Mengisi Kekosongan Hukum Atas Penghentian Penyelidikan Polri

Rabu, 03/11/2021 20:30 WIB
Ilustrasi penyelidikan polisi. (Foto: Alinea).

Ilustrasi penyelidikan polisi. (Foto: Alinea).

law-justice.co - Oknum Polri, terutama penyidik, seringkali bermain dan jual beli kasus pada tahap penyelidikan untuk menutup perkara atas Laporan Polisi (LP) yang diajukan masyarakat.

Jika LP dihentikan, maka pelapor tidak dapat mengajukan Praperadilan. Teorinya dalam penghentian penyelidikan, Peraturan Kapolri memperbolehkan adanya gelar perkara atas keberatan pelapor, namun nyatanya keberatan pelapor amat jarang digubris oknum Polisi, apalagi jika tanpa uang pelicin.

Setelah LP, ada tiga tahap proses hukum untuk melangkah pada tahap sidang perkara, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Kepala Bidang Humas LQ Indonesia Lawfirm, Sugi, mengatakan dalam konteks LP yang dihentikan dalam tahap penyelidikan, terjadi kekosongan hukum.

Dalam pasal 77 (a) KUHAP, kata Sugi, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat diajukan Praperadilan di Pengadilan Negeri untuk memeriksa apakah penghentiannya sah sesuai hukum formiil. Namun, apabila dihentikan dalam tahap penyelidikan, maka tidak ada upaya hukum lagi bagi pelapor.

Di samping itu, tidak ada badan pengawas khusus yang dapat memeriksa apakah penghentian LP yang dilakukan polisi itu secara sah atau tidak.

"Ini untuk menutup celah dan kekosongan hukum yang kerap digunakan oknum Polri terhadap kriminal, terutama kriminal penguasa dan kriminal kerah putih dengan menyogok oknum penyelidik dan reserse untuk menghentikan perkara. Bahkan sebelum saksi diperiksa, laporan polisi dihentikan dengan alasan `Bukan Tindak Pidana`," ujar Sugi dalam keterangan tertulis, Rabu (3/11/2021).

Sugi mengatakan LQ telah mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji KUHAP pasal 77 huruf a tentang Praperadilan agar ketika ada cacat dalam proses penyelidikan yang dihentikan oknum Polri, pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memerintahkan kepolisian membuka kembali laporan polisi yang dihentikan.

"Baca Pasal 102 angka 1 KUHAP, tugas penyelidik itu adalah menerima laporan.
Pasal 5 ayat 1 KUHAP, tugas penyelidik mencari keterangan dan barang bukti, lalu pasal 102 angka 3 membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik sedaerah hukum. Saya sudah baca seluruh pasal KUHAP tidak ada satupun wewenang diberikan KUHAP untuk polisi menghentikan laporan polisi dalam tahap penyelidikan," beber Sugi.

Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim, mengatakan Polri justru diberikan wewenang untuk menghentikan laporan polisi dalam tahap penyidikan sebagaimana tertera dalam pasal 109 angka 2 KUHAP. Ketentuan ini mengatur dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

"Penghentian penyelidikan melanggar hak konstitusional setiap pelapor, yaitu kepastian hukum yang adil di mana tertera dalam Pasal 28D angka 1 UUD 1945," katanya.

Jika pengajuan uji materiil yang dilayangkan LQ terkabul, Alvin mengatakan pihaknya akan melakukan Judicial Review atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian untuk lebih lanjut membatasi kewenangan Polri. Selama ini, kata dia, Kepolisian kerap diposisikan sebagai lembaga super power, bahkan unggul terhadap KPK yang pernah dianggap sebagai cicak.

Kewenangan luar biasa (Absolut Power) tersebut menurut Alvin berpotensi menjadikan Polri bertindak sewenang-wenang dan merugikan masyarakat. "LQ selalu menjunjung tinggi Salus Populi, Suprema Lex Esto, yang berarti masyarakat adalah hukum tertinggi. Judicial review ini bukan untuk kepentingan LQ, melainkan demi masyarakat dan keadilan," tandasnya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar