Komnas HAM Harap Presiden Jokowi Beri Grasi Terpidana Mati Merri Utami

Kamis, 04/11/2021 08:02 WIB
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (Borneonews)

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (Borneonews)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum lama ini menerima aduan dari keluarga terpidana mati, Merri Utami.

Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan, pihaknya berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada Merri Utami.

Aduan tersebut diajukan keluarga Merri Utami ke Komnas HAM pada Selasa (3/11/2021). Sampai saat ini grasi yang diajukan keluarga Merri Utami belum dikabulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak diajukan pada 2016.

"Komnas HAM menerima pengaduan dari keluarga Merri Utami salah satu terpidana mati yang sudah menjalankan hukuman selama 20 tahun," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam seperti disampaikan dalam YouTube Komnas HAM, Rabu (3/11/2021).

"Hukuman mati memang pelik bagi Komnas HAM, bagi kondisi asas kemanusiaan di Indonesia terutama juga bagi terpidana yang sudah puluhan tahun ada di penjara. Banyak sisi kemanusiaan dan banyak juga sisi secara sistematis ada penilaian dan sebagainya menunjukkan penilaian baik," lanjutnya.

Anam mengatakan Komnas HAM mendorong dua hal. Pertama, kata Anam, harus ada perubahan hukuman mati menjadi hukuman kerangka waktu tertentu melalui grasi.

"Pertama bagi terpidana mati yang sudah puluhan tahun kayak keluarga Merri Utami ini harus ada jalan keluar. Rubah lah hukuman ini menjadi hukuman dengan kerangka waktu tertentu, pengajuan grasi bisa dikabulkan, kami mendorong begitu," ujarnya.

Komnas HAM, kata Anam, juga mendorong adanya terobosan sistem penyelesaian terpidana mati dalam Undangan-Undang Hukum Pidana. Menurutnya hal itu penting, untuk menghargai petugas dan pihak Lapas yang sudah membantu membina para napi.

"Kedua, sistemnya dalam ide yang ada dalam rancangan kitab Undang-Undang pidana kita, ide itu sudah ada soal bagaimana menyelesaikan orang-orang yang sudah sekian tahun di penjara menunggu hukuman mati.

Nah itu sebelum itu disahkan bisa ada terobosan-terobosan kebijakan yang bisa diambil. Karena apa, ini penting juga untuk menghargai teman-teman Lapas Dirjen Lapas yang sudah melakukan penilaian pembinaan dan menunjukkan ada perubahan sikap yang mendasar," ucapnya.

Lebih lanjut Anam mengatakan terpidana mati yang sudah menjalani masa hukumnya 20 tahun di Lapas memiliki hak untuk mendapat pengurangan maupun pengubahan kurungan. Dia berharap Presiden Jokowi dapat mengeluarkan grasi untuk Merri Utami.

"Saya kira 20 tahun orang dengan catatan yang baik tidak mengurangi perbuatannya, bahkan menjadi bagian dari program Lapas mereka punya hak untuk mendapatkan pengurangan atau pengubahan kurungan. Dari hukuman mati jadi hukuman yang punya kerangka waktu tertentu.

Oleh karenanya kami berharap presiden bisa mengeluarkan grasi. Catatan dari sistem penilaian yang ada di lapas bisa menjadikan salah satu batu pijak untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. Kita dorong itu agar semakin lama kehidupan kita semakin baik," imbuhnya.

Sebelumnya, Devy Christa, anak terpidana mati Merri Utami, menyambangi Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Devy datang untuk menyerahkan surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mengabulkan grasi ibunya.

"Tadi di dalam kita masuk diterima dengan baik, kita menyerahkan surat terbuka dari saya untuk mendorong Presiden mengabulkan grasi ibu saya," ujar Devy di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (1/11).

Tak hanya membawa surat, Devy juga membawa beberapa kerajinan tangan karya Merri Utami berupa lukisan rajut dan tempat tisu terbuat dari mote. Dia mengatakan karya-karya itu dibuat oleh ibunya semasa mendekam di penjara.

"Ada beberapa karya Mama di dalam. Ada lukisan karya dan mote tempat tisu, tempat buah," tambahnya.

Menurutnya, karya-karya milik Merri yang ia serahkan ke Istana diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengabulkan permohonan grasi yang diajukan ibunya. Sebab, karya-karya itu menjadi bukti bahwa sang ibunda berkelakuan baik selama menjalani hukuman di penjara.

"Harapannya, beliau mempertimbangkan kasus ibu saya, mempertimbangkan semuanya. Di sisi lain ibu saya korban, terus juga 20 tahun terakhir kayaknya mustahil ya. Hukuman 20 tahun itu hukuman yang seperti apa, dan untuk mendorong grasi juga," kata Devy.

Devy didampingi oleh tim kuasa hukum LBH Masyarakat, yakni Afif Abdul Qoyim dan Aisyah. Mereka menyerahkan surat tersebut ke Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani yang didelegasikan melalui Tenaga Ahli Utama Kedeputian V KSP Ruhaini Dzuhayatin.

Afif mengatakan, selama ini tidak ada kepastian eksekusi terhadap Merri Utama. Menurutnya, tidak adanya kepastian itu merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia.

"Tahun 2016 itu kan batal dieksekusi ya. Batal eksekusi tapi sampai sekarang nggak ada kepastian itu kan tindakan yang melanggar hak asasi," kata Afif

Afif menuturkan pihaknya juga menggalang dukungan pengabulan grasi Merri Utami dengan membuat petisi Change.org. Menurutnya, total ada 50 ribu lebih tanda tangan dari 100 lembaga berpartisipasi dalam petisi tersebut.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar