Dibalik Pertempuran 10 November 1945 dan Radio Pemberontakan Bung Tomo

Rabu, 10/11/2021 21:55 WIB
Radio Pemberontakan besutan Bung Tomo tengah mengudara tahun 1947 (Dok. Dukut)

Radio Pemberontakan besutan Bung Tomo tengah mengudara tahun 1947 (Dok. Dukut)

Jakarta, law-justice.co - Radio Bung Tomo punya peran besar selama pertempuran 10 November 1945. Radio di Jalan Mawar, Tegalsari itu jadi tempat Bung Tomo membakar semangat para pejuang.


Gagasan membuat radio pemberontakan bermula saat Bung Tomo berada di Jakarta. Amarahnya meledak karena melihat kenyataan Bendera Jepang Hinomaru masih berkibar di Jakarta. Padahal jelas-jelas Indonesia sudah merdeka dan menjadi negara berdaulat.

Dengan darah yang masih mendidih, Bung Tomo kemudian pulang ke Surabaya. Ia kemudian tiba di Stasiun Gubeng pada 12 Oktober 1945 dan langsung menuju ke studio radio. Di sana, ia kemudian meminta slot siaran untuk membakar semangat arek-arek Suroboyo.

"Jelas permintaan itu ditolak karena dianggap keras dan dapat mengganggu diplomasi Indonesia di luar negeri," tutur pegiat sejarah Surabaya, Kuncarsono, dikutip dari Detik, Rabu (10/11/2021).

Baca juga : Pahlawan Kesiangan

Meski tak mendapatkan izin, Bung Tomo masih diizinkan mendirikan radio swasta yang khusus untuk agitasi dan propaganda. Bung Tomo kemudian mendirikannya dan dinamakan Radio Pemberontakan yang siaran pada Rabu dan Minggu malam.

"Untuk kapan tepatnya Radio Pemberontakan mengudara ini masih banyak versi. Tapi untuk pemancarnya ini ia dapatkan dari milik Jepang. Alatnya ini sebesar kulkas. Jadi bisa diangkat ke mana-mana," terang Kuncar.

Menurut Kuncar, selama pertempuran 10 November, harus diakui Bung Tomo punya peran besar membakar semangat arek-arek Suroboyo. Bahkan saat para pejuang sudah terdesak, pos Radio Pemberontakan tetap eksis mengudara memberi semangat. "Background-nya Bung Tomo ini sebenarnya bukan penyiar tapi wartawan di kantor berita Domei dan memang berhasil mengobarkan semangat. Jadi selama pertempuran radio ini tetap mengudara. Kan pemancarnya ini milik Jepang yang sebesar kulkas itu bisa dipindah-pindah," jelas Inisiator Forum Diskusi Sejarah Begandring Soerabaia itu.

"Jadi saat perang dan dipukul mundur, pemancar radio ini juga ikut mundur sampai ke Pacet Mojokerto, hingga ke Malang. Dan masih mengudara. Bahkan terakhir sampai ke Bandung dibawa dengan gerbong kereta dan berhasil `ngompori` pejuang di sana sehingga lahir peristiwa Bandung Lautan Api," sambung Kuncar.

Namun jangan harap saat ini bisa menyaksikan rumah radio yang digunakan oleh Bung Tomo di Jalan Mawar, Surabaya itu. Sebab sejak 2016 rumah itu telah rata dengan tanah karena dirobohkan oleh pemiliknya. Padahal bangunan tersebut merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar