perusahaan untuk tetap bertanggung jawab, semisal menyita aset, agar kerugian negara atas kebakaran hutan terbayar," jelasnya.

"Pemerintah harus bisa bagaimana menyikapi permasalahan ini, jangan misalnya berkata ini semua ada di kewenangan pengadilan, iya kan enggak bisa juga melempar begitu saja terus kemudian oke nih kita tunggu saja menunggu dari pengadilan. Penegakan hukum terpadu kan enggak begitu, enggak main lempar-lemparan. Effortnya sudah sejauh mana kemudian bagaimana menginformasikannya kepada publik," tambahnya.

Lebih lanjut Asep juga bilang perlunya pengelolaan dana dari denda-denda yang didapat dari perkara Karhutla untuk restorasi dan perbaikan lingkungan yang rusak.

"Karena kan pertama ini uang yang besar, dan pasti akan dimasukkan ke kas negara. Bisa juga dipakai untuk restorasi dan sebagainya. Dan yang satu lagi, mengenai efek jeranya kepada perusahaan. Kalau kemudian dibiarkan begini saja artinya mereka (perusahaan) akan tetap beroperasi sebagaimana biasa tanpa ada misalnya rasa takut. Nah apa langkah yang diambil KLHK terhadap perusahaan ini. Sementara dia sudah dinyatakan bersalah dan harus bayar denda, tapi dia masih beroperasi," ungkapnya.

Lebih lanjut Asep Komarudin juga meminta perusahaan yang sudah terbukti melakukan pelanggaran hukum dan terlibat pembakaran hutan masuk dalam daftar hitam sehingga perusahaan itu akan terkena sanksi apabila belum memenuhi kewajibannya membayar denda.

"Bahkan misalnya, induk perusahaannya masih mengajukan izin lagi. Harusnya masuk daftar list hitam perusahaan-perusahaan ini. Bukan cuma perusahaannya, tapi juga orang-orangnya, bahkan pemiliknya bisa masuk daftar hitam karena satu dia belum memenuhi kewajibannya membayar denda. Jadi upaya terobosan seperti itu yang sebenarnya juga kita tunggu," ungkapnya.

"Kalau misal dia buka perusahaan lagi atau dia nominee sebagai penerima manfaatnya, dia melenggang begitu saja keuntungannya sudah didapat banyak, tapi menyisakan permasalah ini," tambahnya.


Perusahaan yang didugat pemerintah secara perdata terkait Karhutla (Foto: Repro)

Lemahnya eksekusi penegakan hukum oleh pemerintah kian menambah daftar suram masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahunnya. Data dari KLHK menunjukkan bahwa luas area kebakaran hutan di Indonesia secara konstan menunjukkan kenaikan sejak tahun 2016. Luas kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia yang diambil dari pantauan citra satelit Landsat sejak 2016 hingga 2021 adalah 438.363 hektar, 165.483 hektar, 529.266 hektar, 1.649.258 hektar, 296.942 hektar, dan 229.978 hektar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa sanksi administrasi dan denda adalah cara yang paling tepat ditempuh pemerintah saat ini terhadap perusahaan-perusahaan yang nakal. Dia mengatakan, bila perusahaan tersebut tidak patuh pada sanksi administrasi dan denda, peluang untuk dicabutnya izin usahanya sangat terbuka lebar.

Greenpeace berkeyakinan bahwa beberapa perusahaan harusnya sudah dicabut izinnya oleh pemerintah karena terjadi kebakaran terulang di area konsesinya. Misalnya PT Sumatera Riang Lestari, harusnya dicabut izinnya ketika konsesinya terbakar di 2019, karena izinnya sudah pernah dibekukan di tahun 215.

Terdapat tujuh perusahaan yang izinnya dibekukan karena kebakaran di lahan mereka di 2015 dan konsesi mereka kembali terbakar di 2019. Empat dari mereka adalah PT Bulungan Citra Agro Persada, PT Pesona Belantara Persada, PT Tempirai Palm Resources, dan PT Russelindo Putra Prima.

Penegakan hukum dan eksekusi yang mandul terhadap perushaan pembakar hutan ini membuat komitmen pemerintah untuk mencegak Karhutla dipertanyakan. Baru-baru ini, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar membuat sebuah Twitt yang kontroversial.

Dia menyebut, "Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi".

Pernyataan itu dianggap sebagai bentuk antipati terhadap masalah lingkungan, perubahan iklim, dan kerusakan hutan di Indonesia.

Sanksi KLHK tak Efektif
Asep Komarundi dari Greenpeace menjelaskan bahwa sanksi yang selama ini diberlakukan kepada pembakar hutan belum efektif dan tidak maksimal. Sehingga perlu dicari terobosan agar sanksi untuk perusahaan pembakar hutan tepat sasaran.

"Mengenai Sanski denda melalui mekanisme pengadilan ini pertama permasalahannya pada proses eksekusinya. Sehingga karena belum dieksekusi akhirnya ini jadi masalah tersendiri. Kalau yang diberikan sanksi administrasi itu, kita akan menanyakan sejauh mana keefektifan sanksi administrasi yang diberikan oleh Gakkum LHK. Karena kalau sanksi administratif, penekanannya adalah pemenuhan terhadap standar-standar administratif yang harus dilakukan perusahaan," jelasnya.

"Kalau sudah terjadi kebakaran, bukan lagi sanksi administrasi yang seharusnya berlaku. Tapi bisa pidana, bisa perdata. Pertanyaan kami kemudian adalah, siapa yang menentukan perusahaan ini dikenakan sanksi pidana saja. Lalu bagaimana menentukan bahwasanya ini dikenakan sanksi administratif saja?" tambahnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Erma Rini, mengatakan dirinya sudah menanyakan kembali perihal kelanjutan sanksi denda atas perusahaan pembakar hutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV dengan KLHK yang berlangsung pada Senin (29/11/2021) lalu, Anggia menanyakan progres penindakan terhadap sejumlah perusahaan yang sebelumnya sudah dijatuhi sanksi denda dari pengadilan.

Menurut Anggia, KLHK mengklaim kewajiban perusahaan itu masih dalam proses penagihan oleh pengadilan. KLHK tidak membeberkan secara rinci mengenai jumlah dan nama-nama perusahaan yang sudah membayar denda sebagai hukuman karena menggunduli hutan dengan api.

"(Proses) bayar itu bukan di teman-teman LHK, tetapi di ada di pengadilan. Datanya ada yang sudah, ada beberapa yang belum," kata Anggia saat dihubungi Selasa (30/11/2021).

Anggia tak memberikan rincian mengenai daftar perusahaan yang sudah diputus pengadilan untuk membayar denda karena mengaku belum menerima datanya dari Kementerian LHK. Dia hanya menyebutkan bahwa Komisi IV DPR telah mendesak Kementerian Lingkungan untuk melaporkan perkembangan penegakan hukum terhadap para perusahaan secara periodik.

"Kita masih meminta secara periodik per tiga bulan sekali. Tapi kita belum terima siapa yang sudah membayar dan siapa yang belum," katanya.

Mengenai fungsi pengawasan terhadap pembakaran hutan, Komisi IV DPR menurut Anggia sudah membentuk Panja Karhutla. Panja ini dibentuk bertujuan mencari solusi untuk mengatasi kebakaran hutan yang hampir setiap tahun terjadi. Di beberapa tempat selama kurun 2020-2021, Anggia mengklaim tidak terlalu banyak terjadi kebakaran hutan. Hal ini lantaran aktivitas perkebunan perusahaan sedikit terpukul karena pandemi.

Kendati begitu, Komisi IV menerima informasi dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, telah terjadi kebakaran hutan sebanyak lima kali selama 2021, letaknya persis di dalam Taman Nasional Manupeu Tanah Daru.


Data Karhutla (Greenpeace)

Komisi IV, Anggia melanjutkan, juga merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Salah satu revisinya adalah bagaimana memberikan efek hukuman lebih berat lagi bagi perusak lingkungan, termasuk di dalamnya adalah kebakaran hutan.

Komisi Lingkungan Hidup DPR RI sebelumnya sudah pernah menagih kelanjutan proses hukum terhadap perusahaan pembakar hutan yang kini terus bergulir di pengadilan. Dalam dokumen laporan singkat yang diperoleh Law-Justice, Komisi IV sebelumnya pernah menggelar rapat Panja dengan KLHK dan Badan Restorasi Gambut mengenai pengendalian serta penindakan kebakaran hutan dan hahan.

Dalam dokumen tersebut, Komisi IV melayangkan 13 tuntutan kepada KLHK tentang komitmen penegakan hukum kebakaran hutan. dua poin di antaranya disebutkan bahwa Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyampaikan data mengenai progres penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan selama periode 2010-2020, termasuk yang telah mendapatkan putusan inkrah serta pelaksanaan penyelesaian kewajiban pembayaran denda ganti ruginya.

"Selanjutnya data dimaksud agar dapat diserahkan selambat-lambatnya dua minggu setelah dilaksanakannya Rapat Dengar Pendapat ini," demikian isi dokumen rapat yang digelar pada Selasa, (23/3/2021) tersebut.

Berikutnya, Komisi mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mengambil langkah-langkah progresif dengan pendekatan penegakan pidana berlapis (multi-door) dalam rangka melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terkait kasus kebakaran hutan.

"Selanjutnya, Komisi IV DPR RI meminta Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan sampai ada putusan inkrah serta pelaksanaan putusan kasus tersebut," tulisan laporan tersebut.

Law-Justice juga memperoleh data berupa daftar perusahaan yang digugat oleh KLHK sepanjang 2015-2021. Dalam dokumen ini, ada 40 perusahaan yang kasusnya sudah masuk ke pengadilan. Dari total tersebut, 20 perusahaan digugat secara pidana dan 20 perusahaan lagi digugat secara perdata.

Menurut Anggia, Komisi IV belum menerima progres penegakan hukum terhadap 40 perusahaan tersebut dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Hutan Indonesia yang Kian Menipis
Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo menegasakan, cara ampuh yang untuk menekan angka Karhutla di Indonesia adalah dengan penegakan hukum. Bambang mengatakan, dengan adanya pengurangan areal kebakaran hutan dan lahan itu akan berimplikasi dengan pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca.

"Law enforcement merupakan salah satu tools yang efektif dalam menekan kebakaran yang terjadi dan termasuk upaya untuk mereduksi emisi gas rumah kaca," kata Bambang.

Fakta menunjukkan bahwa pengungkapan skandal Karhutla di Indonesia bisa menekan kasus kebakaran hutan.  Dalam studinya, Bambang mengungkapkan bahwa luas Kawasan hutan gambut pada tahun 2015 di Pulau Sumatera dan Kalimantan hanya seluas 438 ribu hektar dan 426 ribu hektar. Padahal, pada1990, hutan primer di kedua pulau itu membentang hingga 3,8 juta hhektar atau melebihi luas provinsi Jawa Tengah.

Dia menyebut dalam penelitianya bersama ahli ekologi dari University of Maryland Center for Environmental Science Amerika Serikat, Mark A. Cochrane, bahwa hutan yang tinggal sedikit itu hanya butuh waktu 50 tahun untuk habis bila laju Karhutla tidak ditekan.

Prediksi tersebut dihitung berdasarkan formula Fire Return Interval. Formula ini menggambarkan berapa lama waktu yang dibutuhkan sebuah area untuk habis terbakar berdasarkan rata-rata laju kebakarannya setiap tahun.

Perhitungan itu berbasis data satelit Terra/Aqua MODIS Burned Area Collection 6 yang mendeteksi area bekas terbakar secara bulanan sejak tahun 2001-2018.

“Kami juga menyandingkan data tutupan lahan gambut tahun 1990, 2007, dan 2015 dari studi yang pernah diterbitkan di jurnal Global Ecology and Conservation tahun 2016,” ujar dia.

Kabut asap akbat Karhutla (Foto: BNPB)

Dari data-data tersebut, Bambang menemukan bahwa setidaknya 8 persen (3.8 juta hektar) dan 9 persen (4,7 juta hektar) daratan Sumatra dan Kalimantan pernah mengalami kebakaran.

"Sekitar 45 persen area di Sumatera dan 32 persen di Kalimantan yang pernah terbakar itu berada di lahan gambut. Angka ini setara dengan seperempat dari total area gambut di kedua pulau tersebut,” paparnya.

Tingginya angka kebakaran di lahan gambut sejalan dengan kerentanan lahan gambut untuk tersulut api. Setiap tahun, rata-rata ada sekitar 2.8 persen dari total luas kawasan gambut di Sumatera dan Kalimantan yang dilalap api. Sedangkan laju kebakaran di luar kawasan gambut hanya 0.6 persen per tahunnya.

“Ancaman kebakaran lahan gambut 5 kali lebih besar dibandingkan dengan lahan non gambut. Jika tidak diredam, lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan akan habis dalam waktu 50 tahun,” imbuh dia.

Angka-angka yang disodorkan Bambang berpotensi menyeruak lebih besar karena adanya afaktor tutupan awan yang menghambat pantauan satelit. Presisi satelit tidak mampu mendeteksi Karhutla yang lebih kecil dari 6,25 hektar.

Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, menyebut bahwa kasus kabut asap di Indonesia saat ini memang mengalami penurunan. Namun bukan berarti kasus Karhutla tidak terjadi.

Menurut Wahyu, masalah Karhutla di Indonesia terus terjadi karena regulasi dan penegakan hukumnya masih mandul. Selain itu, masih kurangnya peran KLHK dalam mencegah alih fungsi lahan hutan.

"Kalau terus dibiarkan hutan menjadi lahan konsesi, akan terjadi pembukaan lahan dan kasus Karhutla pasti akan terulang,” kata Wahyu saat dihubungi Law-Justice.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Walhi di setiap daerah sampai tahun 2020, setidaknya Karhutla masih terjadi di Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Karhutla terjadi selama berturut-turut di lahan konsesi yang sama.

Wahyu menyebut opsi yang dapat dilakukan oleh KLHK adalah dengan melakukan moratorium hutan, sembari terus mengungkap modus-modus terselubung deforestasi yang sering menggunakan dalih izin pinjam pakai kawasan hutan.

"Melakukan komitmen moratorium hutan, minimal itu harus dilakukan, bukannya justru membiarkan. Tidak semua ekosistem bisa dipulihkan kembali, diantaranya seperti ekosistem gambut, jika rusak akan sangat sulit dipulihkan," bebernya.

Di tengah kasus-kasus Karhutla yang masih bermunculan, Wahyu menyayangkan munculnya berbagai regulasi yang kontraporduktif, seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja.

"Batas minimum kawasan hutan 30 persen, yang dulu diatur UU kehutanan dan UU penataan Ruang, dihapus Omnibus law CILAKA. Keterlanjutan konsesi di kawasan hutan, dibiarkan,"ujarnya.

Sorotan dari Walhi pada Pemerintahan Jokowi adalah masih ada kawasan hutan yang tidak sah di beberapa provinsi. Laporan tersebut merujuk pada audit BPK Tahun 2019 dimana masih adanya pemutihan kejahatan korporasi.

"Sangat ironis, pada masa presiden Jokowi, justru terjadi pemutihan kejahatan korporasi atas nama keterlanjuran diberikan waktu 3 tahun untuk penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit dalam omnibus," imbuhnya.

Menanggapi masalah Karhutla ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, pihaknya akan memastikan dan terus menjamin kepatuhan para stakeholder terkait.

Rasio menekankan kepada stakeholder perlunya untuk terus aktif menjaga lingkungan hutan supaya tidak terjadi Karhutla di wilayah masing-masing. Demi memperkuat upaya penegakan hukum terhadap Karhutla, Rasio menyebut pihak kementerian pun telah membuat kesepakatan bersama dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Penegakan hukum terpadu Karhutla merupakan terobosan untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum dan efek jera.  Aparat hukum sejak awal melakukan kerja bersama menangani kasus Karhutla.

Rasio mengatakan, Korporasi yang paling banyak mendapatkan peringatan adalah korporasi yang diberikan sanksi secara administrative, sementara yang dijerat secara perdata dan pidana tidak begitu banyak.

"Sudah ada 20 perusahaan kami gugat secara perdata terkait Karhutla, hampir semua gugatan kami dikabulkan oleh pengadilan. Selain itu, 833 korporasi diberikan sanksi administrasi, serta belasan lainnya dipidana karena Karhutla," kata Rasio kepada Law-Justice.

Dengan melibatkan unsur penegak hukum, Rasio meyakini bila penegakan hukum yang tegas dapat merubah oknum perilaku dari pembakar hutan dan lahan. KLHK juga tengah menyiapkan penegakan hukum Karhutla dengan sistem multi door, yakni menekankan Undang-undang yang berlapis supaya memberikan efek jera kepada pelaku.

"Tidak hanya menerapkan pasal berlapis, kami juga ingin menerapkan undang-undang berlapis bersama kepolisian dan kejaksaan, agar hukumannya semakin berat," terang dia.

Lebih lanjut Rasio menuturkan jika jajarannya saat ini terus melakukan upaya-upaya pemantauan setiap hari, utamanya dari hotspot yang terdeteksi dari satelit. Hal Ini dilakukan untuk merespons setiap potensi Karhutla dengan memberikan peringatan pada lokasi-lokasi dimana adanya potensi Karhutla.

"Ada 134 surat peringatan yang sudah kami sampaikan kepada perusahaan-perusahaan yang lokasi-lokasinya terjadi Karhutla pada tahun ini," tuturnya.

Kontribusi Liputan : Givary Apriman, Rio Alfin Pulungan

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar