100 hari Dipimpin Taliban, Afghanistan di Ambang Kehancuran

Kamis, 25/11/2021 11:09 WIB
Milisi Taliban (AFP)

Milisi Taliban (AFP)

Jakarta, law-justice.co - Negara Afghanistan saat ini berada di ambang kolaps di 100 hari pertama rezim Taliban kembali berkuasa di negara itu pada Selasa (23/11).

Sampai saat ini, Taliban masih berjuang ke sana kemari mencari pengakuan dunia internasional di tengah ancaman kebangkrutan dan krisis ekonomi.

Menteri Luar Negeri Afghanistan rezim Taliban, Amir Khan Muttaqi, terus melakukan upaya diplomatik agar dunia internasional mau mengakui kelompoknya sebagai pemerintah Afghanistan yang sah.

Seperti melansir cnnindonesia.com, delegasi Taliban pergi mengunjungi berbagai negara regional untuk membangun hubungan dengan pemerintah asing. Dari upaya ini, setidaknya enam negara mengunjungi Afghanistan dan berbicara dengan pejabat Taliban.

Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Qureshi, Menteri Luar Negeri Uzbekistan Abdulaziz Kamilov, Utusan Khusus Jerman untuk Afghanistan dan Pakistan Jasper Wieck, dan Utusan Khusus Belanda untuk Afghanistan Emiel de Bont merupakan beberapa pejabat asing yang mengunjungi Afghanistan.

"Kebijakan diplomatik dan luar negeri Emirat Islam (Afghanistan) terbatas pada beberapa negara tetangga dan regional selama seratus hari. Berbagai negara tengah menunggu untuk melihat apakah Taliban akan memenuhi komitmen yang mereka janjikan sebelumnya atau tidak," kata mantan penasihat Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Fakhruddin Qarizada.

Selama 100 hari Taliban berkuasa, ada beberapa pertemuan yang dilakukan rezim kelompok itu dengan negara asing seperti Iran, Pakistan, India, Rusia, dan China.

Walaupun demikian, belum ada satu negara pun yang resmi mengakui rezim Taliban di Afghanistan.

Pertemuan yang dilakukan kebanyakan berfokus pada tuntutan internasional terhadap pemerintahan Taliban yang inklusif, penegakan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, hak untuk bekerja dan belajar bagi perempuan Afghanistan, hingga wanti-wanti agar Afghanistan tak jadi sarang terorisme lagi.

Menanggapi desakan internasional terkait beberapa fokus tadi, pemerintah Taliban bersikeras mengatakan kalau mereka telah memenuhi tuntutan itu.

"Negara dan dunia memiliki satu pendapat tentang Taliban, yakni bahwa mereka harus berubah, dan mereka (Emirat Islam) harus bertindak sesuai dengan standar internasional. Namun, saya pikir Taliban layak untuk diakui," tutur Analis Politik Abdul Moqadam Amin.

Walaupun pengakuan Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan masih belum didiskusikan, beberapa negara berencana membentuk hubungan dengan kelompok itu untuk mengatasi krisis yang terjadi di Afghanistan.

"Mereka mungkin tidak mewakili seluruh warga Afghanistan, jauh dari itu, tetapi mereka merupakan sebuah otoritas (di negara itu)," ucap Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, beberapa waktu lalu.

Afghanistan di Ujung Kebangkrutan

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingatkan sistem keuangan di Afghanistan bakal mengalami kejatuhan.

Peringatan mereka sampaikan dalam laporan tiga halaman tentang perbankan dan sistem keuangan Afghanistan merujuk pada rasio kredit macet yang sudah meningkat 57 persen sampai dengan September kemarin.

Karena masalah itu, mereka menyebut bank di Afghanistan bakal gagal bayar uang nasabah mereka.

Selain itu, rezim Taliban juga terancam bangkrut setelah jumlah uang kas yang dimiliki terancam habis pada akhir tahun. Taliban juga terus mendesak negara Barat, terutama Amerika Serikat, mencairkan aset-aset Afghanistan yang mereka bekukan.

Afghanistan menyimpan aset senilai hampir US$9,5 miliar (Rp135,3 triliun) di bank sentral AS, Federal Reserve.

Sementara di negara-negara Eropa lainnya seperti di Bank for International Settlements, aset negara itu ditaksir mencapai US$1,3 miliar (Rp18,5 triliun).

Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus lalu, negara-negara Barat menangguhkan hubungan dengan Afghanistan, termasuk menyetop aliran bantuan dan pembekuan aset-aset negara tersebut.

Seorang pejabat tinggi bank sentral Afghanistan, Shah Mehrabi, mengatakan situasi keuangan Afghanistan kini semakin putus asa. Ia mengatakan rezim Taliban hanya memiliki uang tunai yang cukup menjaga Afghanistan kira-kira sampai akhir 2021 saja.

Krisis ekonomi pada akhirnya mempersulit keadaan warga Afghanistan sendiri. Seorang bapak di Afghanistan bahkan harus rela menjual anak perempuannya demi uang.

Fazal, si bapak, menjual kedua putrinya yang berusia 13 dan 15 tahun untuk dinikahi dengan laki-laki berumur terpaut jauh di atas mereka.

Dari penjualan anak itu, Fazal menerima $3,000 atau setara Rp42 juta. Jika uangnya habis, Fazal mungkin harus menjual anak perempuannya yang berumur 7 tahun.

"Saya tidak memiliki cara lain untuk memberi makan keluarga saya dan melunasi utang saya. Apa lagi yang bisa saya lakukan? Saya sangat putus asa dan berharap saya tak harus menjual anak perempuan termuda saya," kata Fazal kepada Reuters.

Tak hanya itu, UNICEF mengatakan ada keluarga yang menawarkan anak perempuan mereka yang baru hidup selama 20 hari untuk menikah di masa depan, demi imbalan mas kawin.

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar