ICW Ungkap 3 Faktor Penyebab Korupsi Keagamaan Terus Terulang

Sabtu, 13/11/2021 20:02 WIB
3 kasus korupsi baru di sektor keagamaan (Foto: Ilustrasi ICW)

3 kasus korupsi baru di sektor keagamaan (Foto: Ilustrasi ICW)

law-justice.co - Kasus korupsi di sektor keagamaan kembali terungkap setelah kasus mangkraknya Masjid Raya Sriwijaya, Palembang, yang turut menjerat mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Itu adalah kasus korupsi kesekian kalinya yang terkait dengan sektor keagamaan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Korupsi pembangunan Masjid Sriwijaya di Palembang dengan kerugian negara mencapai Rp 130 miliar. Pembangunan masjid yang digadang-gadangkan akan menjadi yang tersbesar di Asia Tenggara itu, kini mangkrak. Padahal, sumber dananya diambil dari APBD Sumatera Selatan tahun 2015 dan 2017.

Kasus korupsi keagamaan juga terjadi dalam Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) penanganan Covid-19 dari Kementerian Agama (Kemenag) untuk lembaga pendidikan keagamaan Islam di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan. Di Wajo dan Pekalongan, korupsi ini bahkan melibatkan pejabat kantor wilayah Kemenag dan pimpinan pesantren.

Sebelumnya, ada juga kasus korupsi dana hibah Provinsi Banten untuk pondok pesantren se-Banten tahun 2020. Dana bansos yang disalurkan dipotong dan dikumpulkan kepada pegawai Biro Kesra Provinsi Banten. Seratus lima puluh pengurus pondok pesantren penerima hibah dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi Banten dan satu diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga ikut mengumpulkan potongan dana.

Korupsi di sektor keagamaan yang terungkap di tengah pandemi Covid-19 adalah sebuah ironi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, ada 4 faktor penyebab utama mengapa korupsi di sektor keagaan terus terulang. Padahal masyarakat Indonesia tergolong sangat religius.

Faktor pertama, berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2017, disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara tingkat religius dengan perilaku korupsi.

Kedua, korupsi di sektor keagamaan memiliki sifat yang sama, yakni bisa terjadi jika ada peluang. Hal serupa pun bisa terjadi dengan korupsi di sektor bantuan sosial di masa pandemi Covid-19.

Ketiga, korupsi di sektor keagamaan tidak diperlakukan berbeda di mata hukum dan sanksi sosial. Tidak ada label khusus dan kegeraman luar biasa dari masyarakat.

ICW menilai, label seperti penjahat keagamaan atau penista agama pada dasarnya penting dan relevan. Selain telah menodai nilai-nilai agama, pelaku juga telah menjadikan kepentingan keagamaan sebagai objek korupsi. Sama halnya seperti misalnya koruptor kasus lingkungan yang pantas disebut perusak atau penjahat lingkungan atau koruptor bansos sebagai penjahat kemanusiaan.

Kementerian Agama berkali-kali telah tercoreng karena pemimpinnya terbukti korupsi. Dua Menteri Agama, yaitu Menteri Said Agil Husin terlibat dalam korupsi dana abadi umat dan biaya penyelenggaraan haji.

Sedangkan Menteri Suryadharma Ali terlibat dalam korupsi dana haji. Tak hanya itu, proyek-proyek Kemenag, seperti pengadaan laboratorium komputer untuk Madrasah Tsanawiyah tahun 2011 dan penggandaan Al-Quran tahun 2011-2012 terbukti dikorupsi dan melibatkan sejumlah pejabat dan politisi, seperti anggota DPR Zulkarnaen Djabar dan politisi Golkar Fahd El Fouz.[ICW]

 

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar