Penderitaan Warga Atasi Krisis 100 Hari Taliban: Jual Anak-Narkoba

Jum'at, 26/11/2021 11:04 WIB
Milisi Taliban (AFP)

Milisi Taliban (AFP)

Jakarta, law-justice.co - Warga Afghanistan terus didera krisis sejak Kelompok Taliban berkuasa pada 15 Agustus lalu.

Seratus hari sudah mereka menempuh berbagai cara untuk bertahan hidup, mulai dari menjual anak hingga narkoba.

Seperti melansir cnnindonesia.com, utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Afghanistan, Deborah Lyons, memang sudah memperingatkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di negara itu bisa memicu peningkatan berbagai kejahatan.

Menurutnya, peredaran obat-obatan terlarang, aliran senjata, dan perdagangan manusia kemungkinan akan melonjak di tengah krisis ini.

Kondisi itu semakin parah mengingat komunitas internasional enggan membantu Afghanistan lantaran Taliban belum memenuhi janji menjunjung hak-hak asasi manusia.

Keadaan kian pelik karena Taliban juga disebut menargetkan mantan pejabat di pemerintahan sebelumnya, aktivis, dan membatasi ruang gerak perempuan.

Banyak warga Afghanistan akhirnya kehilangan pekerjaan dan kian sengsara. Di tengah penderitaan itu, para warga terus bersiasat. Berikut beberapa siasat mereka.

1. Jual anak perempuan

Seorang bapak di Afghanistan, Fazal, menjual dua anak perempuan untuk dinikahkan demi menghidupi keluarga di tengah krisis ekonomi.

Kepada Reuters, Fazal bercerita bahwa ia tak punya banyak pilihan. Opsi yang ada hanya menikahkan sang putri atau seluruh keluarga mati kelaparan.

Fazal memilih opsi pertama. Awal Oktober lalu, ia menjual putrinya yang berusia 13 dan 15 tahun kepada laki-laki yang usianya beda jauh. Ia menerima US$3 ribu atau setara Rp42 juta.

Selain Fazal, seorang bapak lainnya, Abdul Malik, juga mengaku terpaksa menjual anaknya yang baru berusia 9 tahun.

Dengan harga 200 ribu Afghani atau setara Rp31,5 juta, Malik menjual anaknya untuk dinikahi pria berusia 55 tahun. Ia menyerahkan sang putri sembari menangis.

"Ini pengantin Anda. Tolong jaga dia. Anak bertanggung jawab atas dia sekarang. Tolong jangan pukuli dia," katanya.

Kedua anak tersebut hanya sebagian kecil dari banyak gadis Afghanistan lain yang dijual untuk dinikahi di tengah krisis berkepanjangan di negara itu.

Meski usia pernikahan legal di Afghanistan setidaknya 15 tahun. Namun, penjualan anak seperti ini sudah biasa terjadi di Afghanistan sejak dulu.

Aktivis hak asasi manusia di Badghis, Mohammad Naiem Nazem, mengatakan bahwa jumlah penjualan anak ini meningkat sejak Agustus lalu karena kelaparan yang semakin parah.

2. Jual peralatan rumah tangga

Mantan pejabat perempuan di pemerintahan sebelumnya, Sharifia, juga mengaku melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Ia bahkan menjual seluruh barang-barang rumah tangga yang dimiliki.

"Saya sudah tidak bekerja selama tiga bulan. Saya jual semua perkakas rumah tangga dan membeli makanan dari hasil penjualan itu," tutur Sharifia, seperti dikutip Deutsche Welle.

3. Mengemis hingga jadi buruh harian

Situasi di Afghanistan juga terasa sangat sulit bagi para eks pejabat di pemerintahan Ashraf Ghani. Mereka tak punya pekerjaan, dan nyawanya terancam.

Beberapa di antara eks pejabat itu kini dilaporkan menjadi pengemis atau buruh harian.

"Para mantan pejabat pemerintah sayangnya mengemis sekarang, dan beberapa yang lain beralih menjadi buruh harian," kata salah satu eks pejabat pemerintahan sebelumnya, Jamal.

4, Jual senjata peninggalan AS

Selama Taliban berkuasa, sejumlah senjata buatan Amerika Serikat dan perkakas militer lainnya dijual terbuka di toko-toko senjata Afghanistan.

Tiga penjual senjata di Kandahar mengatakan bahwa banyak warga Afghanistan membuka toko di provinsi itu. Mereka menjual pistol, senapan, granat, teropong, dan kacamata night-vision buatan AS.

Menurut penjual senjata, pasukan pemerintah dan milisi Taliban kerap membeli senjata, amunisi, dan material pertahanan di toko itu.

Mereka bercerita bahwa selama pemberontakan, Taliban sudah sering mencari senjata dan perlengkapan buatan Amerika.

Usai berhasil menduduki istana kepresidenan di Kabul, permintaan senjata dari Taliban berkurang. Para pedagang kemudian menjual ke pengusaha Afghanistan.

Menurutnya, banyak pengedar senjata Afghanistan juga kini menyelundupkan senjata ke Pakistan.

5. Penjualan ganja diduga akan meningkat

Tak lama usai berkuasa, Taliban mengumumkan akan melarang produksi opium. Namun, salah satu penjual ganja, Ahmed Khan, merasa seruan itu tak akan berpengaruh.

Ahmed Khan menjadi penjual opium itu wilayah Baramcha, wilayah dekat perbatasan Pakistan.

Khan sendiri sudah menjadi opium di wilayah yang berbatasan dengan Pakistan, Baramcha, selama 25 tahun. Ia yakin Taliban tak akan sungguh-sungguh menjalankan rencana melarang penjualan opium.

"Akan ada reaksi dari petani opium, bandar narkoba, dan masyarakat jika Taliban melarang produksi opium," ujar Khan.

Taliban, katanya, paling diuntungkan dari produksi opium selama 20 tahun ini. Tak lama setelah Taliban mengumumkan rencana pelarangan tersebut, harga opium melonjak dua kali lipat, dari £445 (Rp8,4 juta) menjadi £810 (Rp15 juta) per 4,5 kilogram.

"Tapi sekarang penjual tahu itu tak akan dilarang, harga turun menjadi £501. Akan ada ledakan penjualan opium." tuturnya.

Tak hanya Khan, Abdul Ahad juga sangsi Taliban akan melarang penjualan opium di tengah krisis ekonomi yang menerjang Gubernur Provinsi Helma.

"Petani akan menghadapi ancaman kekeringan. Lahan pertanian dan kebun buah-buahan sangat terdampak dan itu akan memaksa banyak petani menanam bunga poppy karena itu adalah satu-satunya sumber kehidupan," kata Ahmad.

Menurutnya, beberapa petani Afghanistan sekarang memanen tanaman opium hingga tiga kali dalam setahun demi memenuhi permintaan.

Seorang warga lain dii Musa Qala, Mohammed Yaqoob, juga ragu karena ia sudah menjadi petani opium lebih dari 20 tahun.

"Kami tidak punya cara lain untuk mendapatkan uang. Jika Taliban akan melarang pertanian opium, itu berarti mereka ingin kami kelaparan, yang menurut saya tidak akan mereka lakukan. Kami akan melawannya," kata Yaqoob.

Petani opium lain, Amrullah, juga menyatakan hal serupa. Dia telah menanam opium selama empat dekade. Dia tidak punya tanah, tetapi bertanggung jawab untuk bertani dan merawat tanaman.

Sebagai imbalannya, ia mendapat seperempat dari pendapatan, yang biasanya mencapai antara £ 4 ribu atau sekitar Rp64 juta hingga £ 7 ribu atau setara Rp112 juta dalam setahun.

"Kami tidak mendapatkan apa-apa saat menanam gandum dan sayuran yang butuh banyak air. (Tanaman itu) tidak bisa menambah penghasilan kami," kata Amrullah.

"Saya telah mendapatkan banyak uang (dari penanaman opium) sejak 2015 hingga 2019, tapi karena perang yang intens dan kekeringan melanda, panen terdampak. Saat Taliban kembali berkuasa, kami berharap kami akan menanam opium dan bisa bekerja secara damai."

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar