Analisis Hukum Kasus Bisnis PCR Pejabat Negara & Konsekwensi Hukumnya

Kamis, 11/11/2021 22:29 WIB
Dua Menteri Kabinet Presiden Jokowi yang Disebut Terlibat dalam Bisnis Alat Tes PCR, Erick Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Diolah dari google).

Dua Menteri Kabinet Presiden Jokowi yang Disebut Terlibat dalam Bisnis Alat Tes PCR, Erick Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Diolah dari google).

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah pejabat negara terseret dugaan mengambil keuntungan dari situasi bencana nasional  virus corona. Dua nama menteri yang sering disebut sebut terkait dugaan konflik kepentingan bisnis alat kesehatan di masa pandemi ini adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Mereka diberitakan terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang bermain dalam bisnis penyediaan jasa tes polymerase chain reaction (PCR) sejak awal  pandemi virus corona  mewabah di Indonesia..

Selain Luhut dan Erick, nama-nama menteri lain juga menjadi pergunjingan karena diduga ikut mengambil keuntungan dari bisnis PCR. Mereka antara lain Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Keuangan, Sri Mulyani; dan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin

Ternyata pandemi virus corona yang merupakan bencana dunia bisa menjadi “berkah” bagi orang-orang tertentu yang pandai memanfaatkannya. Antara lain oleh pejaba negara yang berbisnis tes virus corona lewat kewenangan yang dimilikinya. Mereka bisa meraup untung sangat besar karena usahanya difasilitasi oleh kebijakan yang dibuatnya sendiri sebagai pemegang kuasa. Seperti kebijakan harga tes virus corona  yang tinggi, serta kebijakan wajib tes virus corona bagi masyarakat yang ingin bepergian di dalam negeri atau ke mancanegara.

Selama ini, kebijakan tracing, dan testing untuk virus corona, SOP nya adalah jika hasil Test Antigen positif, maka tidak perlu lagi dilakukan Swab-PCR, karena hasilnya dipastikan juga positif. Kecuali dalam kondisi tertentu, seperti mereka yang tanpa gejala, hasil swab Antigen positif, perlu juga dilakukan swab PCR, untuk memastikannya.

Belakangan soal tes PCR ini menjadi ramai dibicarakan karena adanya kontroversi yang mengiringinya.  Satgas virus corona menyatakan bahwa kebijakan tes PCR  tersebut dimaksudkan untuk pengendalian virus corona. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan virus corona Wiku Adi sasmito mengatakan, alasan wajib tes PCR sebagai syarat penerbangan terbaru karena adanya peningkatan jumlah kapasitas penumpang. Sampai disini kontroversi timbul  karena kalau itu alasannya, memangnya siapa yang mengijinkan peningkatan kapasitas penumpangnya ?

Sementara itu menurut  Kementerian Perhubungan kenapa harus tes PCR  karena seat penumpang dibolehkan 100% terisi sehingga bisa beresiko kalau tidak tes PCR. Padahal jika  protokol kesehatan tetap diperketat; pakai masker selama perjalanan ,  cuci tangan pakai hand sanitizer, tidak bersalaman dalam pesawat dan seterusnya, maka walaupun duduk berdekatan dalam pesawat,  rasanya tidak ada jalannya bagi virus untuk berpindah. Apalagi penumpangnya sudah dipastikan sehat dengan Swab – Antigen.

Disini sepertinya ada logika terputus, jika semangatnya mendorong kegairahan maskapai penerbangan dengan melonggarkan 100% seat pesawat, kenapa diharuskan penumpang Swab-PCR yang yang sangat tinggi biayanya. Para pejabat pengambil keputusan itu sepertinya tahu betul karakter penumpang pesawat dalam masa pandemi  ini yaitu  mereka yang sangat  butuh dan ada keperluan penting untuk bepergian dengan pesawat sehingga apapun syarat yang harus dipenuhi akan diikuti oleh para penumpang.

Jika alasan untuk memastikan, benar-benar penumpang yang berangkat itu negatif virus corona, apakah dengan Swab-Antigen masih diragukan juga ? Kalau diragukan kenapa transport darat boleh Swab-Antigen tanpa harus tes PCR ? . Kemudian  apa pula makna Vaksinasi yang efikasinya 70-80%. Lantas ap hubungannya  adanya full seat pesawat dengan menggunakan Swab-PCR?

Serangkaian pertanyaan tersebut akhir akhir ini muncul dan menggelayuti benak para penumpang pesawat yang merasa sangat berat adanya ketentuan keharusan tes PCR yang mahal harganya (meskipun saat ini sudah turun karena gencarnya protes dari masyarakat penggunanya).

Fakta yang tidak terbantahkan bahwa  uang penumpang  pesawat pada ahkirnya lebih banyak terkuras dengan kewajiban Swab-PCR, jika dibandingkan dengan Swab-Antigen. Uangnya diduga mengalir sebagian masuk kantong pebisnis Swab-PCR, dan sebagian lagi ke negara-negara peng-eksport bahan baku PCR.

Yang lebih menggenaskan lagi ternyata bisnis tes PCR itu diduga ada hubungannya dengan pejabat yang menjadi pengambil kebijakannya. Majalah Tempo Edisi 30 Oktober 2021,  secara khusus menulis artikel "Kongsi Pencari Rezeki". "Sejumlah laboratorium tes PCR dimiliki politikus dan konglomerat. Meraup untung saat pandemi Covid-19," demikian teaser-nya.

Dua orang Menteri yaitu  Menko Marives merangkap jabatan sebagai Koordinator PPKM dan Menteri BUMN merangkap Ketua Tim Penanganan virus corona  dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diduga terlibat dalam bisnis tes PCR. Mereka berdua diduga terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia. Unit usaha PT itu adalah GSI Lab yang jualan segala jenis tes  virus corona: PCR Swab Sameday (275 ribu), Swab Antigen (95 ribu), PCR Kumur (495 ribu), S-RBD Quantitative Antibody (249 ribu). Dalam situs resminya, GSI Lab mengklaim memiliki 1.000+ klien korporat, melaksanakan 700.000+ tes, menyalurkan 5.000+ tes gratis, dan donasi total Rp4,4 miliar.

Berdasarkan Akta PT Genomik Solidaritas Indonesia No. 23 tanggal 30 September 2021,  PT GSI dibuat  pada bulan April 2020 yaitu sebulan setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Modal dasar: Rp4 miliar (1 juta/lembar saham, 4.000 saham); Modal disetor: Rp2,96 miliar (1 juta/lembar saham, 2.969 saham).

Diantara pemegang saham PT. GSI adalah PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra adalah entitas anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA). Dalam kaitan ini  Luhut Panjaitan pernah mengakui ia memiliki `sedikit` saham di situ. Ia adalah pendiri grup tersebut. Sementara itu Yayasan Adaro Bangun Negeri berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Presdirnya adalah Boy Thohir, kakak Erick Thohir, sekaligus pemegang 6,18% saham.

Dari data data tersebut pada akhirnya orang mengaitkan keterlibatan dua pejabat negara dalam hal ini Menteri Luhut dan Erick Thoir dalam bisnis tes PCR.  Dari sini ada dugaan pembuatan regulasi tentang pandemi  termasuk tes PCR cenderung dibuat berdasarkan pertimbangan bisnis sekelompok orang tertentu yang menguntungkan si pembuat kebijakannya. Istilah sederhananya :  Dia yang membuat kebijakan sebagai pemerintah, dia juga yang jualan barangnya!

Namun perihal adanya pembuatan kebijakan yang diduga menguntungkan pejabat yang membuatnya itu telah dibantah oleh para jubir Menteri  terkait. Meskipun demikian  menurut Direktur Lima Indonesia Ray Rangkuti, penjelasan juru bicara Luhut maupun Erick kepada publik tidak memiliki kekuatan apapun. "Penjelasan para jubir itu tidak membantu proses upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Yang mungkin adalah penjelasan secara resmi kepada presiden ataupun proses hukum,” kata Ray dalam diskusi daring ‘Politik Bisnis Elit di PCR, Siapa Meraup Untung’, Jumat (5/11/2021).

Berdasarkan serangkaian data dan fakta sebagaimana dikemukakan diatas sudah barang tentu memunculkan konsekuensi hukum  seputar kiprah seorang pejabat negara yang disangka terlibat bisnis dalam penanganan virus corona termasuk terkait dengan kebijakaan keharusan tes PCR yang diduga melibatkan dua pejabat negara yakni menteri  kabinet pemerintah yang sekarang berkuasa.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa Pejabat (bahasa Inggris: official) adalah seseorang yang bekerja (fungsi atau mandat, terlepas dari apakah ia memiliki ruang kerja terkait posisinya) dalam suatu organisasi atau pemerintahan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan wewenang (baik milik mereka sendiri atau atasan mereka, publik, atau pribadi).

Konflik Kepentingan Pejabat Negara

Sementara  Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat negara menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.

Pejabat negara merupakan pejabat yang terlibat dalam administrasi publik atau pemerintahan, baik melalui pemilihan, penunjukan, seleksi, atau pekerjaan. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara.Seseorang yang saat ini memegang jabatan disebut sebagai petahana.

Berdasarkan kategorisasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung.  Adapun yang termasuk dalam pejabat negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014  tentang Aparatur Sipil  Negara adalah: seorang Menteri dan jabatan setingkat Menteri.

Sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugasnya tentunya tidak boleh dilakukan dengan seenaknya melainkan harus mengikuti kaedah dan norma norma yang ada. Antara lain ia harus menjalankan kewenangannya berdasarkan prinsip  Tata kelola pemerintahan yang baik.

Tata kelola pemerintahan yang baik  menurut  United Nation Development Program (UNDP) adalah suatu tanggung jawab dari kewenangan ekonomi, kewenangan administrasi, dan kewenangan politik untuk mengatur masalah-masalah sosial negara tersebut. Dari pengertian tersebut, terlihat tiga sektor utama dari kewenangan pemerintah yang kemudian digunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat.

Tata pemerintahan yang baik memiliki beberapa indikator pengukuran diantara  ditandai dengan adanya  :  transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi.

Transparansi merupakan proses keterbukaan menyampaikan informasi atau aktivitas yang dilakukan. Harapannya, agar pihak-pihak eksternal yag secara tidak langsung ikut bertanggung jawab dapat ikut memberikan pengawasan. Memfasilitasi akses informasi menjadi faktor penting terciptanya transparansi ini.

Partisipasi merujuk pada keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan kebijakan. Masukan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan dapat membantu pembuat kebijakan mempertimbangkan berbagai persoalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam menyelesaikan suatu persoalan. Proses partisipasi membuka peluang bagi pembuat kebijakan untuk mendapatkan pengetahuan baru, mengintegrasikan harapan publik kedalam proses pengambilan kebijakan, sekaligus mengantisipasi terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul.

Akuntabilitas didefinisikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas peraturan yang telah dibuat. Proses ini juga sekaligus menguji seberapa kredibel suatu kebijakan tidak berpihak pada golongan tertentu. Akuntabilitas akan melewati beberapa proses pengujian tertentu. Proses yang terstruktur ini diharapkan akan mampu membaca celah-celah kekeliruan, seperti penyimpangan anggaran atau pelimpahan kekuasaan yang kurang tepat.

Koordinasi adalah sebuah mekanisme yang memastikan bahwa seluruh pemangku kebijakan yang memiliki kepentingan bersama telah memiliki kesamaan pandangan. Kesamaan pandangan ini dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan visi dan misi pada masing-masing lembaga. Koordinasi menjadi faktor yang sangat penting, karena kekacauan koordinasi dapat menyebabkan efisiensi dan efektivitas kerja menjadi terganggu. 

Pelaksanaan prinsip prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sangat diperlukan dalam menjalankan kebijakan ditengah pandemi virus coronayang  terjadi  saat ini. Karena rakyat dalam kondisi susah lahir dan bathin akibat bencana sehingga para pejabat dituntut kinerjanya untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik baiknya.

Namun sayangnya peranan seorang pejabat negara dalam menjalankan kebijakannnya terkait dengan penanganan pandemi virus corona akhir akhir ini  dinilai justru disinyalir telah menyalahi prinsip prinsip tata kelola pemerintahan yan baik ditandai dengan kurangnya transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi dalam pengambilan kebijakannya.

Sinyalemen tersebut ditandai dengan adanya dugaan  dilanggarnya beberapa ketentuan Undang Undang  dan Undang Undang Dasar dalam penanganan virus corona.  Pada hal ketentuan ketentuan tersebut seyogyanya  jadikan sebagai dasar pegangan bagi seorang pejabat negara dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya.

Seperti dimaklumi bersama, pandemi virus corona merupakan bencana dunia yang dampaknya sangat luar biasa termasuk rakyat Indonesia. Tetapi ternyata bencana itu diduga malah dimanfaatkan oleh orang orang tertu yang notabene pejabat negara untuk mengeruk keuntungan korporasinya  karena difasilitasi kebijakan negara.

Sebagai contoh tes PCR untuk virus corona  sesungguhnya  termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, menurut Pasal 33 UUD 1945 seharusnya  dikuasai oleh negara. Tetapi, realitanya tes PCR dikuasai oleh swasta dimana pemilik perusahaan swasta tersebut diduga berkaitan dengan pejabat  yang memutuskan kebijakannya. Dengan demikian penguasaan tes PCR oleh pihak swasta dan bukan diurusi oleh negara ini berpotensi melanggar pasal 33 UUD 1945.

Selain itu harga barang untuk hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai oleh negara  dan harus diatur oleh negara. Tujuannya untuk melindungi masyarakat dan konsumen supaya tidak dipermainkan oleh sektor swasta.Faktanya, harga tes PCR  tidak diatur sama sekali, setidak-tidaknya sampai pertengahan Agustus 2021. Sehingga membuat harga tes PCR  menjadi sangat mahal, memberi keuntungan abnormal kepada pengusaha kartel, sehingga terindikasi melanggar  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Anti Monopoli).

Mahalnya harga tes PCR akhirnya membuat rakyat harus protes. Namun, pemerintah tetap bungkam hingga 15 Agustus 2021. Presiden Jokowi akhirnya bereaksi, minta ke Kementerian Kesehatan agar  menurunkan harga tes virus corona. Presiden minta Harga Tes PCR Turun Jadi Rp 450.000 - Rp550.000”, begitu judul berita bisnis.com pada 15 Agustus 2021.

Sepertinya harga tes PCR sekitar Rp500.000 memang kemahalan. Karena, selang dua bulan kemudian, yaitu akhir Oktober 2021, Presiden Jokowi minta harga tes PCR diturunkan lagi menjadi Rp275.000 hingga Rp300.000.Pertanyaannya, apakah harga tes PCR Rp300.000 ini sudah normal? Atau masih kemahalan mengingat harga tes PCR di India bisa di bawah Rp100.000?

Tindakan pemerintah yang kemudian menurunkan biaya tes PCR setelah adanya protes keras tersebut mengindikasikan adanya kebijakan amatiran yang menguntungkan pihak atau kelompok tertentu saja. Disini terlihat adanya pihak pihak tertentu dari unsure  pejabat negara  yang menikmati keuntungan di tengah kesulitan masyarakat. Sehingga mengindikasikan kebijakan yang diambil oleh  pemerintah tidak mencerminkan tata pemerintahan yang baik khususnya pelaksanaan asas transparansi dan akuntabilitas.

Dalam kaitan tersebut patut diduga pejabat negara terkait telah menyalahgunakan kewenangannya.  Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Abuse Of Power) adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.

Karena penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan ini merupakan sebagai salah satu unsur penting dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Unsur penting yang dimaksudkan adalah “penyalahgunaan wewenang, yang dapat menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara”. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan khususnya dalam pengelolaan dan peruntukkan keuangan negara oleh aparatur negara, sesungguhnya itu merupakan tindak pidana korupsi oleh karena sifatnya merugikan perekonomian dan keuangan negara.

Dalam kaitan dengan permasalahan diatas maka  dugaan keterlibatan Erick Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis alat kesehatan atau jasa tes PCR seharusnya bisa diusut secara hukum.

Aturan Hukum yang Dilanggar

Aparat penegak hukum perlu segera melakukan penyelidikan, apakah ada kaitannya dengan kebijakan yang diambil selama ini, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penentuan harga dan kebijakan mengenai kewajiban tes PCR. Dalam hal ini  informasi atau data yang sudah beredar di ranah publik (termasuk hasil investigasi majalah Tempo)  tentang kemungkinan Erick dan Luhut bermain dalam pengadaan tes PCR bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum.

Kepada kedua pejabat negara yang diduga terlibat dalam kasus tersebut nantinya  bisa dikenakan pasal 11 dan atau Pasal 12 Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 11 Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, berbunyi :“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”

Sedangkan Pasal 12 Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, berbunyi :  “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

  1. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Adapun perbedaan secara substansi berdasarkan analisa hukum terhadap dua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama terdapat pada ancaman hukuman, jika pasal 11 pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan Pasal 12 huruf a atau b pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh);

Kedua terletak pada denda, jika pasal 11 denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyakRp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), sedangkan Pasal 12 huruf a atau b denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

Ketiga terletak pada jabatan atau kekuasaan si Pelaku tindak pidana Penerima Suap, Pada praktiknya penerapan Pasal 11 itu tidak mensyaratkan harus ada jabatan atau kekuasaan si Penerima Suap, Namun cukup Si Penerima Suap merupakan Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara. Sedangkan Pasal 12 huruf a atau b itu mensyaratkan si Penerima Suap harus memiliki Jabatan atau Kekuasaan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Selain pasal 11 dan 12, terdapat juga  Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Terhadap dua pasal yang disebut terakhir tersebut, dalam prakeknya  memang seringkali muncul kebingungan mana yang harus dipakai, pasal 2 atau pasal 3. Pada prinsipnya dua pasal dalam UU Tipikor tersebut sudah efektif untuk menjerat pelaku korupsi. Bunyi pasal sangat luas, dan perbuatan melawan hukum juga sangat luas.

Jadi, perbuatan terdakwa nantinya terbukti melanggar aturan tertulis apapun sepanjang dia memperkaya dri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menimbulkan kerugian keuangan megara, dia bisa dijerat dengan pasal itu.  Dua pasal tersebut sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya, dalam Pasal 3, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan Pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal lebih luas dan umum.

Unsur setiap orang adalah yang mempunyai kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk orang bisa dikenakan di dalam pasal 3 adalah dia harus punya kewenangan dulu, kedudukan, jabatan, jadi jabatan itu memberikan kewenangan kepada dia, nah kewenangan itu disalahgunakan.

Bahkan sampai hukuman mati sebenarnya bisa diterapkan terhadap mereka yang terbukti melakukan tindakpidana korupsi disaat pandemi. Disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa pidana mati dapat dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.  Scara normatif dalam UU Tipikor, terutama Pasal 2 Ayat (2), hukuman mati diatur secara jelas dan dapat diterapkan. Namun, penerapannya harus memenuhi semua unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan tak hanya pada terbuktinya unsur dalam keadaan tertentu.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan kebijakan terkait dengan masalah pandemi virus corona ini sempat terjadi kontroversi karena adanya kekekabalan bagi pejabat yang menjalankan tugasnya selama pandemi virus corona. Hal ini tercermin dari keberadaan Pasal 27 Perppu No 1 Tahun 2020. Dimana Pasal 27 ayat (2), (3) menyebutkan segala tindakan pemerintah dan/atau anggota KSSK tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata, sekaligus keputusan dan tindakan yang diambil bukan merupakan objek tata usaha negara.

Adanya ketentuan tersebut segera dapat dibaca sebagai upaya  untuk menyelamatkan bisnis para pengusaha sambil melindungi pelaku moral hazard dari tuntutan hukum jika dikemudian hari ditemukan adanya penyimpangan penyimpangan.

Keberadaan Pasal 27 tersebut, bisa dinilai (ditafsirkan) ada itikad tidak baik dari pembuat dan pelaksana kebijakan untuk memanfaatkan Perppu guna memperoleh keuntungan, menyeleweng, dan korupsi. Pejabat pengidap moral hazard akan memperoleh jalan yang nyaman, leluasa, dan tanpa kontrol untuk melakukan korupsi , karena sudah terjamin tidak dapat dituntut secara hukum di kemudian hari.

Tetapi untunglah Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal kekebalan hukum bagi pejabat negara seperti dimuat di Pasal 27 UU No 2/2020 (PERPPU 1/2020) tentang penanganan virus corona tersebut.  Dalam keputusannya Mahkamah Konstitusi  telah mengubah bunyi pasal 27 ayat (1) menjadi:

“Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Artinya, kalau merugikan negara dan dilakukan dengan iktikad tidak baik, maka pejabat tersebut tetap bisa dituntut dan dihukum sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku. Jika persoalan ini kita kaitkan dengan masalah tes PCR maka seperti diketahui  harga tes PCR yang tinggi jelas jelas telah merugikan masyarakat luas.

Lalu apakah juga merugikan negara ? Sangat mungkin negara juga dirugikan namun hal  ini harus diselidiki lebih serius. Berapa biaya tes virus corona yang sudah dikeluarkan negara, berapa biaya seharusnya, apakah dengan demikian ada kerugian negara?. Semuanya perlu diselidiki oleh aparat penegak hukum agar menjadi jelas duduk persoalannya.

Selanjutnya, apakah membiarkan harga tes PCR bertahan sangat tinggi termasuk iktikad tidak baik? Apakah menentukan harga tes PCR menjadi Rp500.000, atau bahkan Rp300.000, termasuk iktikad tidak baik?Apakah membiarkan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai swasta termasuk iktikad tidak baik?

Untuk itulah pentingnya diselidiki berapa sebenarnya keuntungan para kartel tersebut, adakah hubungannya dengan pejabat pengambil kebijakan ? Berapa kerugian negara? . Dalam kaitan dengan dugaan keterlibatanpejabat negara dalam hal ini jika Erick dan Luhut terbukti berbisnis tes PCR maka hal itu merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana jabatan sudah terbukti adanya

Sepanjang dapat dibuktikan oknum pejabat dimaksud terlibat dalam putaran bisnis, salah satunya bisa dibuktikan dengan kepemilikan saham dalam perusahaan atau sebagai pengendali dalam korporasi tersebut, maka pasal 11,12 ataupun pasal 2 dan atau 3 Undang Undang Tipikor bisa dikenakan kepada mereka.

Memang harus diakui tidak mudah untuk menyeret pejabat negara yang diduga terlibat dalam masalah tersebut ke ranah hukum. Sepertinya sepanjang presidennya masih Jokowi, sangatlah sulit untuk memperkarakan mereka.  Apalagi orang seperti lord Luhut Panjaitan yang dikenal sebagai sosok “istimewa” dimata presiden yang sekarang berkuasa.

Kondisi bertambah pesimis  pasca-revisi UU KPK yang menempatkan KPK sebagai rumpun kekuasaan eksekutif sehingga posisinya sangat tergantung pada “titah” penguasa. Pada akhirnya apakah kasus ini memang hanya ramai di sosial media tapi tidak ada upaya penegakan hukum secara nyata?. Kini rakyat sedang menunggu pedang keadilan berjalan benar  dan tegas atau endingnya sudah bisa ditebak, masuk angin lagi.

 

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar