Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ancaman Runtuhnya Semangat Kebangsaan di Hari Pahlawan

Rabu, 10/11/2021 05:23 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pada hari ini tanggal 10 November 2021 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini kita mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan negaran kita. Itulah sebabnya tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap tahunnya.

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting karena pada saat itu telah terjadi perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda yang ingin kembali menguasai Nusantara. Inilah pertempuran paling besar antara pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Di perkirakan sekitar 10.000 bangsa Indonesia sahid di medan laga sementara dari pihak sekutu sekitar 2000 orang tentaranya meregang nyawa termasuk Jenderal Mallaby yang menjadi komandannya.

Pertempuran Surabaya menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme/ imperialism yang ingin kembali menguasai Nusantara. Pada saat itu para pejuang kita bertempur mati-matian melawan tentara Belanda yang tergabung dalam pasukan sekutu di Surabaya. Padahal saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan senjata seadanya. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan mereka. Bung Tomo dengan pidatonya yang berapi telah mampu menyulut api semangat arek arek Suroboyo melawan penjajah Belanda.

Pertempuran besar Surabaya pada hakekatnya bukan hanya untuk mengamankan wilayah NKRI belaka, tetapi juga mempertahankan, ideologi dan dasar Negara kita yaitu Pancasila .  Dengan demikian Pancasila sejatinya lahir dari konteks ”masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, membentuk nasion Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia. Dalam kebangsaan Indonesia yang hidup dengan perikemanusiaan, permufakatan, untuk masyarakat yang berkeadilan dan BerkeTuhanan Yang Maha Esa.

Runtuhnya Semangat Kebangsaan

Saat ini kita tengah peringatan hari pahlawan yang menandai 76 tahun Indonesia merdeka, kita sedang berada dibawah ancaman runtuhnya semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme yang dahulu begitu berkobar kobar ketika tekad mengusir kaum penjajah dari bumi Nusantara.

Ditengarai menurunnya semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme itu terjadi karena harapan dan sekaligus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil dan merata belum juga dapat diwujudkan meskipun sudah 76 tahun Indonesia merdeka . Kondisi yang demikian ini jelas membebani siapapun pemimpin Indonesia karena tidaklah mungkin akan dapat memanfaatkan rasa nasionalisme yang ada (karena kadarnya begitu rendahnya)  untuk membangun kekuatan dalam menghadapi hakekat berbagai ancaman yang kini dihadapi oleh bangsa dan negara kita.

Ancaman runtuhnya semangat kebangsaan itu terjadi ditengarai karena  negara dinilai belum mampu membawa manfaat bagi segenap warga bangsanya yaitu pemerintahan negara yang mampu membawa  cita-cita dasar negara Republik Indonesia, yaitu  mampu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan mkeadilan sosial. 

Ketika negara tidak lagi mampu  membawa manfaat bagi warga bangsanya, secara perlahan ia akan dikalahkan oleh kekuatan pasar akibat globalisasi dalam trendnya menuju stateless atau ketidakhadiran Negara.  Tidak dirasakannya  manfaat keberadaan negara (Indonesia) bagi sebagian besar anak bangsa dan entitas pembentuk negara, tentu menjadi suatu malapetaka. Bahkan dalam banyak hal rakyat malah dibikin repot dan bahkan dirugikan pemerintah yang mengatas namakan negara. Munculnya perasaan publik bahwa saat ini tidak lagi merasakan adanya pemerintahan, adalah merupakan tanda-tanda lemahnya nasionalisme dan rasa cinta negara.

Perasaan seperti itu sebenarnya sudah cukup lama di rasakan oleh rakyat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sejak berkuasanya rejim ORBA-Soeharto, rakyat Indonesia dijerumuskan ke dalam penjajahan gaya baru kapitalisme-imperialisme (Nekolim), ”Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” lenyap dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem ekonomi politik di negeri ini pun semakin menjadi liberal (demokrasi liberal),sehingga urusan kesejahteraan rakyat menjadi bukan agenda utama.

Pada akhirnya muncul istilah autopilot, dimana negara dan bangsa berjalan sendiri-sendiri tanpa Pancasila sebagi pedoman acuan dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga yang akan terjadi negara ini menjadi negeri autopilot dengan pola ekonomi  yang dikontrol oleh pemilik modal dan kekuatan mancanegara.

Mencari Biangnya

Kiranya jelas bahwa cita cita para pahlawan dan  para pendiri bangsa selain ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan imperialisme kolonial, juga terbebas dari sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberal yang selama ratusan tahun telah dipraktekkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Oleh karena itu dengan panduan ideology Pancasila dan landasan UUD 1945, bangsa Indonesia setelah merdeka bertekad untuk lepas dari sistem yang telah berlaku sejak jaman penjajahan untuk mencapai tujuan negara yang merdeka yaitu masyarakat adil makmur sejahtera sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945. 

Namun faktanya meskipun sudah 76 tahun merdeka, praktek praktek neoliberalisme masih sangat massif terjadi di segala aspek kehidupan berbangsa-bernegara serta bermasyarakat melalui politik, ekonomi, hukum dan sosial-budaya yang menjauhkan kehidupan bangsa Indonesia dari nilai nilai Pancasila.Akibatnya potensi kekayaan alam Indonesia yang melimpah tidak mampu mengantarkan rakyat Indonesia menjadi sejahtera. 

Potensi kekayaan sumberdaya alam yang seyogyanya jadi andalan dan modal utama untuk mensejahterakan rakyat Indonesia pada kenyataannya banyak dikuasai oleh para pemain dari mancanegara.

Melalui berbagai kekuatan dan instrumennya, mereka mendikte bangsa Indonesia sehingga Indonesia nyata dalam cengkraman mereka. Melalui BANK DUNIA,IMF, ADB, USAID, perusahaan perusahaan multinasional milik asing, Operasi Intelijen dan lain lain mendiktekan kepentingannya sehingga kekayaan sumberdaya alam Indonesia diexploitasi sedemikian rupa yang menguntungkan mereka.

Berbicara mengenai kekuatan asing, Indonesia saat ini kita nyaris sudah tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengolah sumber daya alam (SDA) nya. Meskipun pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh Negara dan di pergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat tapi seperti apa kenyataannya  ? sekitar 80 persen sumberdaya alam kita di kuasai asing  termasuk asset negara sekitar 70–80 persen telah dikuasi pihak mancanegara. 

Dari pelbagai sumber, bisa dipetakan  negara mana saja yang pihak swasta dan BUMN-nya memiliki banyak konsesi tambang dan migas di Indonesia. Otomatis keuntungan besar dari kekayaan alam Indonesia juga dinikmati oleh mereka.

Sebagai contoh  Amerika Serikat misalnya, negara ini dibidang tambang dan pengelolaan blok migas,  merupakan salah satu pemain utama di Indonesia. Tentu masyarakat sangat familiar dengan Freeport McMoran, perusahaan tambang yang mengelola lahan di Tembagapura, Mimika, Papua. Produksi tambang itu per hari mencapai 220.000 ton biji mentah emas dan perak yang disebut sebut sebagai yang terbesar di dunia.

Selain Freeport, masih ada Newmont, perusahaan asal Colorado, Amerika, yang mengelola beberapa tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Belum lagi sederet operator migas yang rata-rata kelas kakap sebagai mitra pemerintah mengelola blok migas. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia.

Disusul ConocoPhilips dimana ada enam blok migas yang ia kelola. Perusahaan yang telah 40 tahun beroperasi di Indonesia ini merupakan produsen migas terbesar ketiga di  Indonesia. Lalu, tentu saja ExxonMobil menemukan sumber minyak 1,4 miliar barel dan gas 8,14 miliar kaki kubik di Cepu, Jawa Tengah yang dikelola bersama Pertamina.

Selain Amerika Serikat, ada negara China  dimana Negeri Tirai Bambu ini sangat aktif mencari sumber energi non-migas dari negara lain, termasuk Indonesia. Salah satu investasi besar mereka di Tanah Air adalah bidang batu bara. Selain itu, SDA seperti nikel dan bauksit juga diincar perusahaan-perusahaan China.

Perusahaan tambang skala menengah dan besar China bergerak di seluruh wilayah Nusantara. Mulai dari Pacitan, Jawa Timur, sampai Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Salah satu perusahaan besar adalah PT Heng Fung Mining Indonesia yang berinvestasi di bidang nikel, di Halmahera, Maluku, dengan target produksi bisa mencapai 200 juta ton. PetroChina, perusahaan migas pelat merah China juga mengelola beberapa blok di negara kita. 

Sementara itu negara  Inggris tidak mau ketinggalan juga. British Petroleum (BP) adalah operator lama sektor migas di Indonesia. Ia mengelola blok gas Tangguh di Papua, lewat anak perusahaan BP Berau,.  BP mengelola Blok Tangguh Train III, dengan 60 persen jatah mereka dapat diekspor ke Asia Pasifik, sementara 40 persen disalurkan ke Indonesia.Perusahaan dan investor lain asal Inggris saat ini sedang mengincar sektor sumber daya alam strategis lainnya. 

Selain Amerika, China dan Inggris, ada juga Perancis yang ikut menikmati kekayaan sumberdaya alam Indonesia.  Perusahaan migas asal Negeri Anggur, Total, sudah bermitra cukup lama dengan pemerintah Indonesia. Total bekerjasama dengan Inpex Corp dalam mengelola blok Mahakam. Total mengendalikan 50 persen saham di blok tersebut dan Inpex sisanya.

Selain Total, perusahaan Prancis lain, Eramet, berinvestasi di kawasan timur Indonesia. Eramet beroperasi di Indonesia melalui kepemilikan saham pada PT Weda Bay Nickel di bawah konsorsium Strand Mineralindo. Investasi proyek pengolahan dan pemurnian (smelter) bahan tambang di Halmahera Utara, Maluku tersebut mencapai US$ 5 miliar (Rp 50 triliun) dengan kapasitas 3 juta ton per tahunnya.

Selain itu  ada negara Kanada. Melalui perusahaan Canadian International Development Agency (CIDA) mengembangkan 12 proyek di Sulawesi dimana semuanya berhubungan dengan pengelolaan SDA. Selain itu, Sheritt International dan Vale juga membuka tambang di Indonesia. Khusus Vale, investasi di Sulawesi Tengah mencapai USD 2 miliar.Melalui Nico Resources yang menjadi perpanjangan tangan perusahaan migas Calgary asal Kanada, kini ada 20 blok yang dikelola, pengelola blok terluas di Indonesia.

Beberapa negara lainnya seperti Jepang, Korea Selatan, Belanda, dan yang  lainnya juga setali tiga uang yaitu menguasai sektor Industri dan kehutanan dan potensi SDA lainnya.Menurut Pengamat Ekonomi UGM Revrizon Baswir, sebagaimana dikutip dari Hitbut-Tahrir.or.id, bahaya yang paling penting adalah asing tidak hanya akan mengendalikan ekonomi tetapi mereka akan mengendalikan semuanya.

Sehingga siapa pun yang akan berkuasa di negeri ini akan bergantung kepada asing, karena asinglah yang mempunyai modal, mereka yang menguasai lahan sarana prasarana lainnya. Jadi mereka akan mengendalikan rezim yang berkuasa, mengendalikan regulasi, sampai pada kebijakan-kebijakan di tingkat mikro yang ujung ujungnya akan merugikan rakyat tentunya.

Pendek kata,arah kebijakan ekonomi dan politik negara--pemerintah semakin menjauhkan negeri ini dari semangat dan cita-cita Pancasila; dengan kualitas hidup rakyat yang semakin rendah, bertambahnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran yang kian merata

Subversi neoliberalisme-kapitalisme terhadap Pancasila ini membonceng isu demokratisasi dan reformasi politik di Indonesia.  Dimana demokratisasi dengan kebebasan yang ekstrim telah memperlemah negara dan menjadi peluang bagi munculnya kapitalisme pasar yang bertentangan dengan nilai nilai Pancasila.  

Pancasila dianggap sebagai sandungan agenda eksploitasi sumber daya strategis Indonesia yang selama ini dikelola oleh negara melalui kekuasaan pemerintahan yang sedang berkuasa.  Pancasila bagi mereka sepertinya harus diisolasi dari praktek kekuasaan dan ruang agenda publik supaya mulus misi neokolonialismenya.

Penetrasi neoliberalisme-kapitalisme dalam sistem politik tidak hanya memecahbelah persatuan politik, tetapi juga menyebabkan komodifikasi proses politik sehingga berbiaya tinggi dan memicu terjadinya perburuan rente secara masif dan korupsi yang kian merajalela. Dampaknya adalah terpinggirnya hak rakyat untuk menikmati kue pembangunan yang berkeadilan secara merata.  Para politisi berlomba untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi dari kursi kekuasaan yang didudukinya.  Pancasila hanya dijadikan jargon-jargon kampanye, namun sepi  realisasinya. 

Mari Bung Rebut Kembali

Kondisi bangsa sebagaimana digambarkan diatas tentu tidak sesuai dengan harapan dan cita cita para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan bangsanya. Mereka tentu berharap anak cucu yang ditinggalkannya bakal menikmati kehidupan yang lebih baik karena sudah menjadi bangsa yang merdeka.

Mereka yakin betul bahwa tujuan itu akan tercapai karena selain telah berjuang menjadikan bangsa Indonesia yang merdeka, juga mereka telah menyiapkan panduan dalam rangka mencapai tujuan negara melalui Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Sayangnya harapan para pahlawan dan pendiri bangsa itu belum dapat diwujudkan karena Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 tidak diamalkan sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu sebagai anak anak bangsa yang masih mempunyai harapan perbaikan bangsa ini kedepannya dibutuhkan semangat optimisme perubahan yang lebih baik dibenak seluruh warga bangsa khususnya para pemimpinnya.

Harapannya dimasa mendatang akan lahir pemimpin bangsa yang mempunyai political will yang kuat  untuk kembali kepada nilai nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.  Presiden pertama RI Soekarno pernah mengatakan , supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup” bangsa. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia. 

Sudah waktunya kita kembali kepada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 Karena sebagai bangsa yang berdaulat, kita memiliki takaran, filsafat, tradisi, dan sejarahnya sendiri dan itu semua tercantum di Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu meninjau kembali beberapa regulasi yang berbau neolib adalah salah satu langkah diantaranya.Meskipun pekerjaan ini sungguh sangat berat di bawah pemerintah yang sekarang berkuasa.

Selain itu  Pemerintah Negara beserta jajaran perlu di dorong untuk menjalankan fungsi fungsinya dalam mengemban amanat rakyatnya. Sehingga rakyat bisa merasakan kehadiran pemerintahan suatu Negara yang bisa mengantarkan kepada tercapainya tujuan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu: melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kepentingan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jika tujuan ini bisa dicapai maka ini merupakan kontribusi yang sangat besar bagi terbangunnya kejayaan Indonesia raya.

Tak kalah pentingnya adalah perlunya gerakan nasional untuk penolakan paham neoliberalisme dan kapitalisme di Indonesia, karena neoliberalisme telah terbukti menggerogoti kedaulatan negara. Sebagai contoh, di bawah panji neoliberalisme, aparat keamanan seperti TNI dan POLRI terancam kehilangan jati diri sebagai Tentara Rakyat, dan militer hanya akan difungsikan sebagai “centeng” kepentingan kapitalis global belaka. 

Jika paham neoliberal dibiarkan tumbuh subur di negeri ini, akan mengancam kedaulatan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia..  Karena neoliberalisme merupakan sebuah mekanisme ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada pasar bebas dunia, dan hal itu tidak sejalan dengan iklim geopolitik-ekonomi Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila.  

Di bawah panji neoliberalisme, negara hanya menjadi instrumen untuk menjalankan agenda-agenda kepentingan modal asing, yang bersembunyi di bawah jargon-jargon globalisasi, perdagangan bebas, kebebasan berinvestasi, kepentingan pasar, swastanisasi, dan sebagainya.

Negara bahkan tak bisa atau tak leluasa melindungi kepentingan rakyatnya sendiri, karena harus tunduk pada aturan lembaga-lembaga global, seperti: Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Bank Dunia. Berbagai aset vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diserahkan untuk diprivatisasi (baca: dikuasai pemodal mancanegara). 

Jika negara sudah tunduk, militer sebagai alat negara tentunya juga hanya bisa menjadi “centeng” yang patuh kepada mereka. Lebih parah lagi, jika tentara akhirnya dipaksa menggunakan instrumen kekerasan yang dimilikinya untuk menginjak rakyatnya sendiri, demi “menjaga iklim investasi” alias mengamankan agenda kaum pemodal dunia. Maka, jika itu sampai terjadi, akan lenyap pula salah satu jati diri TNI sebagai Tentara Rakyat, yang secara sederhana selama ini dimaknakan sebagai tentara yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk rakyat Indonesia.

Walau kondisi saat ini sudah cukup parah namun bangsa Indonesia perlu  terus meningkatkan rasa percaya diri sebagai bangsa yang merdeka, mandiri dan berdaulat sebagaimana cita cita para pendiri bangsa. Dalam hal ini Bung Karno pernah mengobarkan konsep Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. 

Mari kita laksanakan semangat Tri Sakti ini bukan hanya dalam ucapan dan jargon jargon politik tapi dalam tindakan nyata. Bangsa Indonesia perlu meningkatkan semangat “perlawanan”, sebagimana anjuran Bung Karno untuk membangun sikap radikalisme (non-kooperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah melawan penjajah, apalagi tawar-menawar, untuk menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya.

Momentum peringatan hari pahlawan merupakan saat yang tepat untuk  mengobarkan kembali semangat nasionalisme cinta tanah air karena berbagai peristiwa dan momen dalam kehidupan Bangsa Indonesia telah menunjukkan, bahwa bangsa kita masih punya rasa cinta tanah air dan bangsa, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, harga diri di antara bangsa-bangsa di dunia. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar