Analisis Hukum Tata Niaga Usaha Sawit, Adil & Pro Lingkungan Hidup

Kamis, 19/05/2022 00:10 WIB
Ilustrasi Usaha Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Melibatkan Kesejahteraan Petani Sawit Rakyat (infosawit)

Ilustrasi Usaha Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Melibatkan Kesejahteraan Petani Sawit Rakyat (infosawit)

Jakarta, law-justice.co - Artikel ini ditulis bersama oleh Dr. Elyta (Dosen FISIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak), Happy Hendrawan (Aktivis Pemerhati Sawit), Ade Indra Chaniago (Dosen Stisipol Candradimuka, Palembang)

Saat ini, kehidupan manusia modern tidak lepas dari produk minyak sawit; mulai dari margarin, sereal, keripik, permen dan makanan yang dipanggang, hingga sabun, sampo, bubuk pencuci dan kosmetik, juga dapat digunakan dalam bahan pakan ternak dan sebagai bahan bakar hayati (GreenPalm, 2010).

Kelapa sawit hanya dapat dibudidayakan di daerah tropis Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Indonesia  merupkan  produsen  minyak  sawit  terbesar di dunia dengan perdagangan ekspor yang cukup besar. Secara kolektif Indonesia menyumbang sekitar 87% dari output global.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melampaui Malaysia sebagai produsen terbesar. Indonesia menghasilkan crude palm oil (CPO) utama dengan volume tertinggi di dunia sebesar 28 juta ton per tahun,  diikuti  oleh  Malaysia  dan Thailand. 

Minyak  kelapa  sawit  Indonesia menjadi andalan ekspor. Industri kelapa sawit Indonesia memiliki berbagai keunggulan, diantaranya biaya produksi yang lebih rendah dan posisi yang sangat strategis di pusat industri CPO dunia di Asia Tenggara.

Perkembangan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan bahwa industri ini memiliki prospek yang positif, terutama terkait dengan nilai tambah dan daya saing. Pengembangan industri perkebunan ditujukan untuk semakin meningkatkan hasil produksi milik swasta dalam skala besar, perusahaan milik negara, dan rakyat.

Namun, perkembangan industri kelapa sawit juga menghadapi berbagai persoalan terkait masalah teknologi,   ekonomi,   sosial,   lingkungan,   dan   pemerintahan   yang   semakin kompleks.

Sebuah studi oleh Wicke dkk (2008) menyatakan bahwa hasil kebun kelapa sawit masih menjadi komoditas hasil kebun berkualitas tinggi. Sebagian besar wilayah yang dibutuhkan untuk perluasan industri kelapa sawit telah melibatkan konversi hutan.

Tanaman kelapa sawit umumnya tumbuh rata-rata 20-25 tahun. Pada saat sawit berusia tujuh sampai sepuluh tahun akan disebut  sebagai periode matang, dimana pada periode tersebut menghasilkan   buah segar (TBS) (Harahap dkk, 2017).   Sedangkan untuk tanaman  kelapa sawit jika sudah berusia 11 hingga 20 tahun akan mulai terjadi penurunan produksi buah segar (Harahap dkk, 2017).

Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan industri kelapa sawit menghadapi lebih banyak hambatan dan tantangan, sehingga kebijakan yang jelas dan tegas tentang pengelolaan perkebunan kelapa sawit perlu dirumuskan untuk memastikan semua pemangku kepentingan memperoleh manfaat dari strategi baru pembangunan berkelanjutan di industri kelapa sawit diambil oleh para pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit untuk menyelaraskan kepentingan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan dan permintaan pasar yang mendesak untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang cepat telah menimbulkan kekhawatiran tentang distribusi biaya dan manfaat dari kegiatan ini, terutama dalam trade-off antara konservasi dan pembangunan (Rist dalam Pasaribu dkk, 2020). Kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan telah menyediakan banyak lapangan kerja. Namun, ekspansi yang cepat telah menciptakan konflik sosial dan masalah lingkungan.

Studi oleh Rist (dalam Pasaribu dkk, 2020)  menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit memiliki dampak yang kontradiktif  menilai dampak pengembangan kelapa sawit terhadap kesejahteraan petani kecil di Kalimantan dan Sumatera, Indonesia. Mereka membandingkan kontradiksi yang nyata antara dampak negatif ekspansi kelapa  sawit  terhadap  dukungan  masyarakat  pedesaan  untuk  pengembangan kelapa sawit, baik sebagai petani kecil atau dengan menjual tanah mereka kepada perusahaan kelapa sawit.

Mereka menemukan bahwa, di semua lokasi, masyarakat lokal menyatakan dukungan yang kuat terhadap kelapa sawit untuk dikembangkan di wilayah mereka. Masyarakat, khususnya perempuan, mendambakan sumber pendapatan tetap untuk menjamin akses yang lebih baik dalam pendidikan, kesehatan,  dan  kebutuhan sehari-hari  (Rist  dalam  Pasaribu dkk,  2020).  Oleh karena itu, sebagian masyarakat menganggap bahwa kelapa sawit adalah pilihan terbaik mereka untuk memenuhi kebutuhan pembangunan mereka. Namun, belakangan   ditemukan   bahwa   terdapat   dampak   yang   tidak   terduga   dan eksternalitas yang signifikan.

Keberhasilan bisnis jangka panjang hanya dapat dipertimbangkan dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas dengan mengurangi dampak aktivitas terhadap lingkungan dan menjalankan bisnis yang bertanggung jawab secara sosial atau bisnis yang etis. Oleh karena itu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar keberlanjutan global yang kredibel   (RSPO, 2011).

RSPO dikembangkan melalui keterlibatan semua pemangku kepentingan yang mereka sebut sebagai Prinsip dan Kriteria RSPO dan diterapkan sebagai etika bisnis bagi semua pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kelapa sawit   (RSPO, 2011). Namun, pembentukan RSPO juga menimbulkan kontroversi dari beberapa LSM besar di dunia (RSPO, 2011). Formasi dari RSPO bukan berarti industri kelapa sawit tidak punya tantangan lagi.

Selain itu, kebijakan pemerintah Indonesia terkait industri kelapa sawit dan perkebunan masih dipertanyakan. Khususnya yang terkait dengan penegakan hukum, birokrasi bahkan AMDAL masih rendah, sehingga Indonesia belum siap dan  kalah  saing  dibandingkan  Malaysia.  Berdasarkan studi oleh Wisena dkk hingga Malaysia telah menjual berbagai turunan produk dengan nilai tambah lebih tinggi, sedangkan Indonesia masih didominasi ekspor minyak sawit mentah atau CPO  (Wisena  dkk, 2014).  

Pada  kenyataannya  bukan  berarti  Indonesia  tidak mampu menghasilkan berbagai produk turunan kelapa sawit, namun belum didukung oleh kebijakan yang kondusif. Penerapan industri kelapa sawit berkelanjutan  di  Indonesia  tercermin dari terbentuknya Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia,  dalam  hal  ini  Kementerian  Pertanian  dengan  tujuan  untuk meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar dunia dan berpartisipasi dalam memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dan memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan.

Perluasan  produksi  kelapa  sawit  di  negara  berkembang  termasuk  Indonesia, banyak diperdebatkan. Meskipun ekspansi ini memberikan kontribusi positif bagi bangsa  dan  ekonomi  Indonesia  dengan  menciptakan  kesempatan  kerja  dan menciptakan manfaat bagi kesejahteraan petani (Sheil, 2009), hal itu juga terkait dengan keberlanjutan masalah seperti deforestasi (Koh dan Wilcove 2009), emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati (Fitzherbert 2008), serta konflik sosial yang muncul (Fargione dkk, 2008).

Penerapan ISPO yang dilakukan dengan memegang teguh prinsip pendirian dan advokasi serta pembinaan terhadap perkebunan  kelapa  sawit  yang  menjadi tugas pemerintah. Berbagai peraturan untuk mengelola industri kelapa sawit telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan tersebut  bertujuan  untuk  menjaga  kenyamanan  setiap  pelaku  dalam pengembangan industri kelapa sawit, termasuk tentang pelestarian lingkungan.

Dalam implementasi industri kelapa sawit berkelanjutan, Indonesia mengadaptasi berbagai regulasi yang ditetapkan RSPO dan ISPO, untuk disesuaikan dengan kondisi industri kelapa sawit di Indonesia. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia masih merasakan diskriminasi dalam pelaksanaannya.

Berbagai regulasi tentang kelapa sawit yang ditetapkan oleh lembaga dunia dan pemerintah   belum   mampu   mengembangkan   industri   kelapa   sawit   secara maksimal. Daya saing industri kelapa sawit di Indonesia masih dapat ditingkatkan dibandingkan  dengan  negara  lain,  khususnya  Malaysia  yang  memiliki  lahan kelapa sawit lebih sedikit dibandingkan Indonesia namun memiliki keunggulan di bidang lain.

ISPO secara eksplisit bertujuan untuk menjadi lebih layak secara ekonomi bagi produsen, sementara tetap independen dari tekanan asing (Schouten dan Bitzer 2015). Adapun terdapat tujuan ISPO dioperasionalkan dalam 7 prinsip yangperlu dipenuhi oleh perusahaan bersertifikat dan di masa depan oleh petani bersertifikat diantaranya sebagai berikut:

1. Kepatuhan dengan izin bisnis yang sah.

2. Penerapan manajemen perkebunan berbasistentang Praktik Pertanian yang Baik (GAP)

3. Melindungi lahan gambut dan hutan primer.

4. Melakukan dan memantau pengelolaan lingkungan(misalnya, melindungi keanekaragaman jenis hayati, tata kelola limbah,dan pencegahan dan mitigasi kebakaran)

5. Sebagai bentuk tanggung jawab pada karyawan

6. Menujukkan kontribusi dalam pemberdayaan social ekonomi masyarakat.

7. Komitmen untuk perbaikan berkelanjutan dalam keberlanjutanmampu produksi minyak sawit

Inisiatif untuk mengatasi dampak buruk minyak sawit produksi secara khusus telah dijalankan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil( RSPO) (Ruysschaert dan Salles 2014). Inklusivitas kepentingan pemangku kepentingan dan kemampuannya untuk berkontribusi pada perubahan keberlanjutan (Bitzer dan Glasbergen, 2015). ISPO dapat dilihat sebagai kontra inisiatif dari Pemerintah Indonesia ke RSPO dan menjamin keberlanjutan produksinya, terutama dalam hal pencegahan masalah terkait kelapa sawit dan meningkatkan kualitas produksi sawit  di  Indonesia  (Wijaya dan Glasbergen, 2016). 

Dalam kaitannya dengan pembangunan  berkelanjutan  dan  perkembangan  industri  kelapa  sawit  serta faktor-faktor yang mempengaruhi strategi daya saing industri kelapa sawit di Indonesia, penelitian ini difokuskan pada topik “Tata Niaga Usaha Sawit Yang Adil Dan Pro Lingkungan Hidup Berkelanjutan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi dan kebijakan yang terkait dengan pengembangan tataniaga usaha kelapa sawit dan pengembangannya.

Literature Review

Lingkungan Hidup Berkelanjutan

Menurut  United  Nation  Environment  Programme (UNEP), kelestarian lingkungan adalah tentang bertindak dengan cara yang memastikan generasi mendatang memiliki sumber daya alam yang tersedia untuk menjalani cara hidup yang setara, jika tidak lebih baik, seperti generasi sekarang (UNEP, 2020). Dapat dipahami bahwa maksud dari lingkungan hidup berkelanjutan adalah pelestarian lingkungan sebagai kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia selama hidup dalam daya dukung ekosistem pendukung di bumi. Lingkungan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu di sekitar makhluk hidup.

Mereka   saling   memberikan  pengaruh kehidupan   mereka   dengan   kondisi pelestarian alam yang berkelanjutan.Kelestarian lingkungan dijelaskan sebagai bagaimana memenuhi kebutuhan untuk generasi sekarang dan mendatang tanpa merusak kesehatan ekosistem hingga di masa depan. Lingkungan berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip dalam menekankan kelestarian, diantaranya :

  1. Melindungi penopang kehidupannya
  2. Melindungi keanekaragaman biotik
  3. Memelihara serta memajukan integritas ekosistem,
  4. Mengembangkan dan menerapkan strategi yang preventif  dan   adaptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global

Dalam  lingkup  ekologis,  Herman  Daly  (1990) yang  merupakan  salah  satu perintis awal keberlanjutan ekologis mengusulkan agar :

  1. Untuk sumber daya terbarukan, tingkat panen tidak boleh melebihi tingkat regenerasi (hasil lestari)
  2. Tingkat pembangkitan limbah dari proyek tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan (pembuangan limbah berkelanjutan)
  3. Untuk sumber daya tak terbarukan, penipisan sumber daya tak terbarukan harus memerlukan pengembangan pengganti terbarukan yang sebanding untuk sumber daya tersebut

Dalam hal mencapai lingkungan yang berkelanjutan, terutama didasarkan pada konsep ekologi. Mulai dari yang terkecil, setiap komponen ekologi tidak boleh diabaikan.  Pencapaian lingkungan yang berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan sekarang dan di masa depan dengan tidak hanya memperhatikan ekologi, terdapat hal-hal sosial dan ekonomi lainnya dalam berbagai bentuk. Ketiga hal tersebut harus terintegrasi dengan baik agar lingkungan yang berkelanjutan dapat terwujud. Lingkup Lingkungan Berkelanjutan dapat dijabarkan sebagai berikut:

     1. Lingkungan sosial dan ekonomi :
               a) Menmproduksi kebutuhan genersi masa depan untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
               b) Merancang produk yang dapat digunakan untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
     2. Lingkungan hidup :
              a) Bertanggung jawab atas terjaganyakemajemukansumber daya hayati
              b) Menggunakan sumber daya berkelanjutan dengan efisien
              c) mengusahakan hasil panen tidak melebihi tingkat regenerasinya
              d) Meningkatkan sumber daya terbarukan seimbang dengan sumber daya yang dipakai.
             e) Melakukan recycleterhadap barang sisa produksi maupun peralatan produksi yang tidak terpakai.

Tataniaga Usaha Kelapa Sawit Berkelanjutan

Kelapa sawit memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa negara. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (dalam Wisena ddk 2014) Dalam kurun waktu 2010-2014 Indonesia diproyeksikan dapat memperoleh devisa sebesar US$80,9 miliar dari ekspor komoditas CPO.

Kemudian berdasarkan data Direktorat Perkebunan – Kementerian Pertanian tahun 2011, diketahui luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional hingga akhir tahun 2010 mencapai 7,16 juta hektar,  terdiri  dari  3,3  juta  hektar  perkebunan  rakyat  dan  3,8  juta  hektar perkebunan swasta dan BUMN (Wisena dkk, 2014). Reaktualisasi perkebunan masih merupakan  pilihan  yang  tepat  hingga  saat  ini.  

Hal  ini dikarenakan besarnya sumbangan sektor pertanian maupun perkebunan terhadap pembangunan nasional, bukan saja sumbangan terhadap GDP dan  devisa, tetapi  yang  lebih penting   adalah dalam hal penyerapan tenaga  kerja,  penyediaan kebutuhan pokok serta yang paling penting adalah sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia, terutama masyarakat di wilayah pedesaan (Raka, 2016).

Berbagai  analisa yang dilakukan baik studi kasus  dalam negeri maupun   luar   negeri, menunjukkan bahwa tidak berkelanjutannya kemampuan sektor pertanian dalam menunjang pembangunan nasional di Indonesia di dikarenakan timpangnya pembangunan sistem agribisnis.

Prospek pengembangan kelapa sawit diharapkan baik dari sisi permintaan.. Tingginya  preferensi  terhadap  minyak  sawit  dikarenakan  banyak  keunggulan dibandingkan  produk  penggantinya.  Keunggulan  tersebut  antara  lain, minyak sawit  relatif lebih tahan lama, tahan terhadap tekanan dan suhu  tinggi, tidak mudah berubah menjadi tengik., Minyak sawit memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, serta bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri (Asian Agri,2018). Diharapkan permintaan produk kelapa sawit akan tetap tinggi di masa depan.   

Hal   ini   disebabkan   preferensi   minyak   sawit   yang   relatif   tinggi dibandingkan dengan  produk  substitusinya  seperti  minyak  kedelai,  minyak jagung, dan minyak bunga matahari. Keunggulan lainnya adalah dari segi produktivitas  dan  biaya produksi.  Minyak  sawit  memiliki produktivitas yang relatif lebih tinggi dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari.

Dikutip dari Asian Agri, produksi kelapa sawit bisa melebihi 3,5 ton per hektar, sedangkan minyak kedelai hanya 0,4 ton per hektar, sedangkan minyak biji bunga matahari hanya 0,5 ton per hektar. Dari segi biaya produksi, rata-rata biaya produksi minyak kedelai US$300 per ton, sedangkan biaya produksi rata-rata minyak sawit hanya US$160 per ton. Selain itu, Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif dalam hal biaya tenaga kerja yang relatif lebih rendah yaitu 55%-60% dibandingkan dengan Malaysia (Asian Agri, 2018).

Pembangunan pertanian yang bertumpu pada subsistem produksi (on   farm) sebagai  akibat  dari  tuntutan  pengembangan  pangan  masa  lalu  telah menyebabkan kurang berkembangnya subsistem pemasaran (Raka, 2016). Paradigma peningkatan produksi berarti peningkatan  pendapatan  kini  semakin usang ketika harga tak dapat lagi disangga karena semakin minimnya sumber dana dan liberalisasi perdagangan yang terus mendesak. Dengan berdasar pada analisis dan kajian pola jaringan rantai pasok sawit mandiri, terdapat kebutuhan penyederhanaan agar lebih sehat,  efisien, ekonomis serta saling menguntungkan (Raka, 2016).

Beberapa penelitian telah dipublikasikan mengenai konsekuensi ekonomi dan sosial dari transformasi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan pertimbangan dari hasil panen sawit para petani yang masih rendah, terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas dan efektivitas layanan publik untuk membinanya. Petani sebagai pelaku produksi harus memahami pentingnya manajemen pertanian, mulai dari perencanaan, penyediaan dan pendistribusian serta metode komunikasi dan koordinasi perlu lebih dikembangkan. Adanya niat belajar dan usia yang produktif para petani sawit perlu dikembangkan sebagai wadah pelembagaan petani mandiri.

Strategi pengembangan manajemen rantai pasok bisa diperhitungkan dengan melakukan persilangan dan kombinasi memakai kemampuan yang dimiliki untuk menggunakan peluang yang ada, hal ini dilakukan untuk menangani tantangan yang ada. Keberhasilan konsep manajemen rantai pasok sawit mandiri berkelanjutan yang optimal dan efisien besar pengaruhnya dari sumber daya manusianya yang berperan sebagai pelaku manajemen rantai pasok sawit mandiri. Sumber daya manusia ini harus terus mengalami peningkatan baik kuantitas maupun  kualitasnya.

Melalui  pembangunan  perkebunan  kelapa  sawit  yang menganut prinsip lingkungan hidup berkelanjutan, maka masa depan perkebunan kelapa sawit dapat terjaga. Industri perkebunan kelapa sawit mesti memiliki visi besar untuk mengembangkan industrinya. Dengan dukungan SDM yang mumpuni dan  handal,  maka perusahaan  dapat  berkembang dengan menghasilkan keuntungan besar untuk kesejahteraan bersama. Kesejahteraan yang diperoleh itu akan di distribusikan kembali kepada lingkungan dan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit hingga tingkat nasional.

Oleh sebab itu, pengelolaan perkebunan kelapa sawit harus efisien dan efektif guna menghasilkan pengelolaan yang berorientasi kepada peningkatan ekonomi.Secara bersamaan, pembangunan perkebunan kelapa sawit juga harus menghasilkan kesejahteraan bagi lingkungan dan sosial masyarakat. Kesejahteraan lingkungan dapat dilakukan melalui pengelolaan keberadaan satwa langka, seperti Orangutan. Dimana keberadaannya kerap menjadi isu negatif bagi perkebunan kelapa sawit.

Teori Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan Brundtland Report yang diterbitkan oleh World Commission on Environment and Development tahun 1987, definisi pembangunan berkelanjutan ialah bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pemenuhan kebutuhan saat ini   tanpa   mengurangi   kemampuan   generasi   mendatang   untuk   memenuhi kebutuhan mereka (IISD, 2021).

 Berikut ini merupakan definisi yang lebih sederhana namun tegas tentang pembangunan berkelanjutan menurut ahli diantaranya:

  1. “Menyelamatkan planet  dan  menghapus  kemiskinan  dari  dunia”(Kane 2010).
  1. Kemudian  dengan   berpedoman   pada   konsep   Triple   Bottom   Line (Elkington 1997), perkembangan industri kelapa sawit berkelanjutan dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu ekonomi, aspek, aspek sosial, dan aspek lingkungan.  

Gambar 1 Sustainability Triangle

Gambar 1 Sustainability Triangle

 

Tiga aspek pembangunan berkelanjutan secara umum memiliki arti tanggung jawab sebagai berikut: (Blackburn, 2007)

  1. Sukses secara ekonomi

           Penggunaan keuangan sumber daya secara bijaksana untuk kesejahteraan perusahaan dan untuk kesejahteraan masyarakat;

  1. Tanggung Jawab Sosial

           Menghargai manusia denganb menghargai karyawan, praktik rekrutmen yang adil, anti diskriminasi, tidak eksploitatif; manajemen yang bertanggung jawab                 terhadap risiko, mengidolakan etika bisnis dan hukum; menghargai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, investor, pemasok dan lainnya; adil                 berurusan dengan pelanggan

  1. Penanggung Jawab Lingkungan Hidup

          Menghargai kehidupan dan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana meliputi Konservasi sumber daya, pengelolaan dan pencegahan            limbah, pengendalian dan pemulihan risiko lingkungan, mengurangi dampak rantai pasokan dan kerjasama dengan masyarakat.

 Pembahasan

Rencana Pemerintah Indonesia untuk memperluas mandatori blended biodiesel 30% (B30) mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk petani. Namun jika sistem tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) juga ditingkatkan, implementasi B30 di bidang ini akan lebih berhasil. Reno Afrino selaku Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), mengatakan jika tata niaga TBS diperbaiki, tidak diragukan lagi apabila B30 juga akan menguntungkan para petani (Syukra, 2020).

Selama ini beredar rumor yang menyatakan bahwa B30 hanya menguntungkan perusahaan kelapa sawit besar, dan seringkali melupakan petani (Syukra, 2020). Rencana terkait B30 merupakan kebijakan strategis nasional yang bertujuan untuk meningkatkan penyerapan produksi minyak sawit dalam negeri dan menjaga harga minyak sawit mentah agar lebih ekonomis.

Ketua Umum Gabungan atau yang dikenal dengan Gapki (Gapki) Joko Supriyono menyatkan bahwa Gapki juga mendorong petani untuk menerapkan praktek budi daya kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Subagyo, 2020). Untuk itu, maka produktivitas harus ditingkatkan, yang menjadi priritas adalah masalah dalam tataniaga dikarenakan petani tidak mempunyai akses Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).

Petani juga mendapat harga yang jauh dari yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melansir dari Antara News, Seno selaku Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia-Sanggau, Kalimantan Barat menyatakan bahwa keberadaan PKS tanpa kebun menyebabkan tataniaga tidak terkendali. PKS yang pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap TBS dari pekebun, namun karena adanya peraturan baru dalam perkembangan ini sehingga PKS diharapkan memiliki kebun sendiri (Dedi, 2020).

Seiring dengan berkembangnya industri kelapa sawit, profil publiknya pun demikian, sehingga mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kelapa sawit telah menjadi subyek kampanye konsumen, aktivis, dan media di pasar pembeli, serta seringnya demonstrasi dan kampanye dari masyarakat lokal di daerah produksi. Para pemerhati lingkungan telah berfokus pada dampak pada keanekaragaman hayati dan perubahan iklim karena hilangnya atau pembakaran hutan tropis dan pengeringan lahan gambut. LSM sosial telah menyoroti dampak industri terhadap masyarakat adat, hak atas tanah, hak buruh dan masyarakat lokal.

RSPO didirikan pada tahun 2004 sebagai tanggapan terhadap tekanan-tekanan ini. RSPO adalah organisasi multistakeholder, termasuk produsen, masyarakat sipil, pemerintah dan pembeli (RSPO, 2011). RSPO berupaya mencapai hal ini dengan mengembangkan, menerapkan, memverifikasi, memantau, dan meninjau standar global yang kredibel untuk seluruh rantai pasokan minyak sawit berkelanjutan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan rantai pasokan dalam proses ini, termasuk masyarakat sipil dan pemerintah  (RSPO, 2011).

Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) sekarang mewakili lebih dari 10% pasar minyak sawit global. Sekitar 1,12 juta hektar perkebunan kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2011). Eropa, diikuti oleh Amerika Utara, telah mengambil memimpin dalam berkomitmen dan membeli CSPO, bisa dibilang sebagai respons terhadap tekanan dan aktivisme publik. Merek dan pengecer besar seperti Walmart, Marks & Spencer, Unilever, Nestle, dan banyak lainnya, telah membuat komitmen untuk hanya menggunakan sumber CSPO (Levin, 2012).

Pekebun (dalam Levin, 2012)  mengidentifikasi tiga bidang utama di mana waktu dan pengeluaran diperlukan untuk mencapai sertifikasi, diantaranya:

  1. Penilaian Dan Pengelolaan Lahan

           Penilaian dan pengelolaan lahan meliputi identifikasi, persiapan, penyisihan, dan pengelolaan aktif kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di dalam perkebunan,             serta biaya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Sosial.

  1. Proses Sertifikasi

           Audit internal dan eksternal untuk memverifikasi dan membantu mengomunikasikan peningkatan standar produksi perkebunan, serta tindakan korektif                         (pengeluaran modal).

  1. Segregasi (opsional)

          Biaya transportasi dan penyimpanan tambahan untuk CSPO Terpisah

Perusahaan pertanian multinasional dan pembeli merek global semakin meningkatkan kekuatan dan pengaruh ramah industri ini, terutama di kalangan konsumen, tetapi juga di pemerintah dan organisasi advokasi (Suharto, 2010).

Pemerintah  Indonesia  mengembangkan standar keberlanjutan dan skema sertifikasi untuk minyak sawit, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), mengingat status Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, sertifikasi   seperti   Indonesia Sustainable  Palm  Oil  (ISPO)   jelas  mencoba membantu  penanam,   pengolah,   dan   eksportir   kelapa   sawit  dalam  negeri memenuhi peningkatan permintaan internasional untuk minyak sawit bersertifikat tanpa harus melalui RSPO yang lebih berorientasi internasional.

Hampir setengah dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh petani kecil (Brandi dkk, 2013). Mereka umumnya dianggap sebagai kelompok produsen yang rentan. Perkebunan mereka umumnya terlalu kecil dan produktivitasnya terlalu rendah untuk mendukung standar hidup petani kecil.

Petani kecil selanjutnya memiliki pengetahuan teknis yang terbatas, sehingga menyebabkan penggunaan pupuk tidak tepat, mereka tidak terorganisir dengan baik karena mereka beroperasi secara individual, dan memiliki akses terbatas ke pasar, kredit, dan dukungan pemerintah. Berdasarkan studi Hidayat dkk (2015), bahkan setelah mendapatkan sertifikasi RSPO, petani kelapa sawit Indonesia tetap rentan dan mata pencaharian mereka tampaknya tidak menjadi lebih berkelanjutan secara substansial.

Penerimaan ISPO di pasar global masih menjadi kendala dimana pasar global meragukan  kredibilitas  ISPO   (Suharto,  2010).  Sebagian  dari  keraguan  ini disebabkan oleh keengganan ISPO untuk secara ketat menjalankan ambisi keberlanjutan terkait masalah kelapa sawit yang terwujud dalam kurangnya peraturan  yang memadai  tentang  deforestasi  dan  hilangnya  keanekaragaman hayati (Suharto, 2010).

Dapat diiidentifikasi ketegangan antara merumuskan peraturan yang lebih ketat tentang dampak lingkungan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dan target utama pemerintah Indonesia untuk ekspansi ekonomi di sektor ini.Untuk menjadi alternatif yang dapat diandalkan di pasar global, ISPO membutuhkan keseimbangan yang lebih meyakinkan antara tujuan keberlanjutan dan kepentingan ekonomi, dikombinasikan dengan mekanisme implementasi dan penegakan yang lebih otoritatif dan lebih lengkap.

Oleh karena itu, proses sertifikasi ISPO perlu didesain ulang, terutama jika benar-benar bertujuan untuk mengikutsertakan jutaan petani kecil, yang membutuhkan beberapa imbalan untuk menjadi yakin akan nilai skema bagi mereka. Untuk dapat menjadi alternatif yang dapat diandalkan di pasar global, ISPO membutuhkan keseimbangan yang lebih meyakinkan antara tujuan keberlanjutan dan kepentingan ekonomi, dikombinasikan dengan mekanisme implementasi dan penegakan  yang  lebih  otoritatif dan lebih lengkap.

Sehingga dapat dikatakan bahwa sertifikasi ISPO perlu didesain ulang, terutama jika benar-benar bertujuan untuk mengikutsertakan jutaan petani kecil, yang membutuhkan imbalan untuk menjadi yakin akan nilai skema bagi mereka. Indikasi ketegangan ini adalah tanggapan pemerintah Indonesia terhadap inisiatif dari perusahaan kelapa sawit yang merumuskan tanggung jawab mereka terkait pembangunan berkelanjutan dengan cara yang lebih ketat.

Ikrar nol deforestasi mereka (larangan pembukaan hutan primer, sekunder dan gambut) awalnya ditandatangani oleh empat produsen minyak sawit terbesar di Indonesia (Asia Agri, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources dan Wilmar International). Belakangan, Musim Mas  dan PT Astra Agro Lestari juga bergabung (Levin, 2012)

Adapun berikut ini merupakan masalah lingkungan dan sosial yang dapat dicegah oleh ISPO:

  1. Pencegahan Deforestasi

           ISPO, sebagai standar wajib, berpotensi mampu mengurangi deforestasi di kawasan hutan lindung (37% dari total luas daratan) (FAO 2014).

  1. Perlindungan Keanekaragaman Hayati

          Dimana RSPO mewajibkan perusahaan untuk melindungi semua kawasan yang mengandung nilai konservasi tinggi, ISPO hanya mewajibkan perlindungan                    keanekaragaman hayati di zona lindung (Hidayat dkk, 2018).

  1. Meningkatkan Daya Saing

          ISPO bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia minyak sawit sian di pasar global tampaknya sulit diwujudkan. Pertama, karena ISPO belum diakui                oleh pelaku pasar global sebagai standar keberlanjutan yang kredibel. Kedua, ISPO  juga tampaknya kalah bersaing dengan minyak sawit tidak bersertifikat di              tingkat produsen, karena ISPO tidak termasuk harga premium atau biaya tambahan untuk minyak sawit bersertifikat (Hidayat dkk, 2016).

  1. Pengurangan Gas Rumah Kaca

          Banyak kepercayaan di antara perusahaan kelapa sawit dan aktor pemerintah mengenai kemampuan ISPO untuk mengurangi emisi dengan mengurangi                        penggunaan  bahan  kimia,  dan  mengadopsi  pengelolaan limbah yang lebih baik (Hidayat dkk, 2018).

  1. Pencegahan Konflik Sosial

          Perluasan perkebunan kelapa sawit menimbulkan konflik sosial. Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan hak atau penguasaan tanah dan ketidakpastian              tanah adat dan sistem hak. Selanjutnya, konflik sosial antar masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit terjadi, kebanyakan antara pendatang dan                          masyarakat lokal (Hidayat dkk, 2018). ISPO mencoba berkontribusi untuk menyelesaikan konflik sosial melalui penekanannya pada kewajiban perusahaan                    kelapa sawit untuk mengembangkan perkebunan rakyat untuk masyarakat sekitar minimal 20% dari total area konsesi mereka dan menciptakan kegiatan                    ekonomi produktif bagi masyarakat sekitar.

Penerapan strategi daya saing industri kelapa sawit dalam pembangunan berkelanjutan disusun berdasarkan hasil asumsi dasar dengan prioritas tertinggi sebagai persyaratan yang harus diperhatikan dalam menyusun model kebijakan. Berdasarkan   penelitian   Wisena   dkk,    didapati   elemen   model   kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing kelapa sawit industri dianalisis dengan metode ISM dengan ahli 10 utama elemen yang harus diperhatikan dalam pembuatan kebijakan, yaitu: Instansi atau kelompok dipengaruhi; Instansi atau kelompok yang terlibat; Kebutuhan program; Kendala utama; Perubahan yang memungkinkan; Tujuan; Tolok ukur untuk mencapai tujuan; Indikator dimensi ekonomi; Indikator dimensi lingkungan; dan Indikator dimensi sosial.

1. Elemen lembaga Yang Terpengaruh

Verifikasi pada unsur institusi atau kelompok yang dipengaruhi menjadi unsur kuncinya adalah Pemerintah (5) karena memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat  ketergantungan  terhadap  sub-elemen  kelompok  terpengaruh lainnya  yang  adalah  yang  terendah.  Selanjutnya  di  peringkat  kedua  adalah Investor (masyarakat,  individu,  institusi)  (3),  Pelanggan  (2),  Industri    (1), Lembaga keuangan (7), Kelompok penekan (8). Peringkat ketiga adalah Badan Litbang  (9) dan Lembaga  Pendidikan  (6),  sedangkan peringkat keempat dan kelima adalah Petani (4) dan Masyarakat (11) yang merupakan unsur dengan nilai terkecil. daya dorong dengan tingkat ketergantungan tertinggi terhadap kelompok pemangku kepentingan.

Diagram 1

Sumber: Wisena dkk (2014)

Diagram 1 menunjukkan bahwa penentuan level dari setiap sub-elemen yang ditetapkan dari setiap peringkat sub-elemen. Hasil dari penelitian ini diperoleh lima hierarki dimana sub-elemen Masyarakat (11) dan Petani (4) menempati level 1  dan level 2,  sedangkan Pemerintah (5) menempati level kelima. Subelemen Pemerintah (5) merupakan subelemen yang memiliki pengaruh terbesar sebagai elemen   kunci   dan   memberikan   tingkat   tertinggi   terhadap   sub-elemen   di bawahnya.

2. Unsur Lembaga Atau Kelompok Yang Terlibat

Elemen atau institusi yang terlibat dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit terdiri dari 11 sub elemen, yaitu 1). Industri, 2). Pelanggan, 3). Investor, 4). Petani, 5). Pemerintah, 6). Institusi pendidikan, 7). Lembaga keuangan, 8). Kelompok penekan, 9). Penelitian & Pengembangan, 10). Konsultan, 11). Publik.

Verifikasi  pada  elemen  lembaga/kelompok  yang  terlibat  dan  menjadi  kunci sub-elemennya adalah Kelompok Penekan (ISPO, LSM, lembaga dunia lainnya) (8), Pemerintah  (kebijakan,infrastruktur,  ISPO,  Kementerian  terkait  dan BPDPKS) (5), dan Petani (mandiri). penunjang, plasma, usaha besar dan kecil) (4) karena mereka memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen lembaga atau kelompok lain yang terlibat yang   paling   rendah.  Kemudian   di   peringkat   kedua   adalah   Research   & Development (independen, in-house) (9), Investor (publik, individu, institusi) (3), Pelanggan (pasar domestik, impor) (2),Industri (hulu, hilir, penunjang) (1), dan Institusi Pendidikan (6), sedangkan pada peringkat ketiga ditempati oleh Publik (11) yang merupakan elemen dengan daya dorong terkecil dengan tingkat ketergantungan tertinggi terhadap institusi atau instansi terkait.

Diagram 2

Sumber: Wisena dkk (2014)

Diagram 2  menunjukkan bahwa penentuan level setiap sub-elemen ditentukan dari setiap peringkat sub-elemen. Hasil penelitian ini diperoleh dari tiga hierarki dimana sub-elemen Public berada pada level pertama. Pada level kedua, terdapat sub elemen R&D (independen, in-house) (9), Investor (publik, individu, institusi) (3), Pelanggan (pasar domestik, impor) (2), Industri (hulu , hilir, penunjang) (1), Lembaga Pendidikan (6), Lembaga Keuangan (bank, non-bank) (7) dan Konsultan (10).

Sedangkan  pada  tingkat  ketiga  ditempati  oleh  sub  elemen  Kelompok Penekan (ISPO, LSM, lembaga dunia lain) (8), Pemerintah (kebijakan, infrastruktur, ISPO) (5) dan Petani (swasembada, plasma, besar dan kecil bisnis) (4). Sub elemen ketiga adalah sub elemen yang dipengaruhi oleh pengaruh langsung model kebijakan SD terhadap daya saing industri kelapa sawit dan akan memberikan pengaruh dan pengaruh pada sub elemen lainnya. 

3. Unsur Kebutuhan Kebijakan

Unsur kebutuhan kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit terdiri dari delapan sub unsur yaitu 1). Promosi, advokasi dan kampanye publik industri kelapa sawit, 2). Pengembangan Sumber Daya Manusia, 3). Pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah, 4). Penguatan dan penegakan hukum dalam pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dan pengelolaan perizinan, 5). Transparansi informasi pengembangan kelapa sawit, 6). Pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumberdaya, 7). Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut, 8). Dukungan penerapan prinsip dan kriteria RSPO, 9). Pengembangan mekanisme resolusi konflik.

Dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit, menjadi elemen kuncinya adalah Promosi, advokasi dan kampanye publik industri kelapa sawit (1) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (2) karena memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat ketergantungan. menuju sub-elemen kebutuhan lain yang paling rendah. Selanjutnya sub elemen yang berada pada satu tingkat di bawahnya adalah Dukungan terhadap penerapan prinsip dan kriteria RSPO (8) dan Penguatan dan penegakan hukum dalam pembangunan berkelanjutan kelapa sawit dan pengurusan izin (4).

Pada peringkat ketiga, sub-elemen yang termasuk di dalamnya adalah Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut (7), sedangkan sub-elemen yang menempati peringkat keempat adalah Pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya (6), Transparansi informasi pengembangan kelapa sawit (5), Pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah (3), dan Pengembangan mekanisme penyelesaian konflik (9). 

Diagram 3

Sumber: Wisena dkk (2014)

Diagram  3  menunjukkan  bahwa  tingkatan  hirarki unsur  kebutuhan kebijakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu sub unsur Pengembangan Aksesibilitas Petani terhadap Sumberdaya (6), Transparansi Informasi Pengembangan Kelapa Sawit (5), Pengembangan Produk dan peningkatan nilai tambah (3), dan Pengembangan mekanisme resolusi konflik (9). Pada level kedua terdapat sub elemen Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut (7), sedangkan pada level ketiga sub elemen yang menempatinya adalah Pendukung penerapan prinsip dan kriteria RSPO (8) dan Penguatan dan penegakan hukum dalam pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dan perizinan manajemen (4).

Sementara itu di tingkat keempat, ada sub-elemen Promosi, advokasi, dan kampanye publik industri kelapa sawit (1) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (2) memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi sub-elemen lainnya. Subelemen (1) dan (2) merupakan kebutuhan kebijakan utama, karena akan mempengaruhi strategi yang digunakan dalam kaitannya dengan SD perusahaan kelapa sawit.

4. Elemen kendala utama

Unsur kebutuhan kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit terdiri dari delapan sub unsur, yaitu 1). Deforestasi hutan yang besar, 2). Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati pada ekosistem, 3). Meningkatnya pemanasan global, 4). Penggunaan pupuk kimia untuk menghasilkan emisi gas rumah kaca, 5). Konflik sosial dengan masyarakat sekitar, 6).  Sulit mendapatkan sertifikat RSPO, 7). Industri hulu sulit berkembang, 8). Lemahnya   penegakan  hukum,  9).   Lambatnya  proses   sertifikasi  RSPO   di Indonesia. Hasil verifikasi pada model kendala utama yang dihadapi menjadi elemen kunci adalah Lemahnya penegakan hukum (8), karena memiliki daya dorong  terbesar  dengan  tingkat  ketergantungan  terhadap  sub  elemen kendala utama lainnya yang paling rendah.

Dapat dikatakan bahwa kendala utama dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah lemahnya penegakan hukum, sehingga dapat menyebabkan kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Kemudian di peringkat kedua adalah Deforestasi Hutan (1). Di peringkat ketiga, ada Penggunaan pupuk kimia (4). Pada peringkat keempat terdapat sub-elemen Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati terhadap ekosistem (2), sedangkan pada peringkat kelima terdapat peningkatan pemanasan global (3) dan konflik sosial dengan masyarakat lokal (5). Sementara itu, di peringkat keenam dan ketujuh ada yang Sulit mendapatkan sertifikasi RSPO (6), dan Industri Hulu yang sulit berkembang (7). 

Diagram 4

Sumber: Wisena dkk (2014)

Diagram 4 menunjukkan bahwa tingkat hierarki elemen kendala terdiri dari tujuh tingkat. Subelemen industri hulu yang sulit dikembangkan (7) berada pada tingkat pertama.  Pada  level  kedua  ditempati  oleh  sub  elemen  Sulit  mendapatkan sertifikasi RSPO (6). Sedangkan pada tingkat ketiga ditempati oleh peningkatan pemanasan global (3) dan konflik sosial dengan masyarakat lokal (5).

Pada tingkat keempat dan kelima ditempati oleh sub-elemen Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati pada ekosistem dan Penggunaan pupuk kimia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, sedangkan tingkat keenam dan ketujuh ditempati oleh sub-elemen Hutan Besar. deforestasi (1) dan Lemahnya penegakan hukum (8). Kelemahannya penegakan hukum sebagai kekuatan pendorong yang kuat bagi sub-elemen lainnya. Kendala utama yang dihadapi dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah. subelemen  8   (Lemahnya  penegakan  hukum).  Subelemen  ini  juga  merupakan pengaruh yang muncul pada kendala lain dalam kebijakan ini. 

5. Elemen Yang Memungkinkan Perubahan

Terdiri dari 14 sub elemen, yaitu: 1). Pembentukan ISPO, 2). Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan, 3). Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, 4). Mendukung pembangunan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup, 5). Menjadi anggota RSPO, 6). Membangun kawasan konservasi, 7). Ciptaan metode dan sistem yang ramah lingkungan, 8). Peningkatan devisa nonmigas, 9). Pemanfaatan lahan terlantar 10). Pengembangan komoditas kelapa sawit, 11). Dukungan peningkatan menuju sistem ketahanan pangan, 12). Peningkatan investasi usaha kelapa sawit, 13). Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan,  14).  

Pengembangan  kelembagaan  dan  bisnis  kemitraan.  Dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit, perubahan yang memungkinkan menjadi kuncinya adalah Pembentukan ISPO (1), karena memiliki daya dorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen perubahan lainnya yaitu paling rendah. Kemudian, sub elemen yang berada pada tingkat pertama di bawahnya, yaitu Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan (2), Mendukung pembangunan menuju pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup (4), Mengembangkan kawasan konservasi (6), dan Penciptaan metode dan sistem yang ramah lingkungan (7).

Pada peringkat ketiga terdapat sub elemen Memanfaatkan lahan terlantar (9), Pengembangan komoditas kelapa sawit (10),   Mendukung   peningkatan  sistem ketahanan  pangan  (11)   Peningkatan investasi usaha kelapa sawit (12) , Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (13) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha (14). Pada peringkat keempat terdapat sub unsur Peningkatan devisa nonmigas (8) dan pada peringkat kelima terdapat sub unsur Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (3). 

Diagram 5

Sumber: Wisena dkk (2014)

Output dari model struktural elemen yang memungkingkan perubahan dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Sub unsur peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (3) berada pada tingkat pertama. Level kedua ditempati oleh sub elemen Peningkatan devisa nonmigas (8), sedangkan level ketiga ditempati oleh sub elemen Pemanfaatan lahan terlantar (9), Pengembangan komoditas kelapa sawit (10), Peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan (11) Peningkatan investasi usaha kelapa sawit (12), Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (13) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan bisnis (14). 

Pada tingkat keempat ditempati oleh sub-elemen Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan (2), Pengembangan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (4), Membangun kawasan konservasi (6), dan Penciptaan metode dan pelayanan yang ramah lingkungan (7), sedangkan tingkat kelima ditempati oleh sub-elemen Pembentukan dari ISPO (1), sub-elemen ini memungkinkan perubahan. Dengan terwujudnya perubahan maka akan memicu terjadinya perubahan yang lain (other sub-element)

6. Elemen Objektif

Elemen tujuan program terdiri dari lima sub elemen yaitu, 1). Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO, 2).Mengidentifikasi dan menjelaskan deskripsi Mengidentifikasi dan menjelaskan deskripsi kebijakan terkait pengembangan industri kelapa sawit, 3). Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri, 4). Mengevaluasi  implementasi  strategi  berkelanjutan  dari  kebijakan  RSPO  dan ISPO, 5).   Merumuskan strategi bisnis dan strategi kebijakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Pada elemen objektif yang menjadi sub-elemen kunci adalah Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kelapa sawit (2), karena memiliki daya dorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen lain yang paling rendah. Selanjutnya sub elemen yang berada pada level pertama dibawahnya adalah Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO  (1). 

Pada peringkat ketiga terdapat sub-elemen Mengevaluasi implementasi strategi berkelanjutan dari kebijakan RSPO dan ISPO (4), dan pada peringkat keempat dan kelima terdapat Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap pembangunan berkelanjutan. daya saing industri (3) dan Merumuskan strategi bisnis dan strategi kebijakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (5). 

Diagram 6

Sumber: Wisena dkk (2014)

Output dari model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Subelemen Penyusunan strategi dan kebijakan bisnis untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (5) berada pada level pertama. Pada tingkat kedua, ditempati oleh sub-elemen Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit (3).

Pada level ketiga ditempati oleh sub elemen Evaluasi implementasi strategi berkelanjutan dari kebijakan RSPO dan ISPO (4). Sedangkan pada level keempat ditempati oleh sub elemen Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO (1) dan pada tingkat kelima ditempati oleh sub-elemen Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam  kaitannya  dengan pengembangan  industri  kelapa  sawit  (2). Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kelapa sawit menjadi tujuan utama program yang juga berpengaruh terhadap tujuan program lainnya (sub-elemen lainnya).

7. Unsur tolak ukur pencapaian

Tujuan Unsur tolak ukur pencapaian tujuan terdiri dari 1). Terciptanya kepercayaan terhadap produk, 2). Perlindungan terhadap keselamatan kerja, 3). Terciptanya masyarakat  yang  sejahtera,  4).  Terwujudnya  efisiensi  biaya,  5).  Tingginya motivasi kerja pegawai, 6). Terciptanya keamanan dalam berinvestasi, 7) dan Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan, 8). Terwujudnya preferensi kualitas dan preferensi moral. Pada elemen tolak ukur untuk memahami tujuan yaitu sub-elemen kunci adalah Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan (7) dan Perlindungan terhadap keselamatan (2).

Peringkat kedua adalah motivasi kerja  karyawan  yang  tinggi  (5),  peringkat  ketiga  adalah  realisasi  preferensi kualitas dan preferensi moral (8), peringkat keempat adalah Penciptaan kepercayaan  terhadap  produk  (1),  peringkat  kelima adalah Realisasi efisiensi biaya (4), peringkat keenam adalah Penciptaan keamanan dalam investasi (6) , dan peringkat ketujuh adalah Terciptanya masyarakat yang sejahtera (3). 

Diagram 7

Sumber: Wisena dkk (2014) 

Keluaran model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM menghasilkan   lima   tingkatan   hierarki.   Subelemen   terciptanya   masyarakat sejahtera (3) berada pada level satu. Kemudian pada level dua merupakan sub elemen penciptaan keamanan dalam berinvestasi (6). Pada level tiga dan empat, terdapat sub elemen realisasi efisiensi biaya (4) dan terciptanya kepercayaan terhadap produk (1).

Pada level lima dan enam terdapat sub elemen Realisasi preferensi kualitas dan preferensi moral (8) dan motivasi kerja karyawan yang tinggi (5), sedangkan pada level terakhir terdapat sub elemen Komitmen Penuh terhadap lingkungan. pelestarian (7) dan Perlindungan terhadap keselamatan kerja (2). Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan dan perlindungan terhadap keselamatan kerja menjadi tolak ukur untuk mencapai tujuan dalam model kebijakan SD menuju daya saing industri kelapa sawit.

8. Indikator dimensi ekonomi

Terdiri dari sub indikator yaitu 1). Manajemen mutu, 2). Manajemen risiko, 3). Perencanaan Strategis, 4). Kemitraan kolaboratif, 5). Berbagi informasi, 6). Manajemen teknologi,  7).  Penerapan standar keamanan, 8).  Suara pelanggan. Pada indikator dimensi ekonomi yaitu indikator kunci, adalah Berbagi informasi (5),  Mengelola teknologi  (6)  dan  Suara  pelanggan  (8).  Ketiga sub  indikator tersebut memiliki daya dorong  yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub indikator lainnya. Selain itu, sub indikator juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independen.

Diagram 8

Sumber: Wisena dkk (2014) 

Output model indikator struktural dimensi ekonomi dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Sub indikator dimensi ekonomi adalah Manajemen Mutu (1), Manajemen Risiko (2) berada pada level satu, kemudian pada level dua terdapat sub indikator Perencanaan Strategis (3). Pada level tiga terdapat sub indikator Kemitraan Kolaboratif (4), sedangkan pada level empat terdapat sub  indikator Penerapan standar keamanan (7). Sedangkan pada level lima terdapat sub indikator yaitu Information sharing (5), manage technology (6) dan Customer`s voice (8)

9.  Indikator dimensi lingkungan

Dimensi lingkungan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit terdiri dari empat belas sub indikator yaitu 1). Adopsi praktik hijau,  2).  Peraturan  Pemerintah, 3).Penerapan standar lingkungan, 4). Suara pelanggan, 5). Komitmen manajemen, 6). Pelatihan karyawan, 7). Hadiah dari pemerintah dan insentif, 8). Manajemen risiko, 9). Perencanaan strategis, 10). Kemitraan kolaboratif, 11). Strategi informasi, 12). Manajemen teknologi, 13). Pengelolaan kualitas lingkungan, 14).

Adopsi standar keamanan. Hasil verifikasi pada model dimensi lingkungan merupakan indikator kunci yaitu Peraturan Pemerintah (2), karena memiliki daya dorong yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan terhadap dimensi lingkungan terendah lainnya. Dapat dikatakan bahwa dimensi lingkungan dalam kebijakan SD terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah peraturan pemerintah, sehingga dalam melakukan tindakan tersebut perlu ditetapkan konstitusi. Selanjutnya di peringkat kedua adalah voice of  customer  (4).  

Di  peringkat  ketiga,  itu  adalahkomitmen  manajemen  (5). Peringkat keempat adalah strategi informasi (11) dan manajemen teknologi (12). Peringkat kelima adalah kemitraan kolaboratif (10). Peringkat keenam adalah perencanaan strategis (9), manajemen risiko (8), pelatihan karyawan (6), pengelolaan kualitas lingkungan (13), penerapan standar keamanan (14). Selanjutnya, peringkat ketujuh adalah hadiah dari pemerintah dan insentif (7), peringkat delapan adalah penerapan standar lingkungan (3), dan peringkat terakhir adalah peringkat kesembilan adalah penerapan praktik hijau (10).

Peringkat keenam adalah perencanaan strategis (9), manajemen risiko (8), pelatihan karyawan (6), pengelolaan kualitas lingkungan (13), penerapan standar keamanan (14). Selanjutnya, peringkat ketujuh adalah hadiah dari pemerintah dan insentif (7), peringkat delapan adalah penerapan standar lingkungan (3), dan peringkat terakhir adalah peringkat kesembilan adalah penerapan praktik hijau.

Diagram 9

Sumber: Wisena dkk (2014)

Output model struktural indikator dimensi lingkungan dengan teknik kemitraan kolaboratif ISM menghasilkan sembilan tingkat hierarki. Sub-indikator dimensi ekonomi, Adopsipraktik  hijau  (1),  berada  di  level  satu.  Di  tingkat  dua  ada sub-indikator Adopsi lingkungan standar (3), sedangkan pada level tiga terdapat sub-indikator Hadiah  pemerintah  dan  insentif  (7).

Pada  level empat terdapat sub-indikator  Pelatihan  karyawan  (6),  Manajemen  risiko  (8),  Strategis perencanaan (9), Pengelolaan lingkungan kualitas (13) dan Penerapan standar keamanan (14). Pada level lima terdapat sub indikator Kemitraan kolaboratif (10), di  lantai  enam  ada adalah  sub-indikator  dari  strategi Informasi  (11)  dan Manajemen teknologi (12). Sementara itu, pada level tujuh, delapan dan sembilan ada manajemen sub indikator komitmen (5), Voice of customer, (4) dan Peraturan Pemerintah (2)

10.  Indikator Dimensi Sosial

Dimensi sosial dalam kebijakan SD terhadap daya saing perusahaan kelapa sawit terdiri dari dua belas sub indikator, yaitu 1). Pemerataan tenaga kerja, 2). Kesehatan karyawan,  3).  Perlindungan  karyawan  yang  terluka,  4). Kedermawanan, 5). Kualitas hidup, 6). Pembebasan dari ruang publik, 7). Suara pelanggan, 8). Penerapan standar keamanan, 9). Peraturan Pemerintah, 10). Manajemen  teknologi,  11).  Perencanaan strategis, 12).  Kemitraan kolaboratif. Hasil verifikasi pada model dimensi sosial yang dihadapi yang menjadi indikator kuncinya adalah peraturan pemerintah (9), karena memiliki daya dorong yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan terhadap dimensi sosial lainnya yang paling  rendah.  

Dapat  dikatakan  bahwa  dimensi  sosial  dalam  kebijakan  SD terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah melalui peraturan pemerintah, sehingga dalam melakukan tindakan perlu memperhatikan konstitusi yang ditetapkan. Selanjutnya di peringkat kedua ada voice of customer (7), penerapan standar keamanan (8), dan pengelolaan teknologi (10). Pada peringkat ketiga terdapat sub indikator perencanaan strategis (11), sedangkan peringkat keempat adalah pembebasan ruang publik (6), perlindungan karyawan yang terluka (3), kesehatan karyawan (2), dan kolaborasi. kemitraan (12). Selanjutnya peringkat keenam  adalah  kualitas  hidup  (5)  dan  kedermawanan  (4),  peringkat  ketujuh adalah peringkat terakhir dari dimensi sosial yaitu pemerataan tenaga kerja (1).

Diagram 10

Sumber: Wisena dkk (2014) 

Kesimpulan 

Minyak sawit merupakan minyak nabati yang penting dan serbaguna, digunakan sebagai bahan baku industri pangan maupun non pangan. Meskipun kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang lebih berkelanjutan daripada tanaman minyak lainnya, ada kekhawatiran bahwa meningkatnya permintaan minyak sawit untuk makanan dan bahan bakar nabati dapat menyebabkan ekspansi produksi minyak sawit yang cepat dan tidak dikelola dengan baik serta mengakibatkan konsekuensi lingkungan dan sosial yang serius.

Tingginya pertumbuhan penduduk dan terjadinya peningkatan  kebutuhan  manusia  serta semakain berkembangnya ilmu  pengetahuan  dan  teknologi mengakibatkan lingkungan  menjadi  korban dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Menanggapi panggilan global yang mendesak dan mendesak untuk minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan, RSPO dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar global yang kredibel dan keterlibatan pemangku kepentingan.

Indonesia adalah salah satu negara selatan pertama yang mengembangkan standar publik dan skema sertifikasi untuk komoditas pertanian sebagai reaksi terhadap standar dan sertifikasi keberlanjutan swasta. Capaian standar penerapan ISPO adalah komitmen perusahaan sebagai pelaku usaha dengan dukungan SDM yang berkualitas  membantu  perwujudan  perkebunan  yang  berkualitas  dan berkelanjutan.

Pemerintah berperan sebagai penentu regulasi dalam mengawasi kebijakan yang telah ditetapkan. Secara pelatihan dan operasioanl perusahaan perkebunan sebagai upaya terpenuhinya penerapan standar ISPO perlu dilakukan oleh pemerintah bersama komisi ISPO agar hambatan pemenuhan prinsip dan kriteria standar Indonesian Sustainable Palm Oil bisa ditangani, karena upaya tersebut bersifat bagian dari faktor keberhasilan implementasi ISPO.

Strategi dan kebijakan  industri  kelapa sawit diyakinkan harus  memperhatikan aspek lingkungan dan aspek sosial. Aspek ekonomi yang unggul saat ini harus mendukung aspek sosial dan lingkungan. Peran pemerintah dan regulasi menjadi faktor pendorong utama dalam menentukan strategi pembangunan berkelanjutan untuk mendukung daya saing industri kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit yang berpedoman pada prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan tidak  hanya   menjadi   kebun   sawit   yang   ramah   lingkungan,   tetapi   juga mengedukasi dan mendukung petani sawit untuk menerapkan praktik sawit berkelanjutan guna mewujudkan lingkungan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka 

Asian  Agri.  2018.  Keunggulan  Kelapa  Sawit.  8  Februari  2018.  Diakses  17 Oktober 2021. https://www.asianagri.com/id/media-id/artikel/keunggulan-kelapa-sawit.

Blackburn  WR.  The  Sustainability  Handbook,   The  Complete  management Guide    to     Achieving     Social,     Economic     and     Environmental Responsibility. (2007) (e-book). Earthscan. Washington DC. USA

Bitzer,  V.,  and  P.  Glasbergen.  2015.  Business–NGO  Partnerships In   Global Value Chains: Part Of The Solution Or Part Of The Problem Of Sustainable Change. Current Opinion in Environmental Sustainability 12: 35–40. doi:10.1016/j.cosust.2014.08.012

Brandi, C., T. Cabani, C. Hosang, S. Schirmbeck, L. Westermann, and H.  Wiese. Sustainability Certification  In   The  Indonesian  Palm Oil Sector: Benefits And Challenges For Smallholders. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)

Daly,   H.   E.   1990.   Toward   Some   Operational  Principles  Of  Sustainable Development. Ecological Economic 2, 1-6.

Dauvergne, Peter. The Global Politics of the Business of “Sustainable” Palm Oil. Global     Environmental     Politics     2018;     18     (2):     34–52.     doi: https://doi.org/10.1162/glep_a_00455

Dedi. 2020. Asosiasi: Pabrik Tanpa Kebun Sawit Bisa Menganggu Tata Niaga.

Antara News, 9 November 2020. Diakses15 Oktober 2021. https://www.antaranews.com/berita/1829916/asosiasi-pabrik-tanpa-kebun-sa wit-bisa-menganggu-tata-niaga

Elkington JB. (1997). Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business, Capstone Publishing Ltd, London

Fargione,  J.,  J.  Hill,  D.  Tilman,  S.  Polasky,  and  P.  Hawthorne. 2008.  Land clearing and the biofuel carbon debt. Science 319  (5867): 1235–1238

FAO. 2014. Global forest resources assessment 2015: Country report Indonesia. Rome:  Food  and  Agriculture  Organization  (FAO).  Diakses 17 Oktober 2021. https://tinyurl.com/wt9ybdrj

Fritz M. and Schiefer G. (2008). Sustainability in Food Network. [GEWISOLA] German Association of Agricultural Economics. Germany: University of Bonn

GreenPalm.org. 2010. What    is   Palm   Oil.   Diakses 17 Oktober 2021. http://www.greenpalm.org/en/about-palm-oil/what-is-palm-oil

Harahap,    Gustami,   Abdul   Rahman   dkk.   2017.   “ANALISIS   EFISIENSI TATANIAGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA SAWIT (Study Kasus : Petani Perkebunan Inti Rakyat Desa   Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu, Kabupaten Labuhan Batu)”. Jurnal Wahana Inovasi, VOLUME 6 No.2, JULI-DES 2017. Diakses pada 12 Oktober 2021. https://tinyurl.com/25fctfzk

Hidayat, N.K., A. Offermans, and P. Glasbergen. 2016. On the profitability of sustainability certification: An analysis among Indonesian   palm   oil smallholders.            Journal   of   Economics   and   Sustainable Development 7 (18): 45–62

Hidayat, Nia K. Astrid Offermans. Pieter Glasbergen. 2018. “Sustainable Palm Oil  As   A   Public  Responsibility?  On   The  Governance  Capacity  Of Indonesian Standard For Sustainable Palm Oil (ISPO)”. Jurnal Agric Hum Values,     31     July     2017.     Diakses     12     Oktober     2021.     DOI 10.1007/s10460-017-9816-6

Indonesia  Investment.  2016.  Minyak Kelapa Sawit. 26  Juni 2016.  Diakses17 Oktober 2021. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/i tem166?

International     Insitute    for    Sustainable    Development.    2021.    Sustainable Development: Brundtland     Report.     Diakses     12     Oktober    2021. https://www.iisd.org/about-iisd/sustainable-development

Levin, Joshua. WWF-US. 2012. “Profitability and Sustainability in Palm Oil Production Analysis of”. Diakses 15 Otober 2021. https://tinyurl.com/3d4mj5jx

Kane,    G.    (2010).    The    Three    Secrets    of    Green    Business:    Unlocking Competitive Advantage in a Low  Carbon    Economy. Earthscan. USA.

Koh,   L.P.,   and  D.S.   Wilcove.  2009.   “Oil  Palm:  Disinformation  Enables Deforestation”.Trend In Ecology And Evolution 24 (2): 67–68

Mielke, T. 2011. Global supply and demand outlook for palm and lauric oils−Trends and future prospects. Presentation at MPOC POINTERS 2011 internet conference. http://www.pointers.org.my/report_details.php?id=46

Pasaribu, Stephany I, Frank Vanclay and Yongjun Zhao. 2020. Challenges to Implementing Socially-Sustainable Community Development in Oil Palm and Forestry Operations in Indonesia. Journal Land 2020, 9, 61; doi:10.3390/land9030061

Raka, I  Gusti Ngurah.  2016.“PENGANTAR  ILMU  PERTANIAN: Tata Niaga Pertanian”. Diakses 11 Oktober 2021. https://tinyurl.com/z6n38872

RSPO. 2011. Indonesia: Benchmark for Sustainable Oil Palm in Emerging Markets. Diakses 12 Oktober 2021. http://www.rspo.org/?q=content/indonesia-benchmark-sustainable-palm-oil- emerging-markets

RSPO. 2011. RSPO. Diakses 12 Oktober 2021. http://www.rspo.org/?q=categorysta

Ruysschaert, D., and D. Salles. 2014. “Towards Global Voluntary Standards: Questioning  The  Effectiveness  In  Attaining  Conservation  Goals:  The Case  Of  The Roundtable On  Sustanable Palm Oil (RSPO)”.  Ecological Economics 107: 438–446.  doi:10.1016/j.ecolecon.2014.09.016.

Schouten, G., and V. Bitzer. 2015. “The Emergence Of Southern Standards  In Agricultural                         Value     Chains:     A     New     Trend    In     Sustainability Governance?”.Ecological Economics 120: 175–184

Sheil,    D.,    A.   Casson,    E.   Meijaard,   M.   van  Noordwijk,   J.   Gaskell,  J. Sunderland-Groves,  K.   Wertz,  and  M.   Kanninen.  2009.  The impacts and opportunities  of  oil  palm  in  Southeast  Asia:  What  do  we  know and   what   do   we   need  to  know?   CIFOR   occasional  paper no. 51. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR)

Subagyo.   2020.   “Gapki   Dorong   Petani   Terapkan   Praktek   Kelapa   Sawit Berkelanjutan”. AntaraNew, 2 November 2020. Diakses 15 Oktober 2021. https://www.antaranews.com/berita/1816280/gapki-dorong-petani-terapkan- praktek-kelapa-sawit-berkelanjutan

Suharto,    R.   2010.    “Why    Indonesia   needs  ISPO”.   The  Jakarta  Post, 12 Februari. Diakses pada 12 Oktober 2021. http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/02/why-indonesia-needsispo.h tml

Syukra, Ridho. 2020. “Tata Niaga Sawit Petani Perlu Diperbaiki”. Investor.Id, 15 September 2020. Diakses 15 Oktober 2021. https://investor.id/business/222422/tata-niaga-sawit-petani-perlu-diperbaiki

UNEP. 2021. “Sustainability”. Diakses 12 Oktober 2021. https://www.unep.org/about-un-environment/sustainability

Wijaya, A., and P. Glasbergen. 2016. “Toward A New Scenario In Agri-Cultural Sustainability Certification? The Response Of The Indonesian National Government To Private Certification”. The Journal of Environment and Development 25 (2): 219–246.

Wisena, B., Arif, D., Bustanul, A., Rina, O. 2014. Sustainable Development Strategy for Improving the Competitiveness of Oil Palm Industry. Intenational  Research Journal  of  Business  Studies,  Vol  7,  No.1  ISSN: 2089-6271

Wicke, B., Dornburg, V., Junginger, J.& Faaij, A. 2008. Different palm oil production      systems   for   energy   purposes   and   their   greenhouse   gas implications. Biomass and Bioenergy, 32, 2008, 1322-1337.

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar