Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Defisit Empati, Biang Keladi Runtuhnya Kepercayaan pada Polri?

Senin, 01/11/2021 10:00 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Hampir setiap hari  ada saja pemberitaan yang mengabarkan adanya penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh korp Kepolisian Republik Indonesia. Fenomena ini rupanya telah membuat pimpinannya yaitu Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi gundah gulana.

Dalam kesempatan meresmikan revitalisasi Museum Polri pada Selasa tanggal 26 oktober yang lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan harapannya untuk institusi yang dipimpinnya. Sigit ingin agar Polri dapat dicintai oleh seluruh masyarakat karena mampu menjalankan tugas dengan  sebaik-baiknya.

"Ke depan saya inginkan polisi dicintai, dicintai karena kita mampu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Dibenci oleh para penjahat yang gagal melakukan kejahatannya karena ada Polri, itu yang ingin kita ciptakan," kata Sigit dalam sambutannya.

Harapan Kapolri kepada jajarannya kembali di ulangi saat berbicara dalam penutupan pendidikan Sespimti Polri Dikreg ke-30  Angkatan 66 di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10). Dalam kesempatan itu ia memberi wejangan kepada para pimpinan menengah kepolisian itu untuk menguasai lapangan, bergerak cepat, inovatif, peka terhadap perubahan situasi, serta berani keluar dari sudut nyaman untuk tahu kesulitan anak buah dan apa yang dirasakan masyarakat dikitarnya.

Listyo menegaskan akan memberi sanksi tegas kepada pimpinan yang tak bisa menjadi teladan bagi jajarannya apabila kedapatan masih melanggar aturan. Menurut Listyo, semua itu dilakukan untuk kebaikan organisasi Korps Bhayangkara.

"Terhadap anggota yang melakukan penyimpangan dan itu berdampak kepada organisasi maka saya minta kepada rekan-rekan jangan ragu melakukan tindakan tegas.Kalau ada yang tidak mampu membersihkan ekor maka kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi," tegasnya seperti dikutip media.

Harapan dari orang nomor satu di jajaran kepolisian tersebut kiranya sangat wajar  ditengah kondisi dimana korps jajaran baju coklat sedang mendapatkan sorotan masyarakat karena tindak tanduk yang dilakukannya. Harapan Kapolri juga sebagai hal yang wajar sebagai cermin tanggungjawabnya untuk muwujudkan korps baju coklat yang selama ini memang identik dengan citra buruknya. Sejauh ini citra buruk tersebut memang  menjadi ancaman serius bagi upaya membangun kepercayaan rakyat pada institusi Polri dibawah kepemimpinannya.

Mengapa akhir akhir ini  tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri begitu rendah tidak sesuai harapan yang selama ini ingin dibangunnya ?, Apa hakekat kepercayaan itu dalam hubungan Polri dengan masyarakat yang diayomi, dilindungi dan di layaninya ? Bagaimana sebaiknya membangun citra kepolisian  agar tumbuh kepercayaan rakyat pada kepolisian republik Indonesia ?

Runtuhnya Kepercayaan itu

Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang dipublikasikan pada 12 agustus 2021 yang lalu menunjukkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian RI (Polri) hanya sebesar 66,3% saja. Persentase tersebut menjadi yang terendah dibandingkan kepada lembaga penegak hukum lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi masih memiliki kepercayaan tertinggi sebesar 76,2%. Pengadilan dan Kejaksaan Agung punya tingkat kepercayaan yang sama besar, yakni 73,7%. KedaiKOPI melakukan survei secara daring pada 22-30 Juli 2021. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.047 responden di 34 provinsi di  Indonesia.

Tersungkurnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri kiranya tidak datang secara tiba tiba. Runtuhnya ketidakpercayaan itu sebenarnya sudah berlangsung  cukup lama bahkan sejak jaman orde baru berkuasa.

Runtuhnya kepercayaan  masyarakat tersebut semakin menjadi jadi  pada akhir akhir ini dengan adanya beberapa peristiwa yang  justru memperburuk citra jajaran kepolisian Republik Indonesia.  Tidak usah jauh jauh, selama satu bulan terakhir ini saja banyak anggota Polri yang terlibat penyimpangan sehingga membuat publik kecewa.

Beberapa peristiwa itu misalnya:   peristiwa yang terjadi di Sulawesi Tengah dimana seorang Kapolsek Parigi Iptu ID diduga memperkosa S  anak tahanan yang kasusnya sedang ditanganinya. Si polisi merayu S agar mau tidur bersamanya dan menjanjikan akan membebaskan ayahnya. Peristiwa ini tentu saja telah membuat malu pihak kepolisian karena ulah jajarannya.

Berita kurang bagus juga datang dari dari  Polda Sumatera Utara dimana dikabarkan  seorang  Kapolsek  yang bernama AKP Janpiter diduga tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya. Mengapa ? Karena yang bersangkutan telah menetapkan korban penganiayaan sebagai tersangka.

Kasus bermula ketika seorang  pedagang sayur berinisial LG di Pasar Gambir, Percut Sei Tuan, yang mengalami dugaan penganiayaan malah dijadikan tersangka. LG diduga dianiaya oleh seorang pria yakni BS. Lalu, kasus itu berlanjut ke aksi saling lapor antara LG dan BS. Mereka berdua pun ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara itu dari Luwu Timur Sulawesi Selatan telah terjadi kasus pemerkosaan tiga anak dibawah umur yang dilakukan oleh ayah kandungnya.  Buntutnya, RS sang ibu korban, melaporkan dugaan perkosaan 3 anaknya ke Polres Luwu Timur pada 2019 lalu dengan harapan bisa segera diproses perkaranya.

Anehnya Polisi malah menghentikan penyelidikan dengan dalih tak ditemukan cukup bukti yang mendukungnya. Lantas terduga pelaku melaporkan balik mantan istrinya, sekaligus ibu korban, dengan alasan pencemaran nama baiknya.

Perkara ini viral dan menjadi perbincangan publik usai tayang di situs projectmultatuli.org dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi,  Polisi Menghentikan Penyelidikan Kasusnya”.

Dalam penyelidikan kasus tersebut, prosesnya diduga kuat penuh dengan rekayasa dan manipulasi serta  konflik kepentingan sehingga merugikan pelapornya. Si pelapor bukan saja tidak mendapatkan keadilan tetapi juga  dituding punya motif balas dendam karena melaporkan mantan suaminya.

Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa. Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan  mementahkan upayanya dalam mencari keadilan atas kasusnya.

Sorotan terhadap kinerja kepolisian terus berlanjut, setelah ramai diberitakan adanya tindakan kepolisian di Polresta Banda Aceh yang tidak mau menangani laporan kasus perkosaan dengan alasan si korban belum vaksin virus corona.

Dalam kasus tersebut  seorang yang berinisial SA (19) berusaha melaporkan dugaan upaya pemerkosaan yang dilakukan oleh pria dengan tinggi 170 cm di Gampong Garot, Darul Imarah, Aceh Besar, Minggu (17/10/2021) sore.

LBH Banda Aceh sebagai pendamping keluarga korban dan kepala dusun berusaha melapor ke Polresta Banda Aceh. Sayangnya, pihak Polresta Banda Aceh tidak mengizinkan pelapor untuk masuk kantor kepolisian karena belum divaksin virus corona. Tindakan polisi menolak laporan korban dugaan pemerkosaan karena belum vaksin bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia

Dari Mabes Polri, diberitakan tindakan yang tidak terpuji telah dilakukan oleh jajarannya. Adalah Bripda Arjuna Bagas Setiawan yang diduga telah melanggar disiplin karena menyalahgunakan fasilitas kerja yang dimilikinya. Ia ketahuan  berpacaran dengan menggunakan mobil Patroli Jalan Raya.

Yang bersangkutan kedapatan mengunggah foto penggunaan mobil dinas Polri untuk kepentingan pribadinya. Dalam tangkapan layar, mobil itu digunakan untuk mengunjungi Taman Safari Indonesia. Terdapat juga foto yang memerlihatkan topi polisi di dasbor mobil, serta nomor mobil patrol yang digunakannya.

Sementara itu dilingkungan Polda Metro Jaya juga terjadi peristiwa yang mencoreng nama baik korps bayangkara.  Adalah Aiptu Jakaria dan Aipda Monang Parlindungan Ambarita yang viral di sosial media gara gara  keduanya meminta ponsel milik pengendara motor, kemudian memeriksa isi ponselnya.

Si pemilik ponsel menolak dengan alasan ia tidak melakukan tindak pidana apapun dan barang tersebut adalah ranah privasinya. Tindakan dua orang polisi ini dinilai melanggar prosedur dan keduanya dinilai tidak  mengerti hukum dalam menjalankan tugasnya.

Dari rangkaian peristiwa selama bulan oktober yang mendegradasi nama baik korps bayangkara tersebut , terdapat peristiwa yang sering dilakukan polisi dalam menjalankan tugasnya. Peristiwa yang dimaksud adalah berkaitan dengan tindak kekekerasan yang dilakukan oleh jajaran korps bayangkara.

Pada Rabu 13 oktober  yang lalu seorang polisi yang berinisial Brigadir NP diketahui telah membanting seorang pengunjuk rasa.  Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat mengamankan demo mahasiswa di Pemkab Tangerang itu telah  menjadk sorotan banyak media. Insiden polisi banting mahasiswa hingga kejang-kejang dan pingsan juga menimbulkan kecaman di mana-mana. Peristiwa ini memunculkan kesan bahwa aroma kekerasan masih sulit dihilangkan dari korps bayangkara.

Aksi kekerasan yang dilakukan oleh polisi juga terjadi di  Polresta Deli Serdang Sumatera Utara. Diberitakan seorang personel Polantas Aipda Gonzalves telah memukul seorang warga hingga terkapar tak berdaya. Aksi polisi memukul warga itu juga  viral di  sosial media.

Peristiwa bermula ketiak seorang pengendara sepeda motor yang bernama Andi Gultom diduga telah melakukan pelanggaran lalu lintas sehingga polisi kemudian mengamankan pelakunya. Cekcok antara pelaku dan polisi terjadi hingga berakhir dengan adanya aksi pemukulan terhadap pengendara yang membuatnya terkapar tak berdaya.

Rangkaian peristiwa yang mencederai kredibilitas Polri sebagaimana dikemukakan diatas kiranya hanya sebagian peristiwa yang kebetulan terekam pemberitaannya. Dibalik itu barangkali masih banyak teristiwa serupa yang tidak sampai terekspos sehingga publik tidak mengetahuinya.

Perististiwa peristiwa tersebut tentu saja telah membuat tingkat kepercayaaan masyarakat kepada Polri semakin menurun saja. Berkaitan dengan hal ini, Indonesian Police Wacth, menilai menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri disebabkan oleh enam faktor yang mempengaruhinya.

Mendiang  Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane menyatakan,  enam faktor penyebab krisis keamanan yang membuat kepercayaan masyarakat pada Polri merosot tersebut adalah karena  kontrol atasan sangat lemah pada bawahannya. Sementara  adanya target ambisius dari atasan tak diimbangi dengan kinerja bawahannya yang cenderung mencari muka.

Selain itu, menurut Neta, tidak ada tolok ukur yang jelas dalam rotasi tugas, tidak ada sanksi pemecatan pada perwira tinggi bermasalah, dan gaya hidup hedonis yang makin membudaya di lingkungan korps bayangkara. Renumerasi pada Polri juga tidak menjadi solusi upaya membenahi sikap, perilaku dan kinerjanya.

Hakekat Kepercayaan

Sudah lama diakui bahwa Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak bisa melakukan sendiri tanpa bantuan dari masyarakat diwilayahnya. Sehingga jalinan kerjasama antara Polri dan masyarakat itu mutlak adanya. Tapi celakanya kerjasama yang harmonis ini tidak akan bisa diwujudkan manakala antara keduanya tidak saling percaya.

Dewasa ini  kurangnya rasa percaya (trust) masyarakat terhadap polisi di Indonesia adalah salah satu masalah yang masih dihadapi Polri ketika melaksanakan tugas dan fungsinya. Sementara disisi lain polisi juga seringkali tidak percaya pada masyarakat yang menjadi mitranya.

Rasa kurang percaya masyarakat pada polisi  sering diungkapkan warga dalam laku kehidupan masyarakat sehari harinya. Pernahkah Anda mendengar warga masyarakat yang berkata, ”Kalau kita melapor ke polisi kehilangan sapi, akhirnya kita akan kehilangan sapi dan kambing”? Dengan kata lain, masyarakat tak percaya bahwa polisi akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik baiknya. Malahan, masyarakat akan semakin merugi jika berurusan dengan polisi yang menangani perkaranya.

Sementara itu polisi juga tidak percaya pada masyarakat yang mesti dilayani, dilindungi dan diayominya. Pernahkah Anda mendengar anggota Polri yang berujar: ”Warga masyarakat di kota ini suka main hakin sendiri dan mudah sekali terpancing emosinya ”? Dengan kata lain, polisi kurang  percaya bahwa masyarakat akan bekerja sama dalam penegakan hukum atau memelihara keamanan dan ketertiban diwilayah hukumnya.

Pada hal kepercayaan merupakan prasyarat utama agar kerjasama antara polisi dan masyarakat bisa terjalin dengan sebaik baiknya. Kerjasama masyarakat-polisi memerlukan rasa percaya timbal-balik sedemikian rupa sehingga Polisi mempercayai masyarakat dan masyarakat yang mempercayai polisinya.

Rumusannya sangat sederhana akan tetapi jika yang menandai hubungan kedua pihak adalah ketidakpercayaan, maka kerjasama akan gagal mencapai tujuannya. Jika kepercayaan hanya ada di salah satu pihak (hanya polisi yang memercayai masyarakat tapi tetapi masyarakat tidak memercayai polisi; atau sebaliknya hanya masyarakat yang mempercayai polisi tetapi polisi tidak memercayai masyarakat), maka kerja sama akan gagal tidak bisa mencapai tujuan bersama.

Jika kepercayaan itu bersifat “percaya buta”, maka hal itu bisa menjadi insentif untuk berkhianat dan melanggar kerjasama. Jika masyarakat percaya buta kepada polisi, maka polisi memiliki peluang besar melanggar kerjasama dan mengecewakan masyarakatnya.

Dewasa ini jalinan hubungan kerjasama antara Polri dan masyarakat cenderung terbangun dalam kondisi ketidakpercayaan diantara keduanya. Dalam kondisi seperti ini celakangnya kerjasama itu  diharuskan tetap berlangsung karena kedua duanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.

Polisi membutuhkan masyarakat seperti halnya seorang raja yang membutuhkan rakyatnya supaya bisa disebut sebagai seorang “raja”. Sebaliknya rakyat membutuhkan polisi untuk supaya bisa menjaga, melayani dan mengayomi kepentingannya.

Defisit Empati

Munculnya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh jajaran korps bayangkara dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang kemudian berimbas pada menurunnya kepercayaan rakyat pada polisi disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya.

Secara umum hal tersebut terjadi karena lemahnya empati diantara keduanya.  Sejauh ini masyarakat  masih  kurang memahami sosok seorang polisi beserta tugasnya dan keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sehingga polisi menilai masyarakat tidak mendukungnya.

Sebaliknya polisi kurang memahami persoalan anggota masyarakat dan kebutuhannya untuk supaya dilayani, di ayomi dan dijaga  oleh polisinya. Sehingga sering muncul penilaian polisi tidak menjalankan tugas dan fungsinya seperti  yang diharapkannya. Pada hal mereka sudah mendapatkan gaji dan fasilitas dari negara yang notabene dari rakyat juga.

Kurangnya kemampuan memahami pihak lain beserta perspektif dan kondisi mereka adalah contoh kelemahan empati kepada pihak lainnya. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, empati adalah kemampuan memahami orang lain (perasaannya, kebutuhannya, pengalamannya dan lain lainnya).

Yang memerlukan kemampuan mengembangkan empati ini bukan hanya anggota Polri, tetapi setiap orang termasuk masyarakat pada umumnya. Sungguhpun demikian yang lebih penting disini adalah empati dari anggota polri sebagai konsekuensi dari fasilitas dan gaji yang telah diterimanya dari negara.

Jika empati itu ada maka akan berimbas pada masyarakat yang menjadi mitra sekaligus sasaran obyek pelayanannya. Sehingga pada akhirnya  masyarakat juga akan berempati terhadap korps bayangkara.

Kiranya perlu dipahami bahwa  seorang polisi yang memiliki empati bukanlah polisi yang lembek atau polisi yang mengedepankan perasaannya. Justru sebaliknya seorang polisi yang tinggi empatinya  memiliki dua ciri utama yaitu setia melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai abdi rakyat dan sekaligus abdi negara.

Polisi jenis ini mempunyai sikap peduli dan memahami, kebutuhan, keprihatinan, dan keinginan masyarakat yang menjadi sasaran pengabdiannya. Polisi yang memiliki empati tinggi memiliki kemampuan menyelesaikan masalah yang lebih tinggi juga.

Karena polisi model begini akan berusaha memahami dan peduli dengan kebutuhan, kepentingan, dan keprihatinan masyarakatnya. Polisi yang bisa menampilkan sosok seperti ini hanya dimiliki oleh  polisi yang memiliki bekal informasi dan pengetahuan yang diperlukan supaya profesinya dapat dijalankan dengan sebaik baiknya.

Menurut Daniel Goleman, empati sebagai bagian dari kecerdasan emosi  (emotional intelligence), memiliki ciri ciri diantaranya : kemampuan memahami orang lain, mampu mengembangkan orang lain, berorientasi pelayanan, bisa memanfaatkan kemajemukan serta memiliki kesadaran politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Empati menekankan perlunya memahami orang lain, termasuk masalahnya, keprihatinannya, kebutuhannya, kepentingannya, perasaannya, dan perspektifnya. Salah satu mekanisme yang paling tepat supaya polisi memahami masyarakat ialah dengan perjumpaan dan dialog dengan anggota masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda beda.

Kalau ciri sikap empati yaitu mengerti orang lain itu dimiliki oleh seorang polisi maka yang bersangkutan akan  dapat mengembangkan dan meningkatkan orang lain (masyarakatnya) .

Dalam kaitannya dengan masyarakat ini, mengembangkan orang lain berarti kemampuan anggota Polri mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat supaya keadaan meningkat, misalnya tindak pidana berkurang, kerjasama sosial berkembang, dan suasana saling percaya tumbuh di masyarakat diwilayah kerjanya.

Seorang polisi yang tinggi empatinya akan menjalankan fungsi dan tugasnya dilandasi oleh semangat pelayanan kepada warga.  Sebagai contoh kalau ada masyarakat yang mendatangi kantor polisi, polisi harus melayani dengan sebaik baiknya sehingga warga masyarakat tersebut merasa dihargai upayanya. Dalam memberikan pelayanan tentunya harus adil tanpa memandang suku, ras dan agama.

Kemajemukan yang ada di masyarakat yang  terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama dan aliran kepercayaan, kelompok umur, gender, gaya hidup, aliran politik, kebutuhan, status ekonomi dan sosial, dan lain-lainnya bisa dimanfaatkan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya.Dengan demikian, kemajemukan di masyarakat menjadi peluang dan modal membangun kondisi masyarakat yang lebih baik ke depannya.

Pada umumnya sosok polisi yang memiliki empati akan memiliki kesadaran politik yang tinggi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Seorang anggota polisi disebut memiliki kesadaran politik apabila dia menyadari dan mengetahui beberapa implikasi situasi , khususnya yang akan memengaruhi kinerjanya.

Dengan kesadaran politiknya ia bisa  mengetahui  hubungan kekuasaan di antara berbagai kelompok dan kekuatan sosial-politik di masyarakat, termasuk kekuatan partai politik yang ada. Dengan kesadaran  politiknya,  polisi yang mempunyai empati akan mengumpulkan bahan dan informasi mengenai pola-pola hubungan kerjasama dan konflik di masyarakat serta mampu mengidentifikasi apa saja sumber konflik dan ketegangan yang dapat menimbulkan tindak pidana.

Serangkaian penyimpangan penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian anggota Polri akhir akhir ini bisa jadi karena terjadinya defisit empati yang dimiliki oleh korps bayangkara. Mereka bekerja seolah olah hanya sekedar bekerja tanpa memahami harus ber empati kepada siapa.

Salah Kaprah

Upaya untuk menampilkan sosok polisi yang memiliki empati tinggi sepertinya ingin ditunjukkan juga akhkir akhir ini melalui berbagai upaya agar korps bayangkara tertolong citranya. Diantaranya adalah melalui balutan acara acara televisi untuk mempengarui persepsi warga masyarakat terhadap sosok korps bayangkara.

Acara di televisi yang menampilkan sosok polisi “baik” seperti acara  `Net 86` dan `The Police` ,  dua reality show polisi yang paling populer akhir akhir ini sepertinya dimaksudkan untuk menampilkan sosok polisi lalu lintas yang ramah, humanis, peduli pada masyarakat, hanya menjalankan tugas, serta peduli pada hukum dan keamanan semata. Semua itu tujuan utamanya adalah berusaha mengubah pandangan masyarakat terhadap polisi khususnya  polisi lalu lintas dalam menjalankan tugasnya.

Salah satu  sosok polisi yang paling sering ditampilkan adalah representasi sisi humanis petugas seperti menampilkan bagaimana petugas ketika menindak selalu tersenyum, kemudian dari setiap penindakan selalu ada obrolan basa basi dari petugas yang menanyakan seputar kehidupan pelanggarnya dan sebagainya

Tapi  sosok polisi yang “baik “ ini  sayangnya baru sebatas hidangan dilayar kaca. Di dunia nyata bisa  lain lagi ceritanya karena masyarakat masih sering menemukan perilaku yang sangat berlawanan dengan apa yang dilihatnya di layar kaca.

Kenyataannya masih banyak anggota Polantas yang  justru menjadikan hukum dan tilang sebagai ajang cari duit belaka, bukan soal penertiban agar berkendara aman dan nyaman dijalan raya.

Contoh yang sederana misalnya, mengapa ketika ada jalan layang yang tak boleh dilalui motor polisi lebih suka ada di pintu keluar dibanding pintu masuk untuk mencegah pemotor melanggar peraturan yang ada ? Mereka memilih melakukan tilang daripada mencegah pemotor melanggar aturan sehingga ada kesan polisi telah berupaya menjebaknya. Atau jika ada lampu motor yang mati dengan berbagai alasan, termasuk lupa dinyalakan,mengapa polisi tidak sekadar menegur agar lampu motor dinyalakan saja?

Jika tujuan polisi  ingin  memoles citra yang baik untuk menumbuhkan empati kepada warga masyarakat, maka akan lebih baik  jika polisi mendorong masyarakat  sebagai orang-orang yang tertib dan patuh pada ketentuan yang ada.

Jika ada pengendara yang  tidak pakai helm  maka wujud empatinya bisa dilakukan dengan langsung membelikan helm untuk mereka. Jika kebetulan menemui pengendara motor yang bocor bannya maka  langsung ditolong untuk memperbaikinya. Jika ada pengendara kehabisan bensin maka langsung dibelikan bensin agar motor bisa berjalan sesuai fungsinya.

Tapi rupanya pola pola sederhana untuk menumbuhkan rasa empati kepada masyarakat ini pada umumnya belum masuk ke logika aparat kepolisian kita. Bahkan seringkali malah tampilan salah kaprah yang dipamerkannya. Sebagai contoh dalam acara  di  `Net 86` atau `The Police` yang ditampilkan adalah sosok anggota Polri yang menjadi  polisi moral yang sebenarnya bukan menjadi wilayah fungsi dan tugasnya.

Sudah terlalu sering episode yang menggambarkan bagaimana polisi memberikan petuah-petuah moral kepada muda mudi yang sekadar menghabiskan malam di pinggir jalan raya. Sebaliknya, aspek hukum justru kerap kali diabaikannya.

Misalnya yang ramai baru-baru ini, yaitu bagaimana Bripka Monang Parlindungan Ambarita memaksa melongok gawai sipil sehingga berpotensi melanggar hak azasi manusia. Karena orang itu benar-benar tidak melakukan kejahatan dan tidak ada indikasi ke arah sana. 

Tapi Ambarita malah menasihati orang tersebut soal wewenang kepolisian tentang pencegahan kejahatan yang seolah olah hal itu menjadi tugas utamanya.  Ambarita  memberikan ceramah dengan insinuasi bahwa mereka akan melakukan kejahatan pada hal tidak ada kejadian apa apa

Bagaimanapun saat ini upaya untuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat terhadap korps bayangkara menjadi PR yang perlu di selesaikan segera. Agar jalinan kerjasama antara Polri dan masyarakat bisa tercipta untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini kita patut mengapresiasi kerja keras pimpinan Polri untuk memperbaiki institusi dan jajarannya.

Kerja keras pimpinan Polri ini mudah mudahan saja bisa meningkatkan empati jajaran Polri terhadap masyarakat yang pada gilirannya nanti bisa menaikkan rasa percaya masyarakat pada korps bayangkara.

Namun upaya tersebut sepertinya akan menjadi sia sia manakala tidak dibarengi dengan upaya nyata yang bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sah sah saja pimpinan Polri memberikan teguran dan sanksi keras kepada jajarannya yang dinilai melanggar hukum atau melanggar disiplin institusinya.

Tetapi tindakan itu perlu dibarengi dengan adanya keteladanan pimpinannya. Sebab tidak elok juga kiranya ketika aparat ditingkat bawah dituntut kedisiplinannya namun ditingkat atas tidak ada keteladanan yang menjadi acuannya.

Upaya Polri untuk menumbuhkan empati juga tidak akan berjalan dengan baik manakala korps bayangkara menganggap dirinya sebagai abdi negara saja atau  abdi penguasa saja atau bahkan abdi pengusaha. Kiranya perlu dikembalikan jati diri Polri sebagai abdi rakyat  sehingga Polri benar benar bekerja serta mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai tuannya bukan yang lainnya. Apakah saat ini harapan tersebut baru sebatas utopia belaka ?

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar