Bikin Jera, Hakim Agung ini Hukum Pembakar Hutan Rp. Rp 935 M

Senin, 08/11/2021 20:40 WIB
Gedung Mahkamah Agung (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) membebaskan PT KS dari tuntutan Rp 900 miliar lebih dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan Tengah (Kalteng) seluas 2.600 hektare lebih. Namun hakim agung Salman Luthan yang juga ketua majelis menilai sebaliknya.
Adapun anggota majelis kasasi yaitu Brigjen TNI Sugeng Sutrisno dan Gazalba Saleh.

"Pidana pokok menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp 2 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta benda Terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar denda tersebut. Pidana tambahan Cf PU (memori kasasi) (nilai kerugian Rp 935 miliar-red)," demikian bunyi dissenting opinion Salman Luthan sebagaimana disampaikan juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, kepada detikcom, Senin (8/11/2021).

 

Berikut pertimbangan lengkap Salman Luthan:

Bahwa dalam melakukan usahanya tersebut, Terdakwa telah melakukan pembukaan lahan (land clearing) untuk mengejar target seluas 4.775,48 Ha, padahal saat itu musim kemarau dan terdapat gambut yang sudah kering dengan kedalaman sampai dengan 2,5 meter dan tumpukan-tumpukan kayu dan tumbuhan pakis yang mudah terbakar di lokasi Blok B36 sampai B41, hingga pada lokasi D21 sampai D24.

Bahwa pada tanggal 23 Maret 2019 sampai dengan tanggal 26 Maret 2019 telah terjadi kebakaran lahan perkebunan kelapa sawit di Afdeling Tanaman Blok D21, D22, D23 namun tidak meluas dan dapat dilakukan upaya pemadaman dengan menggunakan air dalam ember, kemudian terjadi lagi kebakaran lahan pada tanggal 16 Juli 2019 di Afdeling LC (land clearing) Blok 40, tanggal 28 Juli 2019 di Afdeling LC (land clearing) Blok C.45 dan dapat dipadamkan (Video: Keterangan saksi Fauzan (Komandan Patroli), saksi Chaerudin, Hendro Prasetyo, diperkuat hasil berita acara verifikasi lapangan oleh Ahli tanggal 14 September 2019);

Bahwa pada kurun waktu tanggal 1 Agustus 2019 hingga tanggal 3 Agustus 2019 terjadi kebakaran lahan Terdakwa di Afdeling perawatan, Blok 8 dan Blok 41, dan pada tanggal 5 Agustus 2019 dan tanggal 6 Agustus 2019 di Afdeling perawatan Blok 15, 13 dan 40, pada tanggal 7 Agustus 2019 dan 20 Agustus 2019 terjadi kebakaran lagi dan telah dilakukan upaya pemadaman oleh Tim, namun karena keterbatasan sarana prasarana dan hembusan angin kencang, maka api meluas di Afdeling perawatan LC (land clearing), pada lokasi Blok 28, 50, 60, 41, 40, 36;

Bahwa selanjutnya pada hari Rabu tanggal 21 Agustus 2019 sekitar jam 16.00 Wib, terjadi kebakaran lagi di lokasi perkebunan kelapa sawit pada Areal Konsesi IUP Perkebunan Terdakwa PT. Kumai Sentosa (PT.KS) di Desa Sungai Cabang, pada titik koordinat S. 03° 21.651` E 111° 51.070` dan S. 03° 19.616` E 111° 50.079`, pada lahan yang berada di Blok 41, 40, 39, 38, 37, 36, 35, 34, 33, 32 dan 31 yang merupakan lokasi pembukaan lahan (land clearing) dan penanaman kelapa sawit milik perusahaan Terdakwa PT. KUMAI SENTOSA. Kab. Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana keterangan saksi-saksi (saksi Chairudin dan Hendro Prasetyo), diperkuat Pendapat Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, MAgr menerangkan bahwa Ahli telah melakukan verifikasi ke lapangan secara langsung, mengambil sampel barang bukti untuk dilakukan uji laboratorium sehingga didapatkan hasil kesimpulan bahwa memang benar telah terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan kelapa sawit milik Terdakwa dan kebakaran tersebut bukan karena faktor alam karena menurut Ahli kebakaran dari faktor alam hanya bisa terjadi karena sebab lava gunung berapi, sedangkan pada lokasi lahan Tergugat yang terbakar tidak terdapat gunung berapi, sehingga Ahli memastikan kebakaran tersebut oleh perbuatan manusia.

Bahwa pendapat Ahli tersebut didukung oleh bukti ilmiah (scientific evidence) berdasarkan data hot spot (titik panas) yang berhasil terdeteksi khususnya pada periode waktu Agustus - September 2019 pada petak- petak bekas terbakar tersebut tampak merata dan hampir terjadi di semua blok dan dari hasil analisa data hot spot Modis (Terra-Aqua) dipastikan bahwa titik hot spot yang terdeteksi adalah benar titik api yang diperkuat dengan hasil verifikasi lapangan pada tanggal 14 September 2019 dan dipertegas lagi dengan video hasil rekaman yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Tengah serta foto-foto yang dihasilkan selama perekaman tersebut.

Bahwa meskipun telah terjadi kebakaran lahan Terdakwa tersebut, dan Terdakwa merasa sudah berupaya untuk melakukan pemadaman, namun ternyata upaya pemadaman yang dilakukan Terdakwa tidak maksimal sehingga tidak mampu mengendalikan api ataupun mencegah terjadinya kebakaran lagi di lahan Terdakwa. Hal tersebut nampak dari bukti ilmiah (scientific evidence) berupa hasil analisa pergerakan hot spot yang terus bergerak dari hari ke hari yang menunjukkan lanjutan hot spot dari hari sebelumnya ataupun munculnya hot spot baru di petak lain, diperkuat dengan keterangan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, Magr bahwa Terdakwa tidak memiliki sarana prasarana pengendalian dan pencegahan kebakaran lahan yang memiliki jumlah cukup dan memadai seperti early warning sistem, early detection system, sistem komunikasi, peralatan pemadaman, personil pemadam sehingga bertentangan dengan PP No.4 Tahun 2001, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.10 tahun 2010, Permentan No.5 Tahun 2018 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, dipastikan Terdakwa PT. KUMAI SENTOSA belum menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan lahan yang menjadi kewajibannya selaku pelaku usaha perkebunan;

Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan karena terjadinya pelepasan gas rumah kaca selama kebakaran berlangsung sehingga menjadi dilampauinya baku mutu udara yang dapat ditenggang sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.13 tahun 1995 tentang Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan PP No.41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Bahwa perihal kerusakan lingkungan akibat perbuatan Terdakwa tersebut juga dipertegas lagi oleh Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis Msi yang menerangkan bahwa Ahli sudah melakukan pemeriksaan sample dan sample tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dilakukan analisis kerusakan tanah dan lingkungan hidup, sehingga didapatkan simpulan pada pokoknya tanah rusak karena pH tanah meningkat, kadar air tanah menurun, bobot isi (bulk density) tanah meningkat dan porositas tanah menurun akibat terbakar.

Bahwa berdasarkan pendapat Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis Msi dan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, Magr ditetapkan nilai kerugian lingkungan akibat terjadinya kebakaran lahan di areal perkebunan Terdakwa PT. KUMAI SENTOSA seluas 2.688 ha adalah sebesar Rp935.735.340.000,00 (sembilan ratus tiga puluh lima miliar tujuh ratus tiga puluh lima juta tiga ratus empat puluh ribu rupiah);

Bahwa oleh karena fakta-fakta hukum tersebut di atas dalam perkara a quo didasarkan pada alat-alat bukti ilmiah (scientific evidence), diperkuat dengan pendapat Ahli yang kompeten dan memenuhi kualifikasi Permen LH Nomor 7 Tahun 2014 serta laboratorium tempat dilakukannya pengujian sample sudah terakreditasi Nasional dari Kemendikbud dan tingkat ASEAN, maka alat-alat bukti tersebut autentik, valid dan sah, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, oleh karenanya meyakinkan Majelis Hakim bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 99 Ayat (1) juncto Pasal 116 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 119 huruf c Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua Penuntut Umum dan oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Bahwa oleh karena Terdakwa adalah badan usaha, maka sesuai Pasal 116 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 119 huruf c Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi, terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas ± 2.600 ha (Dua ribu enam ratus hektar) dengan biaya sebesar Rp.935.735.340.000,- (sesuai memori kasasi Penuntut Umum).

Bahwa secara filosofis penjatuhan pidana terhadap Terdakwa adalah upaya perbaikan atas kesalahan Terdakwa, oleh karenanya relevan apabila penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan bagi Terdakwa untuk memperbaiki lingkungan akibat tindak pidana harus dilakukan dengan biaya sepenuhnya ditanggung Terdakwa. Hal tersebut merupakan wujud nyata implementasi prinsip internasional yang berlaku secara universal, dikenal dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) sebagai bagian dari prinsip substansi hukum lingkungan (substantive legal principle) yang harus ditegakkan dalam konteks penegakan hukum lingkungan di tanah air.

Namun suara Salman Luthan (meski ketua majelis), kalah dengan suara anggota majelis yaitu Brigjen TNI Sugeng Sutrisno dan Gazalba Saleh. Alhasil, perusahaan lolos dari tuntutan senilai Rp 935 miliar dalam kasus kebakaran hutan pada 2019 itu.

Adapun di kasus perdata, KLHK menang di tingkat pertama dengan nilai kemenangan gugatan Rp 175 miliar. Namun PT KS melakukan banding untuk kasus perdatanya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar