Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Imunitas Anggota DPR Ditengah Kepungan Pengaruh Penguasa

Sabtu, 04/12/2021 05:18 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist).

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist).

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini rekan saya anggota DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon, menjadi bulan-bulanan di dunia maya. Keberadaannya sempat menjadi tanda tanya setelah  dua minggu dikabarkan “menghilang” dari hiruk pikuk sosial media. Hilangnya Fadli Zon diduga karena mendapat teguran dari pimpinan partainya akibat cuitan-cuitannya.

Seperti diketahui, Fadli Zon mengkritik Presiden Jokowi karena dinilai lebih mementingkan berkunjung ke sirkuit Mandalika daripada berkunjung ke Sintang yang dilanda banjir hingga sebulan lamanya. “Luar biasa Pak. Selamat peresmian Sirkuit Mandalika. Tinggal kapan ke Sintang, sudah tiga minggu banjir belum surut," kata Fadli  Zon melalui akun @fadlizon yang dikelolanya.

Setelah menghilang dari jagad sosial media, belakangan Fadli Zon muncul lagi dengan kritikannya. Kali ini Fadli menyatakan UU Ciptakerja  bertentangan dengan konstitusi serta memiliki banyak masalah sejak awal proses penyusunannya. Menurutnya, banyak invisible hand atau tangan-tangan yang tidak terlihat di balik UU Ciptakerja.

Pernyataan tersebut pada akhirnya berbuntut panjang karena ia kemudian dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Adalah  mantan kader PKPI, Teddy Gusnadi  yang melaporkan ke MKD pada Senin (26/4/21) seperti diberitakan law-jusctice.co

Teddy mengkritik keras Fadli Zon dan menyebut bahwa salah satu fungsi DPR adalah sebagai pembentuk UU bersama dengan pemerintah yang berkuasa. Menurutnya, Fadli yang berstatus sebagai anggota dewan seharusnya menghormati UU Cipta Kerja bukan malah membuat framing dengan menuding seolah-olah produk UU Cipta kerja tersebut adalah negatif atau buruk hasilnya.

Teddy menilai Fadli terindikasi merendahkan  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan  Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, pernyataan Fadli juga bentuk ketidakpercayaan kepada putusan MK.

Merespons adanya laporan tersebut, Wakil Ketua MKD  DPR, Nazarudin Dek Gam seperti di kutip media mengatakan pihaknya akan mempelajari terlebih dulu isi laporan terkait Fadli Zon (anggota DPR Fraksi Partai Gerindra).

Dilaporkannya Fadli Zon ke MKD menyusul pernyataannya terkait UU Cipta kerja memunculkan tanda tanya seputar “kesaktian” hak imunitas yang dimiliki oleh wakil rakyat dalam menjalankan peran dan fungsinya serta konstelasi peta politik yang mempengaruhinya.

Seputar Hak Imunitas

Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) dalam kedudukannya di pemerintahan bertugas sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Ketiga fungsi tersebut dijalankan oleh DPR melalui para anggotanya.

Keanggotaan DPR yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum pada dasarnya merupakan bentuk pelaksanaan demokrasi guna menjalankan kedaulatan rakyat yang diwakilinya. Karenanya, anggota DPR memiliki beberapa keistimewaan (privilege) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan pejabat negara pada umumnya.

Keistimewaan tersebut berupa pemberian hak imunitas namanya. Hak imunitas adalah hak yang dimiliki anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan tugas dan kewenangannya.

Tujuan disematkannya hak imunitas adalah sebagai upaya optimalisasi  anggota DPR dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dengan demikian tujuan pokok hak imunitas parlemen adalah melindungi anggota parlemen dari tekanan yang tidak semestinya. Hak imunitas membolehkan anggota parlemen untuk bebas berbicara dan mengekspresikan pendapat mereka tentang keadaan politik tertentu tanpa rasa khawatir akan mendapatkan tindakan balasan atas dasar motif politik pula.

Keberadaan hak imunitas, akan menjadikan anggota DPR RI dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif untuk menyuarakan kepentingan rakyat, kepentingan bangsa, dan kepentingan negara. Secara yuridis formal, hak imunitas anggota diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga UU MD3 (MPR, DPR, dan DPD dan DPRD).

Meski demikian, pelaksanaannya harus tetap dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of power atau disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak seharusnya.

Karena bagaimanapun setiap anggota DPR wajib patuh terhadap kode etik yang berlaku selama menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Lembaga  yang menaunginya.

Anggota DPR diharuskan menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukan seorang anggota DPR harus sangat berhati-hati dalam lisan dan perbuatan yang ditunjukannya, bukan hanya semata-mata untuk menjaga kehormatan dan citra DPR melainkan mencerminkan representasi rakyat yang diwakilinya.

Oleh karena itu hak imunitas tidak berlaku apabila ada anggota DPR melanggar kode etik, seperti membuka perkara yang seharusnya tertutup dan dibuka ke publik karena hal tersebut adalah salah satu contoh kasus pelanggaran kode etik yang secara otomatis menganulir hak imunitas yang dimilikinya.Hak imunitas juga tidak berlaku manakala ada anggota DPR yang diduga menjadi pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara.

Jika ada anggota DPR yang diduga melanggar kode etik maka perkaranya akan di bawa ke sebuah Lembaga yang bernama Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Berdasarkan ketentuan dalam pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, menjelaskan bahwa MKD ini adalah suatu lembaga yang di bentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yang bertujuan untuk menjaga serta menegakkan kode etik dan kehormatan serta keluhuran martabat DPR.

Menguji “Kesaktian” Hak Imunitas

Adanya hak imunitas yang dimiliki oleh setiap anggota DPR di satu sisi dan tuntutan agar setiap anggota DPR ikut menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Lembaga  yang menaunginya di sisi lainnya menjadi persoalan yang cukup menarik untuk dikaji tentunya.

Dalam kasus yang menimpa Fadli Zon, yang bersangkutan tentunya memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.  Karenanya ia diberikan kebebasan untuk menyuarakan kepentingan rakyat, bangsa, dan kepentingan negara. Hak untuk menyuarakan pendapatnya ini antara lain dilakukan melalui kritikannya terhadap produk legislasi yaitu UU Cipta Kerja.

Menurutnya UU cipta kerja bertentangan dengan konstitusi serta memiliki banyak masalah sejak awal proses penyusunannya. Menurutnya, banyak invisible hand atau tangan-tangan yang tidak terlihat di balik UU Ciptakerja.

Tetapi apa yang disampaikan tersebut ternyata menjadikannya dilaporkan ke MKD oleh salah seorang warga. Menurut si pelapor, sebagai anggota dewan seharusnya menghormati UU Cipta Kerja bukan malah membuat framing dengan menuding seolah olah produk UU Cipta kerja tersebut adalah negatif atau buruk hasilnya. Dengan pernyataannya itu Fadli dinilai telah merendahkan lembaganya dan juga MK.

Sampai ke tahap ini serangkaian pertanyaan muncul terkait dengan hak imunitas anggota DPR dan keharusan seorang anggota DPR untuk menghormati norma dan etika demi terjaganya martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Lembaganya.

  1. Apakah kritik yang disampaian oleh Fadli Zon terkait dengan UU Cipta kerja tersebut tidak bisa dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan yang memang seharusnya dilaksanakannya ?.Bukankah sebagai anggota DPR Fadli Zon juga berhak melaksanakan otokritik terhadap Lembaga yang menaunginya ?
  2. Apakah kritik tersebut masuk kategori pelanggaran etika, karena Fadli Zon adalah anggota DPR yang seharusnya “mengawal” setiap keputusan yang diambil oleh lembaganya ?
  3. Jika kritik seorang Fadli Zon tersebut dinilai sebagai pelanggaran etika dan merendahkan martabat lembaganya dan juga MK maka penilaian ini berdasarkan pandangan siapa ?. Bukankah senyatanya rakyat menilai UU Cipta kerja bukan aspirasi dari rakyat pada umumnya dan hanya kehendak dari penguasa saja ?
  4. Apakah setiap keputusan yang telah diambil oleh Lembaga (DPR), dengan sendirinya anggotanya harus tunduk patuh tidak boleh memberikan opini yang berbeda ?. Kalau memang demikian halnya, bukankah ini sama artinya menjadikan DPR sebagai Lembaga stempel belaka sama dengan era orde baru berkuasa ?
  5. Apakah pengaduan Fadli Zon ke MKD ini bisa dimaknai sebagai bagian dari skenario untuk membungkam suara suara kritis yang selama ini mempunyai pandangan yang berbeda dengan pemerintah yang sekarang berkuasa ?

Kiranya daftar pertanyaan tersebut akan semakin bertambah panjang manakalan dikaitkan dengan relasi hubungan antara eksistensi anggota dewan, hubungannya dengan partai dan pengaruh pemerintah yang sekarang berkuasa.

Saat ini kasus yang menimpa Fadli Zon sedang berproses di MKD, apakah nantinya Fadli Zon di nyatakan bersalah karena dianggap melanggar etika atau sebaliknya. Semuanya akan tergantung pada proses yang terjadi di internal MKD dankepentingan kepentingan yang bermain didalamnya. Apakah MKD akan menghormati adanya hak imunitas yang dimiliki anggotanya atau sebaliknya menganggapnya tidak ada karena pengaruh penguasa.

Jika selama ini MKD dikenal publik sebagai “bungker” tempat berlindung anggotanya yang diduga melanggar norma dan etika, tapi kali ini bisa saja ia berubah menjadi tempat untuk “membugkam” suara kritis anggotanya karena derasnya pengaruh penguasa.  Kita lihat saja endingnya.

Konsekuensi Perubahan Peta Politik

Kasus yang menimpa Fadli Zon yang diadukan ke MKD karena kritikannya terhadap UU Cipta kerja tidak terlepas dari perubahan konstelasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia. Setelah 23 tahun reformasi ada kecenderunga demokrasi telah kembali ke era Orba berkuasa.

Kelembagaan DPR yang diawal awal reformasi cukup disegani karena mampu menjalankan fungsi kontrolnya saat ini telah menuju kearah Lembaga yang hanya menjadi stempel pemerintah belaka. Menurut Politisi Partai Gerindra Fadli Zon,saat ini DPR seolah telah menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif saja.Padahal,  fraksi-fraksi di DPR semestinya tetap mampu melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah yang berkuasa.

Hal senada disampaikan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Made Leo Wiratma. Made melihat DPR sebagai lembaga tinggi negara dengan fungsi utama sebagai representasi rakyat juga nyaris tak berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan berbangsa.

Fenomena tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari koalisi gemuk yang sekarang menjadi penguasa.  Gemuknya  koalisi partai yang mendukung pemerintah telah membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena  dengan sendirinya kubu Oposisi menjadi semakin "kurus" dan akhirnya tidak berdaya.

Secarah konsep demokrasi apabila salah satu kubu terlalu "Gemuk" akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan " one man show" sehingga tidak ada yang mengontrolnya.

Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi anggota DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa.Pada hal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang undangan dan demi lurusnya jalanya pemerintahan yang berkuasa.

Karena koalisi yang gemuk itu akhirnya terjadi skandal dimana diduga telah terjadi “perselingkuhan” antara DPR dan pemerintah yang sekarang berkuasa. Dengan merapatnya kekuatan partai politik di DPR untuk mendukung Pemerintah maka potensi untuk terjadinya praktek “perselingkuhan” sangat terbuka. Hal ini ternyata sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang Undang yang nyaris tidak ada “perlawanan” dalam proses pembahasan dan pengesahannya.

Bahkan dalam beberapa kasus DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.

Terjadinya “ perselingkuhan “ ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.

Terbentuknya koalisi gemuk menyusul dugaan terjadinya perselingkuhan antara DPR dan pemerintah yang berkuasa pada akhirnya berimbas pada kinerja anggota DPR yang ada di Senayan sana.  Meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami  pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.

Seperti  yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu dikendalikan oleh ketua umum partainya. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layer sebagai pemegang remot kontrolnya.

Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya," ungkapnya seperti dikutip media.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya  termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.

Itulah hal hal yang sekurang kurangnya menjadi penyebab mengapa saat ini gedung DPR semakin sunyi tanpa suara. Ada sayup sayup suara perorangan anggota DPR tapi hampir pasti suara mereka tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan konstelasi politik yang ada.

Di tengah situasi politik seperti itulah anggota DPR menjalankan fungsi dan tugasnya. Ia seperti mendayung diantara dua karang yang berbeda. Satu sisi adalah menjalankan perannya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan menjalankan idealismenya. Disisi lainnya ia harus patuh terhadap rambu rambu partai dan pengaruh penguasa. Bisa dipahami kalau kemudian banyak anggota DPR yang memilih jalan aman yang penting tercukupi kepentingan dirinya dan tidak terganggu untuk kursinya di periode berikutnya.

Inilah yang membedakan seorang wakil rakyat yang mempunyai jiwa politisi dan wakil rakyat yang mempunyai semangat negarawan dalam jiwanya. Sebuah semangat kebangsaan yang sudah semakin langka saja nampaknya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar