Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Kleptokrasi, Oligarki dan Runtuhnya Demokrasi di Masa Pandemi

Selasa, 30/11/2021 12:27 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

law-justice.co - Secara etimologi kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kleptes (pencuri) dan kratein/kratos (kekuasaan). Dalam artikelnya yang  berjudul Kleptocracy or Coruption as a System of Government (1968), Stanislav memaknai kleptokrasi sebagai sebuah pemerintahan yang sangat dekat dengan praktik korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal atau tidak semestinya. Sebab itu, kleptokrasi dapat dianggap sebagai label yang tersemat bagi suatu negara yang digerogoti praktik korupsi oleh sang penguasa.

Kleptokrasi tumbuh subur ketika kekuasaan dipegang oleh segelintir elite penguasa. Kleptokrasi akan membusukkan sistem dan sistem  dan sistem yang busuk bisa dimanfaatkan segelintir orang untuk menguasai sumber daya dan menguasai posisi-posisi strategis di struktur kekuasaan yang ada. Singkatnya, dengan kleptokrasi akan membuat Oligark (segelintir elite penguasa) lebih leluasa untuk mengepakkan sayapnya. Kleptokrasi dan oligarki tak ubahnya saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kolaborasi yang serasi  antara kleptokrasi dan oligarki pada akhirnya memberikan warna tersendiri bagi wajah demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang sempat tumbuh cukup menggembirakan di awal awal reformsi kini redup kembali tergilas oleh praktek kleptokrasi yang dikendalikan oleh segelintir elite penguasa.

Seperti apa gambaran  wabah kleptokrasi yang kini disinyalir tengah menjangkiti para pejabat di tengah pandemi virus corona?, Bagaimana praktek kaum oligark memanfaatkan pandemi saat ini untuk mengamankan kepentingannya? Benarkah persekongkolan antara kleptokrasi dan oligarki menjadi penyebab mundurnya demokrasi di negara kita?

Wabah Kleptokrasi

Wabah kleptokrasi sesungguhnya sudah menyerang Indonesia sejak lama. Sudah terjadi pada waktu zaman orde lama, terus berkembang pada zaman orde baru (orba) dan tetap menjangkiti pemerintahan hasil reformasi sampai pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Di tengah pandemi virus corona sejatinya masyarakat berharap agar elit penguasa berhenti sepenuhnya mempraktekkan kleptokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Alasannya karena rakyat sedang susah sehingga diperlukan empati untuk tidak menyakiti mereka. Tapi pada kenyataannya, kleptokrasi yang diwujudkan dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi tetap saja berjalan seperti biasa. Bahkan ada kecenderungan untuk memanfaatkan masa pandemi ini untuk melakukan aksinya.

Kiranya cukup banyak perilaku yang mengandung nuansa kleptokrasi selama perjalanan pemerintahan yang berkuasa ditengah pandemi virus corona.  Sejak pandemi corona melanda Indonesia pada awal tahun 2020 lalu , pemerintah menunjukkan watak aslinya dalam mengelola pemerintahan, yakni menormalisasi perilaku koruptif yang selama ini memang sudah seperti “budaya”.

Hal tersebut tercermin ketika Staf Khusus Presiden yakni Andi Taufan dan Adamas Belva, diduga terlibat konflik kepentingan dalam penanganan virus corona. Padahal setiap pejabat publik seharusnya memegang teguh rambu rambu hukum dan etika.

Andi Taufan Garuda Putra diketahui sebagai pendiri dan CEO dari perusahaan teknologi bernama PT Amartha Mikro Fintek. Saat pandemi, ia menandatangani sebuah surat yang ditujukkan ke Camat di seluruh wilayah Indonesia. Surat tersebut mengenai program kerja sama antara pemerintah dengan PT Amartha Mikro Fintek berkaitan dengan Relawan Desa Lawan virus corona.

Kasus lainnya yakni keterlibatan perusahaan milik Adamas Belva dalam program Kartu Prakerja. Adamas Belva diketahui sebagai pendiri platform pendidikan daring dengan nama Ruangguru, perusahaan yang notabene dia pemiliknya.

Tindakan yang dilakukan oleh Andi Taufan dan Adamas Belva diduga tidak sesuai dengan prinsip penanganan konflik kepentingan dan berpotensi melanggar aturan yang ada. Namun Presiden Joko Widodo selaku atasan Pejabat tidak melakukan tindakan apapun hingga pada akhirnya Andi Taufan dan Adamas Belva mundur dari jabatannya.

Aroma kleptokrasi juga tercium saat peluncuran progam Kartu Prakerja. Seperti diketahui pada 20 Maret 2020 yang lalu, pemerintah meluncurkan program kartu prakerja. Program ini berbentuk pemberian pelatihan daring berbayar yang biayanya dibayarkan negara kepada platform digital mitra prakerja. Program ini dinilai tidak efektif dan efisien mengingat banyak materi pelatihan telah tersedia gratis di platform digital lain, seperti Youtube dan sejenisnya. Program boros ini juga terkesan dipaksakan dilakukan di tengah pandemi virus corona dengan anggaran mencapai Rp 20 triliun dengan judul “solusi alternatif bagi masyarakat terdampak virus corona”.

Namun yang disesalkan pemilihan mitra platform digital terkesan dilakukan secara tertutup, tanpa lelang, dan bernuansa konflik kepentingan karena diduga ada peng peng (penguasa- penguasa)  bermain disana. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan delapan platform digital yang ditunjuk pada Maret 2020 bahkan telah mengadakan pertemuan tertutup beberapa bulan sebelum ketentuan pemilihan mitra. Sementara itu menurut ICW, tidak ada standar harga yang jelas untuk konten pelatihannya.

Kleptokrasi diduga juga terjadi pada kebijakan pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh  BPJS Kesehatan.Disini persoalant Transparansi pengelolaan program JKN oleh BPJS Kesehatan merupakan permasalahan yang disoroti sejak lama.

Sebagaimana diketahui, di tengah kesulitan warga dalam berhadapan dengan pandemi, pemerintah menaikkan iuran JKN. Padahal MA telah memutuskan bahwa permasalahan pengelolaan BPJS Kesehatan tidak layak dibebankan kepada warga. Putusan MA yang menyatakan demikian memang telah dibatalkan akan tetapi alasan tersebut semestinya masih relevan ditengah kondisi kesulitan warga yang masih didera pandemi virus corona.

Kleptokrasi juga diduga mewabah dalam masalah pengadaan barang dan jasa selama pandemi virus corona. Dalam hal ini masalah transparansi dalam pengadaan barang jasa sudah lama dicurigai sebagai persoalan utama.

Dari sisi anggaran, informasi yang disajikan pemerintah dalam portal website Kementerian Keuangan RI masih global sifatnya. Berdasarkan hasil pemantauan ICW mengenai PBJ (belanja barang dan jasa) untuk penanganan kesehatan virus corona, informasi perencanaan yang dimasukkan dalam situs website Kementerian Kesehatan tidak lengkap datanya. Nama-nama paket pengadaan terlalu umum dan spesifikasi paket tidak jelas, sehingga sulit menunjukkan bentuk pengadaan barangnya. Metode pengadaan yang dipilih pun tidak sesuai dengan persyaratan yang ada.

Dalam distribusi barang pengadaan baik untuk penanganan kesehatan maupun dalam rangka mengurangi dampak ekonomi, soal data memang menjadi masalah utama. Sebagai contoh dalam distribusi jenis dan jumlah alat material kesehatan seperti APD, masker, hazmat set, mesin PCR, ditemukan gap yang sangat timpang antara kebutuhan dan realisasinya. Akibatnya pada awal-awal pandemi, ada sekitar 61 tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena kekurangan alat material kesehatan yang seharusnya diperolehnya

Sementara itu untuk distribusi bansos, ditemukan masalah ketidaktepatan sasaran penerimanya. Persoalan juga muncul karena terjadi pemotongan/pengurangan/pungli, dan bansos tidak sesuai kebutuhan sehingga ada bansos yang diberikan kepada orang lain yang tidak berhak menerimanya.

Dalam hal distribusi bansos ini, diduga telah terjadi pesta besar besaran yang merugikan rakyat jelata di tengah pandemi virus corona. Praktek kleptokrasi yang terjadi dalam kasus ini telah menghambat pemulihan ekonomi, karena daya beli rakyat sebagian dihisap oleh para oknum pejabat yang diberikan wewenang mendistribusikannya. Kualitas bansos yang diterima rakyat menjadi sangat buruk, jauh di bawah standar yang semestinya.

Untuk sekadar contoh saja, pengadaan tas goodie bag bansos misalnya, ditunjuk grup tekstil besar asal Surakarta. Harganya konon dua kali lipat dari harga pasaran pada  umumnya. Grup ini mendapatkan kontrak bernilai triliunan dengan sistem tunjuk langsung tanpa proses lelang sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Secara hukum, penunjukan langsung untuk pekerjaan di atas Rp200 juta sudah tidak wajar karena menyalahi ketentuan yang ada. Tapi kelihatannya aparat tidak ada yang berani menyentuhnya karena bisnis ini diduga bersinggungan dengan “anak pak lurah” yang menjadi elite penguasa.

Sementara itu fee hasil menghisap hak rakyat dalam pengadaan bansos, dibagi-bagikan ke beberapa nama. Kabarnya ada nama yang sangat penting di sana (seperti Madam Bansos?) yang jatahnya tidak diboleh dikurangi walau sedikit jua. Persidangan kasus bansos mengungkap, bahwa ada juga aliran dana untuk membiayai kampanye pilkada untuk partai politik penguasa.

Di tengah pandemi yang masih memporak-porandakan kesejahteraan rakyat Indonesia kita disuguhi oleh perilaku kleptokrasi yang dipamerkan oleh pejabat teras negara. Misalnya saja, aksi Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang terjaring operasi tangkap tangan alias OTT karena suap yang diterimanya. Selain itu, ada pula Ismunandar Bupati Kutai Timur, Saiful Ilah Bupati Sidoarjo, Wenny Bukamo Bupati Banggai Laut, dan Ajay M. Priatna Wali Kota Cimahi yang sama-sama terkena skandal kasus yang sama. Kolase ini merupakan bukti kongkret kleptokrasi tengah menjamur menjangkiti pejabat negara. Bahkan KPK menyebut ada 22 Gubernur dan 122 Bupati Terlibat Perampokan Uang Negara.

Pejabat negara di level kementerian yang diduga terlibat korupsi dan penyalahgunaan kewenangan sebenarnya cukup banyak jumlahnya namun sejauh ini namanya baru disebut sebut terlibat namun masih belum ada proses hukumnya. Yang masih hangat adalah soal dugaan  keterlibatan dua Menteri dalam bisnis PCR yaitu Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir. Keduanya diduga terkait dengan bisnis tes PCR melalui PT GSI (Genomik Solidaritas Indonesia).

Kita tidak tahu pasti sampai kapan wabah kleptokrasi itu akan menjangkiti perilaku para pejabat negara. Karena pada kenyataannya ditengah pandemipun  perilaku itu tetap saja dipraktekkan seolah seolah menjadi hal yang sudah biasa. Wajar kalau kemudian dari hasil berbagai penelitian selalu mendudukkan Indonesia pada peringkat tinggi korupsi dibandingkan negara lain di dunia. Terakhir, laporan lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International, memposisi Indonesia pada urutan ketiga negara paling korup di Asia, setelah India dan Kamboja. (Bdk. https://www.transparency.org//24 November 2020).

Semangat kleptokrasi ini sudah barang tentu akan semakin panjang daftarnya manakala kita mengaitkan dengan mega korupsi yang terjadi di BUMN seperti yang menimpa Asabri, Jiwasraya dan yang lain lainnya. Korupsi yang bernilai triliunan rupiah namun hanya pelaku lapangan yang berhasil dikirim ke penjara sementara dalangnya bebas berkeliaran karena ada kekuatan yang membekinginya.

Oligarki Manfaatkan Pandemi

Selain wabah kleptokrasi, disaat pandemi corona ini elite politik penguasa yang dikuasai oleh kelompok oligarki sepertinya sedang memanfaatkan situasi yang ada. Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara. Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, politik maupun agama.

Di saat pandemi, rupanya mereka berusaha mengoptimalkan situasi yang ada untuk menangguk untung yang sebesar besarnya agar tetap terjaga kepentingannya. Mereka berupaya mengatur negara melalui “boneka bonekanya”. Mereka membiayai undang-undang, peraturan, termasuk membiayai politisi, media massa, lembaga survey, influencer, dan bahkan penegak hukum juga dibawah kendalinya.  Mereka bergerak cukup kompak dimana kekuatannya lintas parpol sehinga Lembaga perwakilan seperti DPR bisa dikendalikannya.

Yang terjadi kemudian adalah mandulnya Lembaga perwakilan itu karena tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya. Fungsi fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan tidak bisa dijalankan karena segala sesuatunya sudah dikondisikan sedemikian rupa untuk bisa berjalan seirama dengan kehendak pemerintah yang sedang berkuasa yang menjadi “bonekanya”.

Di bidang legislasi misalnya, produk yang dihasilkan DPR kerap kali bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat yang diwakilinya. Dalam konteks ini PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) telah menunjukkan bukti buktinya. Serperti dikutip media, menurut PSHK sepanjang 2020, setidaknya ada empat RUU kontroversial yang dibahas dan disahkan dalam waktu relatif singkat menjadi Undang-Undang, padahal, penolakan warga sangat besar terutama kalangan buruh dan mahasiswa.

Pertama, perubahan atas UU Minerba. Revisi UU yang tuntas dala tiga bulan mendapatkan memberikan kewenangan pengelolaan izin tambang bagi pemerintah pusat, yang sebelumnya dipegang pemerintah daerah."Selain itu, proses pembahasannya dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel," ujar PSHK.

Kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Penanganan Pandemi virus corona menjadi UU. Perundangan ini dianggap melanggar konstitusi karena memberikan kewenangan penganggaran yang sangat besar kepada presiden."Dan mereduksi fungsi anggaran DPR," tulis PSHK.

Ketiga, perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi (MK). Substansi perubahan UU ini dinilai tak relevan dengan kebutuhan MK. Salah satu poin kontroversial adalah penambahan periode jabatan hakim konstitusi menjadi maksimal 15 tahun, dari sebelumnya dua periode. Hal ini dianggap memicu konflik kepentingan karena UU Cipta Kerja tengah diuji di MK. Selain itu, revisi UU MK dibahas dalam waktu yang amat singkat tanpa partisipasi masyarakat.

Keempat, UU Cipta Kerja. Presiden Jokowi sejak awal sudah menggarisbawahi pentingnya UU ini meski penolakan warga sangat besar karena dinilai merugikan kalangan kaum buruh dan lebih berpihak ke pengusaha.

"Sikap pemerintah dan DPR yang terkesan memaksakan penyelesaian sejumlah RUU mengindikasikan adanya kepentingan tertentu di luar persoalan pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang seharusnya menjadi kewajiban mereka," ujar PSHK.

Selain empat Undang Undang di atas, tentu tidak bisa dilupakan adalah disahkannya Undang Undang Nomor 19 tahun 2019 mengenai Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2OO2 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam hal ini publik ramai menolak materi undang-undang tersebut karena  UU 19/2019 itu mengatur perubahan struktur dan mekanisme pemberantasan korupsi, seperti harus memperoleh izin terlebih dahulu dari dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan, dan sampai pada masuknya KPK di bawah payung pemerintah yang berkuasa. Revisi Undang Undang KPK disebut sebut sebagai upaya pelemahan lembaga anti rasuah itu setelah sekian lama cukup berjaya dalam mengantarkan para koruptor ke penjara.

Lolos dan disahkannya beberapa ketentuan Undang-Undang yang bersifat kontroversial sebagaimana dikemukakan di atas adalah sebagai bukti kemenangan oligarki sepanjang pandemi virus corona.

Ke depan sudah barang tentu kondisi “nyaman” yang telah dirasakan saat ini dan keberhasilan dalam menggoalkan beberapa ketentuan Undang Undang yang berpihak kepada kepentingan mereka harus tetap terjaga diperiode periode berikutnya. Kalau bisa malah sampai tiga periode meskipun menyalahi ketentuan yang ada.

Mereka tidak ingin ada perubahan kekuasasaan yang membuat kepentingan kelompok oligark ini terganggu karenanya. Oleh karena itu diupayakan agar kekuasaan negara tetap berputar putar di lingkaran mereka agar mudah untuk mengendalikannya. Sebab kalau sampai ada calon alternatif yang didukung rakyat menang dan menginginkan Indonesia lepas dari jeratan oligarki maka kaum oligark yang akan dirugikannya.

Salah satu cara agar kepentingan oligarki selalu terjaga adalah dengan menetapkan ambang batas presiden atau Presidential Threshold yang tinggi agar tidak ada peluang tokoh bangsa yang kredibel berkesempatan menjadi penguasa.

Presidential Threshold (PT) yang tinggi (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilpres), yang diikuti di daerah-daerah seluruh Indonesia (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilkada) adalah salah satu sumber utama dari korupsi politik  yang didorong kelompok oligark untuk menjaga kepentingannya.

Dengan adanya PT yang tinggi, tidak mungkin sebuah parpol mengusung calonnya sendiri, parpol terpaksa harus bergabung mendukung calon yang mampu membayar “sewa” parpol mereka. Si calon, bila kebetulan bukan orang yang kaya, terpaksa mencari dukungan grup-grup bisnis yang mau membiayai “sewa parpol” yang akan menjadi kendaraan politiknya.

Tidak main-main, dalam kontes semacam Pilpres harga sewa parpol infonya hingga triliunan rupiah nilainya. Ini sistem yang sangat jahat, menutup munculnya pemimpin alternatif yang dikehendaki oleh rakyat jelata. Sehingga calonnya menjadi itu-itu saja, kalau bukan orang yang kaya karena korupsi, dia harus orang yang dekat dengan grup-grup bisnis besar yang siap menjadi bandarnya. Nanti bila calon ini menang, gantian grup-grup ini minta balas jasa. Akhirnya pemimpin terpilih terpaksa korupsi lagi untuk balas jasa kepada para sponsornya.

Untuk  mengamankan persoalan PT ini maka antisipasinya lembaga seperti MK harus berada di bawah kendalinya, agar segala gugatan terhadap Presidential Threshold harus ditolak (sudah 15 kali ditolak). Apapun caranya, berapapun biayanya.

Runtuhnya Demokrasi

Kleptokrasi dan oligarki tak ubahnya saudara kembar yang saling mengisi antara satu dengan lainya. Perpaduan yang serasi ini pada akhirnya berimplikasi pada runtuhnya sebuah bangunan demokrasi di suatu negara.

Bahwa kleptokrasi dan oligarki menjadi faktor runtuhnya demokrasi kiranya bisa dilogikakan secara sederhana.  Logika sederhananya demi menutupi praktek kleptokrasi yang dijalankan oleh oligarki, upaya kritik yang disuarakan rakyat seringkali dibelenggu dengan berbagai cara. Padahal kebebasan berbicara dan berserikat dalam demokrasi adalah menjadi salah satu pilar utamanya.

Demi menutupi kleptokrasi dan mengamankan agenda oligarki, lembaga-lembaga negara yang menjadi bangunan demokrasi baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif berupaya untuk dilemahkan fungsinya. Fungsi kelembagaan negara berupaya dilemahkan sedemikian rupa agar sejalan dengan misi oligarki, agar supaya kleptokrasi tetap bisa di jalankan sesuai dengan keinginannya.

Pada akhirnya demokrasi yang secara harfiah diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, faktualnya hanya bersifat simbolisme belaka.

Memang secara formal kelembagaan yang menjadi identitas demokrasi itu nyata adanya tetapi fungsi dan tujuannya sudah menyimpang dari tujuan yang seharusnya karena kehilangan fungsi yang sesungguhnya.

Atau sekurang-kurangnya fungsi dan tujuan pembentukan kelembagaan itu tidak sesuai dengan harapan rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan yang sesungguhnya. Tidak usah jauh jauh, saya akan mencoba mengilustrasikan apa yang terjadi dikelembagaan DPR yang notabene sebagai representasi rakyat dalam sebuah negara yang menjadikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahanya.

Akhir-akhir ini banyak keluhan disampaikan masyarakat bahwa DPR tidak lagi menjadi lembaga perwakilan yang bisa menampung aspirasi dan menyalurkan pendapat rakyat yang diwakilinya. Lembaga ini seolah olah menjadi wadah asing karena dinilai tidak sejalan dengan harapan rakyat pada umumnya.

Penilain tersebut kiranya sah-sah saja karena rakyat tentunya mempunyai persepsi sendiri untuk memberikan penilaian terhadap wakil wakilnya. Tetapi apakah penilaian seperti itu valid adanya atau hanya sekadar dugaan dugaan belaka?. Sebagai salah seorang wakil rakyat tentu saya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh mereka.

Dan kiranya apa yang rakyat  rasakan, juga dirasakan oleh rata wakil rakyat lainnya yang sekarang sedang duduk menjalankan peran dan fungsinya. Yang jelas harus diakui kondisi DPR saat ini sudah berbeda dari era sebelumnya dimana dinamika demokrasi masih begitu terasa. Saat ini kondisinya sudah “sunyi” karena banyak anggota DPR yang kemudian tiarap berbeda dengan era era sebelumnya.

Itu semua diduga karena aroma kleptokrasi dan oligarki sudah begitu merasuki ruang-ruang lembaga perwakilan sehingga melemahkan fungsinya. DPR yang seharusnya menjalankan fungsi kontrolnya terhadap jalannya pemerintahan sudah begitu melemah tidak segalak era sebelumnya. Demikian pula pelaksanan fungsi anggaran dan legislasi yang selama ini penuh dinamika, akhir-akhir ini di tengah pandemi corona nampak mulus seia sekata dengan kehenedak pemerintah yang sedang berkuasa.

Kongkalingkong yang terjadi antara DPR dan pemerintah dalam pembuatan Undang-Undang memang tidak terlepas dari konstelasi politik di Senayan saat ini dimana lembaga wakil rakyat itu dinilai telah “berselingkuh” dengan penguasa sehingga pembahasan Undang-Undang yang seharusnya berjalan dengan penuh dinamika demokrasi dengan segala argumentasinya kali ini berjalan mulus mulus saja. Nyaris tidak ada perdebatan apalagi perlawanan perlawanan terhadap substansi Undang-Undang maupun proses pembuatannya. Semuanya berjalan seiring sejalan, seia sekata sehingga menunjukkan kekompakan di antaranya kedua.

Meskipun substansi Undang-Undang maupun prosedur pembuatannya dinilai bermasalah tetapi nyaris tidak ada suara suara lantang dari gedung dewan untuk mengkritisisnya. Proses check  anda balances sepertinya memang memang telah berakhir dengan adanya “kemesraaan” antara dua lembaga yaitu DPR dan pemerintah yang berkuasa.

Fenomena tersebut kiranya memang bagus untuk stabilitas semu pemerintahan namun sesunggunya malapetaka bagi kehidupan demokrasi di Indonesia karena penyimpangan-penyimpangan yang terjadi nyaris tidak ada kekuatan yang bisa mengontrolnya sehingga merugikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari kontrol dari oligarkhi yang begitu dominan menentukan kebijakan kebijakan politik kelembagaan negara.

Sementara itu protes protes yang dilancarkan berbagai elemen masyarakat atas pembahasan Undang-Undang yang dinilai kontroversial pada akhirnya juga memunculkan rasa kecewa bagi para pemotresnya. Karena ibarat kata pepatah  anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Undang-Undang yang bersifat kontroversial tersebut tetap disahkan meskipun dinilai cacat materill dan formilnya.

Buntutnya selain demo yang merebak dimana-mana, ada gugatan yang dilayangkan beberapa elemen masyarakat ke MK. Banyak Undang-Undang yang dimintakan permohonan uji materi dan uji formilnya ke MK meskipun hasilnya membuat masyarakat kecewa karena MK hampir selalu menolaknya.

Meskipun ada sedikit angin segar belakangan ini dengan lahirnya keputusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi virus Corona dan menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sungguh pun demikian “tradisi” penolakan dari MK yang selama ini terjadi sepertinya menjadi sinyal semakin kentaranya aroma kebijakan legislasi di Indonesia yang mengarah pada sistem negara totaliter dimana peran masyarakat dalam proses pembuatan Undang-Undang terkesan dinihilkan dan dianggap tidak ada.

Di sini muncul kesan lembaga yudikatif seperti MK telah tunduk pada kemauan eksekutif sehingga keputusan keputusannya lebih banyak yang memihak pada kepentingan rejim yang sedang berkuasa.  Jika benar demikian maka artinya demokrasi telah mati meskipun faktualnya lembaga yudikatif seperti MK itu masih ada.

Suburnya kleptokrasi dan oligarki memang bisa mematikan demokrasi substansial yang selama ini menjadi dambaan kita semua. Yang terjadi kemudian adalah berjalannya demokrasi prosedural dimana seolah olah dilaksanakan demokrasi tetapi sebenarnya hanya formalitas saja sifatnya. Ada pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pejabat eksekutif tapi hasilnya yang terpilih wakil yang menguntungkan kelompok oligarki juga. Ada kelembagaan demokrasi tetapi fungsinya sudah tidak sesuai dengan kehendak dan harapan rakyat pada umumnya.

Gerakan reformasi yang melahirkan kehidupan demokratis pada awalnya, perlahan-lahan kini telah kembali ke sistem Orba yang telah digulingkan oleh mahasiswa. Jika hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin situasinya akan benar-benar kembali ke zaman Orba berkuasa. Apakah memang kondisi ini yang sedang terjadi di negara kita? Bagaimana menurut penilaian Anda?

 

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar