Analisis Hukum Tata Niaga Usaha Sawit, Adil & Pro Lingkungan Hidup
Ilustrasi Usaha Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Melibatkan Kesejahteraan Petani Sawit Rakyat (infosawit)
Jakarta, law-justice.co - Artikel ini ditulis bersama oleh Dr. Elyta (Dosen FISIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak), Happy Hendrawan (Aktivis Pemerhati Sawit), Ade Indra Chaniago (Dosen Stisipol Candradimuka, Palembang)
Saat ini, kehidupan manusia modern tidak lepas dari produk minyak sawit; mulai dari margarin, sereal, keripik, permen dan makanan yang dipanggang, hingga sabun, sampo, bubuk pencuci dan kosmetik, juga dapat digunakan dalam bahan pakan ternak dan sebagai bahan bakar hayati (GreenPalm, 2010).
Kelapa sawit hanya dapat dibudidayakan di daerah tropis Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Indonesia merupkan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan perdagangan ekspor yang cukup besar. Secara kolektif Indonesia menyumbang sekitar 87% dari output global.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melampaui Malaysia sebagai produsen terbesar. Indonesia menghasilkan crude palm oil (CPO) utama dengan volume tertinggi di dunia sebesar 28 juta ton per tahun, diikuti oleh Malaysia dan Thailand.
Minyak kelapa sawit Indonesia menjadi andalan ekspor. Industri kelapa sawit Indonesia memiliki berbagai keunggulan, diantaranya biaya produksi yang lebih rendah dan posisi yang sangat strategis di pusat industri CPO dunia di Asia Tenggara.
Perkembangan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan bahwa industri ini memiliki prospek yang positif, terutama terkait dengan nilai tambah dan daya saing. Pengembangan industri perkebunan ditujukan untuk semakin meningkatkan hasil produksi milik swasta dalam skala besar, perusahaan milik negara, dan rakyat.
Namun, perkembangan industri kelapa sawit juga menghadapi berbagai persoalan terkait masalah teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan pemerintahan yang semakin kompleks.
Sebuah studi oleh Wicke dkk (2008) menyatakan bahwa hasil kebun kelapa sawit masih menjadi komoditas hasil kebun berkualitas tinggi. Sebagian besar wilayah yang dibutuhkan untuk perluasan industri kelapa sawit telah melibatkan konversi hutan.
Tanaman kelapa sawit umumnya tumbuh rata-rata 20-25 tahun. Pada saat sawit berusia tujuh sampai sepuluh tahun akan disebut sebagai periode matang, dimana pada periode tersebut menghasilkan buah segar (TBS) (Harahap dkk, 2017). Sedangkan untuk tanaman kelapa sawit jika sudah berusia 11 hingga 20 tahun akan mulai terjadi penurunan produksi buah segar (Harahap dkk, 2017).
Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan industri kelapa sawit menghadapi lebih banyak hambatan dan tantangan, sehingga kebijakan yang jelas dan tegas tentang pengelolaan perkebunan kelapa sawit perlu dirumuskan untuk memastikan semua pemangku kepentingan memperoleh manfaat dari strategi baru pembangunan berkelanjutan di industri kelapa sawit diambil oleh para pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit untuk menyelaraskan kepentingan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan dan permintaan pasar yang mendesak untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang cepat telah menimbulkan kekhawatiran tentang distribusi biaya dan manfaat dari kegiatan ini, terutama dalam trade-off antara konservasi dan pembangunan (Rist dalam Pasaribu dkk, 2020). Kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan telah menyediakan banyak lapangan kerja. Namun, ekspansi yang cepat telah menciptakan konflik sosial dan masalah lingkungan.
Studi oleh Rist (dalam Pasaribu dkk, 2020) menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit memiliki dampak yang kontradiktif menilai dampak pengembangan kelapa sawit terhadap kesejahteraan petani kecil di Kalimantan dan Sumatera, Indonesia. Mereka membandingkan kontradiksi yang nyata antara dampak negatif ekspansi kelapa sawit terhadap dukungan masyarakat pedesaan untuk pengembangan kelapa sawit, baik sebagai petani kecil atau dengan menjual tanah mereka kepada perusahaan kelapa sawit.
Mereka menemukan bahwa, di semua lokasi, masyarakat lokal menyatakan dukungan yang kuat terhadap kelapa sawit untuk dikembangkan di wilayah mereka. Masyarakat, khususnya perempuan, mendambakan sumber pendapatan tetap untuk menjamin akses yang lebih baik dalam pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari (Rist dalam Pasaribu dkk, 2020). Oleh karena itu, sebagian masyarakat menganggap bahwa kelapa sawit adalah pilihan terbaik mereka untuk memenuhi kebutuhan pembangunan mereka. Namun, belakangan ditemukan bahwa terdapat dampak yang tidak terduga dan eksternalitas yang signifikan.
Keberhasilan bisnis jangka panjang hanya dapat dipertimbangkan dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas dengan mengurangi dampak aktivitas terhadap lingkungan dan menjalankan bisnis yang bertanggung jawab secara sosial atau bisnis yang etis. Oleh karena itu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar keberlanjutan global yang kredibel (RSPO, 2011).
RSPO dikembangkan melalui keterlibatan semua pemangku kepentingan yang mereka sebut sebagai Prinsip dan Kriteria RSPO dan diterapkan sebagai etika bisnis bagi semua pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kelapa sawit (RSPO, 2011). Namun, pembentukan RSPO juga menimbulkan kontroversi dari beberapa LSM besar di dunia (RSPO, 2011). Formasi dari RSPO bukan berarti industri kelapa sawit tidak punya tantangan lagi.
Selain itu, kebijakan pemerintah Indonesia terkait industri kelapa sawit dan perkebunan masih dipertanyakan. Khususnya yang terkait dengan penegakan hukum, birokrasi bahkan AMDAL masih rendah, sehingga Indonesia belum siap dan kalah saing dibandingkan Malaysia. Berdasarkan studi oleh Wisena dkk hingga Malaysia telah menjual berbagai turunan produk dengan nilai tambah lebih tinggi, sedangkan Indonesia masih didominasi ekspor minyak sawit mentah atau CPO (Wisena dkk, 2014).
Pada kenyataannya bukan berarti Indonesia tidak mampu menghasilkan berbagai produk turunan kelapa sawit, namun belum didukung oleh kebijakan yang kondusif. Penerapan industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia tercermin dari terbentuknya Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia di pasar dunia dan berpartisipasi dalam memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca dan memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan.
Perluasan produksi kelapa sawit di negara berkembang termasuk Indonesia, banyak diperdebatkan. Meskipun ekspansi ini memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan ekonomi Indonesia dengan menciptakan kesempatan kerja dan menciptakan manfaat bagi kesejahteraan petani (Sheil, 2009), hal itu juga terkait dengan keberlanjutan masalah seperti deforestasi (Koh dan Wilcove 2009), emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati (Fitzherbert 2008), serta konflik sosial yang muncul (Fargione dkk, 2008).
Penerapan ISPO yang dilakukan dengan memegang teguh prinsip pendirian dan advokasi serta pembinaan terhadap perkebunan kelapa sawit yang menjadi tugas pemerintah. Berbagai peraturan untuk mengelola industri kelapa sawit telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan tersebut bertujuan untuk menjaga kenyamanan setiap pelaku dalam pengembangan industri kelapa sawit, termasuk tentang pelestarian lingkungan.
Dalam implementasi industri kelapa sawit berkelanjutan, Indonesia mengadaptasi berbagai regulasi yang ditetapkan RSPO dan ISPO, untuk disesuaikan dengan kondisi industri kelapa sawit di Indonesia. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia masih merasakan diskriminasi dalam pelaksanaannya.
Berbagai regulasi tentang kelapa sawit yang ditetapkan oleh lembaga dunia dan pemerintah belum mampu mengembangkan industri kelapa sawit secara maksimal. Daya saing industri kelapa sawit di Indonesia masih dapat ditingkatkan dibandingkan dengan negara lain, khususnya Malaysia yang memiliki lahan kelapa sawit lebih sedikit dibandingkan Indonesia namun memiliki keunggulan di bidang lain.
ISPO secara eksplisit bertujuan untuk menjadi lebih layak secara ekonomi bagi produsen, sementara tetap independen dari tekanan asing (Schouten dan Bitzer 2015). Adapun terdapat tujuan ISPO dioperasionalkan dalam 7 prinsip yangperlu dipenuhi oleh perusahaan bersertifikat dan di masa depan oleh petani bersertifikat diantaranya sebagai berikut:
1. Kepatuhan dengan izin bisnis yang sah.
2. Penerapan manajemen perkebunan berbasistentang Praktik Pertanian yang Baik (GAP)
3. Melindungi lahan gambut dan hutan primer.
4. Melakukan dan memantau pengelolaan lingkungan(misalnya, melindungi keanekaragaman jenis hayati, tata kelola limbah,dan pencegahan dan mitigasi kebakaran)
5. Sebagai bentuk tanggung jawab pada karyawan
6. Menujukkan kontribusi dalam pemberdayaan social ekonomi masyarakat.
7. Komitmen untuk perbaikan berkelanjutan dalam keberlanjutanmampu produksi minyak sawit
Inisiatif untuk mengatasi dampak buruk minyak sawit produksi secara khusus telah dijalankan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil( RSPO) (Ruysschaert dan Salles 2014). Inklusivitas kepentingan pemangku kepentingan dan kemampuannya untuk berkontribusi pada perubahan keberlanjutan (Bitzer dan Glasbergen, 2015). ISPO dapat dilihat sebagai kontra inisiatif dari Pemerintah Indonesia ke RSPO dan menjamin keberlanjutan produksinya, terutama dalam hal pencegahan masalah terkait kelapa sawit dan meningkatkan kualitas produksi sawit di Indonesia (Wijaya dan Glasbergen, 2016).
Dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan dan perkembangan industri kelapa sawit serta faktor-faktor yang mempengaruhi strategi daya saing industri kelapa sawit di Indonesia, penelitian ini difokuskan pada topik “Tata Niaga Usaha Sawit Yang Adil Dan Pro Lingkungan Hidup Berkelanjutan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi dan kebijakan yang terkait dengan pengembangan tataniaga usaha kelapa sawit dan pengembangannya.
Literature Review
Lingkungan Hidup Berkelanjutan
Menurut United Nation Environment Programme (UNEP), kelestarian lingkungan adalah tentang bertindak dengan cara yang memastikan generasi mendatang memiliki sumber daya alam yang tersedia untuk menjalani cara hidup yang setara, jika tidak lebih baik, seperti generasi sekarang (UNEP, 2020). Dapat dipahami bahwa maksud dari lingkungan hidup berkelanjutan adalah pelestarian lingkungan sebagai kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia selama hidup dalam daya dukung ekosistem pendukung di bumi. Lingkungan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu di sekitar makhluk hidup.
Mereka saling memberikan pengaruh kehidupan mereka dengan kondisi pelestarian alam yang berkelanjutan.Kelestarian lingkungan dijelaskan sebagai bagaimana memenuhi kebutuhan untuk generasi sekarang dan mendatang tanpa merusak kesehatan ekosistem hingga di masa depan. Lingkungan berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip dalam menekankan kelestarian, diantaranya :
- Melindungi penopang kehidupannya
- Melindungi keanekaragaman biotik
- Memelihara serta memajukan integritas ekosistem,
- Mengembangkan dan menerapkan strategi yang preventif dan adaptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global
Dalam lingkup ekologis, Herman Daly (1990) yang merupakan salah satu perintis awal keberlanjutan ekologis mengusulkan agar :
- Untuk sumber daya terbarukan, tingkat panen tidak boleh melebihi tingkat regenerasi (hasil lestari)
- Tingkat pembangkitan limbah dari proyek tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan (pembuangan limbah berkelanjutan)
- Untuk sumber daya tak terbarukan, penipisan sumber daya tak terbarukan harus memerlukan pengembangan pengganti terbarukan yang sebanding untuk sumber daya tersebut
Dalam hal mencapai lingkungan yang berkelanjutan, terutama didasarkan pada konsep ekologi. Mulai dari yang terkecil, setiap komponen ekologi tidak boleh diabaikan. Pencapaian lingkungan yang berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan sekarang dan di masa depan dengan tidak hanya memperhatikan ekologi, terdapat hal-hal sosial dan ekonomi lainnya dalam berbagai bentuk. Ketiga hal tersebut harus terintegrasi dengan baik agar lingkungan yang berkelanjutan dapat terwujud. Lingkup Lingkungan Berkelanjutan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Lingkungan sosial dan ekonomi :
a) Menmproduksi kebutuhan genersi masa depan untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
b) Merancang produk yang dapat digunakan untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
2. Lingkungan hidup :
a) Bertanggung jawab atas terjaganyakemajemukansumber daya hayati
b) Menggunakan sumber daya berkelanjutan dengan efisien
c) mengusahakan hasil panen tidak melebihi tingkat regenerasinya
d) Meningkatkan sumber daya terbarukan seimbang dengan sumber daya yang dipakai.
e) Melakukan recycleterhadap barang sisa produksi maupun peralatan produksi yang tidak terpakai.
Tataniaga Usaha Kelapa Sawit Berkelanjutan
Kelapa sawit memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa negara. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (dalam Wisena ddk 2014) Dalam kurun waktu 2010-2014 Indonesia diproyeksikan dapat memperoleh devisa sebesar US$80,9 miliar dari ekspor komoditas CPO.
Kemudian berdasarkan data Direktorat Perkebunan – Kementerian Pertanian tahun 2011, diketahui luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional hingga akhir tahun 2010 mencapai 7,16 juta hektar, terdiri dari 3,3 juta hektar perkebunan rakyat dan 3,8 juta hektar perkebunan swasta dan BUMN (Wisena dkk, 2014). Reaktualisasi perkebunan masih merupakan pilihan yang tepat hingga saat ini.
Hal ini dikarenakan besarnya sumbangan sektor pertanian maupun perkebunan terhadap pembangunan nasional, bukan saja sumbangan terhadap GDP dan devisa, tetapi yang lebih penting adalah dalam hal penyerapan tenaga kerja, penyediaan kebutuhan pokok serta yang paling penting adalah sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia, terutama masyarakat di wilayah pedesaan (Raka, 2016).
Berbagai analisa yang dilakukan baik studi kasus dalam negeri maupun luar negeri, menunjukkan bahwa tidak berkelanjutannya kemampuan sektor pertanian dalam menunjang pembangunan nasional di Indonesia di dikarenakan timpangnya pembangunan sistem agribisnis.
Prospek pengembangan kelapa sawit diharapkan baik dari sisi permintaan.. Tingginya preferensi terhadap minyak sawit dikarenakan banyak keunggulan dibandingkan produk penggantinya. Keunggulan tersebut antara lain, minyak sawit relatif lebih tahan lama, tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak mudah berubah menjadi tengik., Minyak sawit memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, serta bermanfaat sebagai bahan baku berbagai jenis industri (Asian Agri,2018). Diharapkan permintaan produk kelapa sawit akan tetap tinggi di masa depan.
Hal ini disebabkan preferensi minyak sawit yang relatif tinggi dibandingkan dengan produk substitusinya seperti minyak kedelai, minyak jagung, dan minyak bunga matahari. Keunggulan lainnya adalah dari segi produktivitas dan biaya produksi. Minyak sawit memiliki produktivitas yang relatif lebih tinggi dan biaya produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari.
Dikutip dari Asian Agri, produksi kelapa sawit bisa melebihi 3,5 ton per hektar, sedangkan minyak kedelai hanya 0,4 ton per hektar, sedangkan minyak biji bunga matahari hanya 0,5 ton per hektar. Dari segi biaya produksi, rata-rata biaya produksi minyak kedelai US$300 per ton, sedangkan biaya produksi rata-rata minyak sawit hanya US$160 per ton. Selain itu, Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif dalam hal biaya tenaga kerja yang relatif lebih rendah yaitu 55%-60% dibandingkan dengan Malaysia (Asian Agri, 2018).
Pembangunan pertanian yang bertumpu pada subsistem produksi (on farm) sebagai akibat dari tuntutan pengembangan pangan masa lalu telah menyebabkan kurang berkembangnya subsistem pemasaran (Raka, 2016). Paradigma peningkatan produksi berarti peningkatan pendapatan kini semakin usang ketika harga tak dapat lagi disangga karena semakin minimnya sumber dana dan liberalisasi perdagangan yang terus mendesak. Dengan berdasar pada analisis dan kajian pola jaringan rantai pasok sawit mandiri, terdapat kebutuhan penyederhanaan agar lebih sehat, efisien, ekonomis serta saling menguntungkan (Raka, 2016).
Beberapa penelitian telah dipublikasikan mengenai konsekuensi ekonomi dan sosial dari transformasi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan pertimbangan dari hasil panen sawit para petani yang masih rendah, terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas dan efektivitas layanan publik untuk membinanya. Petani sebagai pelaku produksi harus memahami pentingnya manajemen pertanian, mulai dari perencanaan, penyediaan dan pendistribusian serta metode komunikasi dan koordinasi perlu lebih dikembangkan. Adanya niat belajar dan usia yang produktif para petani sawit perlu dikembangkan sebagai wadah pelembagaan petani mandiri.
Strategi pengembangan manajemen rantai pasok bisa diperhitungkan dengan melakukan persilangan dan kombinasi memakai kemampuan yang dimiliki untuk menggunakan peluang yang ada, hal ini dilakukan untuk menangani tantangan yang ada. Keberhasilan konsep manajemen rantai pasok sawit mandiri berkelanjutan yang optimal dan efisien besar pengaruhnya dari sumber daya manusianya yang berperan sebagai pelaku manajemen rantai pasok sawit mandiri. Sumber daya manusia ini harus terus mengalami peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya.
Melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menganut prinsip lingkungan hidup berkelanjutan, maka masa depan perkebunan kelapa sawit dapat terjaga. Industri perkebunan kelapa sawit mesti memiliki visi besar untuk mengembangkan industrinya. Dengan dukungan SDM yang mumpuni dan handal, maka perusahaan dapat berkembang dengan menghasilkan keuntungan besar untuk kesejahteraan bersama. Kesejahteraan yang diperoleh itu akan di distribusikan kembali kepada lingkungan dan masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit hingga tingkat nasional.
Oleh sebab itu, pengelolaan perkebunan kelapa sawit harus efisien dan efektif guna menghasilkan pengelolaan yang berorientasi kepada peningkatan ekonomi.Secara bersamaan, pembangunan perkebunan kelapa sawit juga harus menghasilkan kesejahteraan bagi lingkungan dan sosial masyarakat. Kesejahteraan lingkungan dapat dilakukan melalui pengelolaan keberadaan satwa langka, seperti Orangutan. Dimana keberadaannya kerap menjadi isu negatif bagi perkebunan kelapa sawit.
Teori Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan Brundtland Report yang diterbitkan oleh World Commission on Environment and Development tahun 1987, definisi pembangunan berkelanjutan ialah bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (IISD, 2021).
Berikut ini merupakan definisi yang lebih sederhana namun tegas tentang pembangunan berkelanjutan menurut ahli diantaranya:
- “Menyelamatkan planet dan menghapus kemiskinan dari dunia”(Kane 2010).
- Kemudian dengan berpedoman pada konsep Triple Bottom Line (Elkington 1997), perkembangan industri kelapa sawit berkelanjutan dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu ekonomi, aspek, aspek sosial, dan aspek lingkungan.
Gambar 1 Sustainability Triangle
Tiga aspek pembangunan berkelanjutan secara umum memiliki arti tanggung jawab sebagai berikut: (Blackburn, 2007)
- Sukses secara ekonomi
Penggunaan keuangan sumber daya secara bijaksana untuk kesejahteraan perusahaan dan untuk kesejahteraan masyarakat;
- Tanggung Jawab Sosial
Menghargai manusia denganb menghargai karyawan, praktik rekrutmen yang adil, anti diskriminasi, tidak eksploitatif; manajemen yang bertanggung jawab terhadap risiko, mengidolakan etika bisnis dan hukum; menghargai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, investor, pemasok dan lainnya; adil berurusan dengan pelanggan
- Penanggung Jawab Lingkungan Hidup
Menghargai kehidupan dan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana meliputi Konservasi sumber daya, pengelolaan dan pencegahan limbah, pengendalian dan pemulihan risiko lingkungan, mengurangi dampak rantai pasokan dan kerjasama dengan masyarakat.
Pembahasan
Rencana Pemerintah Indonesia untuk memperluas mandatori blended biodiesel 30% (B30) mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk petani. Namun jika sistem tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) juga ditingkatkan, implementasi B30 di bidang ini akan lebih berhasil. Reno Afrino selaku Sekjen DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), mengatakan jika tata niaga TBS diperbaiki, tidak diragukan lagi apabila B30 juga akan menguntungkan para petani (Syukra, 2020).
Selama ini beredar rumor yang menyatakan bahwa B30 hanya menguntungkan perusahaan kelapa sawit besar, dan seringkali melupakan petani (Syukra, 2020). Rencana terkait B30 merupakan kebijakan strategis nasional yang bertujuan untuk meningkatkan penyerapan produksi minyak sawit dalam negeri dan menjaga harga minyak sawit mentah agar lebih ekonomis.
Ketua Umum Gabungan atau yang dikenal dengan Gapki (Gapki) Joko Supriyono menyatkan bahwa Gapki juga mendorong petani untuk menerapkan praktek budi daya kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Subagyo, 2020). Untuk itu, maka produktivitas harus ditingkatkan, yang menjadi priritas adalah masalah dalam tataniaga dikarenakan petani tidak mempunyai akses Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).
Petani juga mendapat harga yang jauh dari yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melansir dari Antara News, Seno selaku Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia-Sanggau, Kalimantan Barat menyatakan bahwa keberadaan PKS tanpa kebun menyebabkan tataniaga tidak terkendali. PKS yang pada awalnya diperkenankan dan telah membantu menyerap TBS dari pekebun, namun karena adanya peraturan baru dalam perkembangan ini sehingga PKS diharapkan memiliki kebun sendiri (Dedi, 2020).
Seiring dengan berkembangnya industri kelapa sawit, profil publiknya pun demikian, sehingga mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kelapa sawit telah menjadi subyek kampanye konsumen, aktivis, dan media di pasar pembeli, serta seringnya demonstrasi dan kampanye dari masyarakat lokal di daerah produksi. Para pemerhati lingkungan telah berfokus pada dampak pada keanekaragaman hayati dan perubahan iklim karena hilangnya atau pembakaran hutan tropis dan pengeringan lahan gambut. LSM sosial telah menyoroti dampak industri terhadap masyarakat adat, hak atas tanah, hak buruh dan masyarakat lokal.
RSPO didirikan pada tahun 2004 sebagai tanggapan terhadap tekanan-tekanan ini. RSPO adalah organisasi multistakeholder, termasuk produsen, masyarakat sipil, pemerintah dan pembeli (RSPO, 2011). RSPO berupaya mencapai hal ini dengan mengembangkan, menerapkan, memverifikasi, memantau, dan meninjau standar global yang kredibel untuk seluruh rantai pasokan minyak sawit berkelanjutan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan rantai pasokan dalam proses ini, termasuk masyarakat sipil dan pemerintah (RSPO, 2011).
Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) sekarang mewakili lebih dari 10% pasar minyak sawit global. Sekitar 1,12 juta hektar perkebunan kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2011). Eropa, diikuti oleh Amerika Utara, telah mengambil memimpin dalam berkomitmen dan membeli CSPO, bisa dibilang sebagai respons terhadap tekanan dan aktivisme publik. Merek dan pengecer besar seperti Walmart, Marks & Spencer, Unilever, Nestle, dan banyak lainnya, telah membuat komitmen untuk hanya menggunakan sumber CSPO (Levin, 2012).
Pekebun (dalam Levin, 2012) mengidentifikasi tiga bidang utama di mana waktu dan pengeluaran diperlukan untuk mencapai sertifikasi, diantaranya:
- Penilaian Dan Pengelolaan Lahan
Penilaian dan pengelolaan lahan meliputi identifikasi, persiapan, penyisihan, dan pengelolaan aktif kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di dalam perkebunan, serta biaya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Sosial.
- Proses Sertifikasi
Audit internal dan eksternal untuk memverifikasi dan membantu mengomunikasikan peningkatan standar produksi perkebunan, serta tindakan korektif (pengeluaran modal).
- Segregasi (opsional)
Biaya transportasi dan penyimpanan tambahan untuk CSPO Terpisah
Perusahaan pertanian multinasional dan pembeli merek global semakin meningkatkan kekuatan dan pengaruh ramah industri ini, terutama di kalangan konsumen, tetapi juga di pemerintah dan organisasi advokasi (Suharto, 2010).
Pemerintah Indonesia mengembangkan standar keberlanjutan dan skema sertifikasi untuk minyak sawit, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), mengingat status Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, sertifikasi seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) jelas mencoba membantu penanam, pengolah, dan eksportir kelapa sawit dalam negeri memenuhi peningkatan permintaan internasional untuk minyak sawit bersertifikat tanpa harus melalui RSPO yang lebih berorientasi internasional.
Hampir setengah dari luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh petani kecil (Brandi dkk, 2013). Mereka umumnya dianggap sebagai kelompok produsen yang rentan. Perkebunan mereka umumnya terlalu kecil dan produktivitasnya terlalu rendah untuk mendukung standar hidup petani kecil.
Petani kecil selanjutnya memiliki pengetahuan teknis yang terbatas, sehingga menyebabkan penggunaan pupuk tidak tepat, mereka tidak terorganisir dengan baik karena mereka beroperasi secara individual, dan memiliki akses terbatas ke pasar, kredit, dan dukungan pemerintah. Berdasarkan studi Hidayat dkk (2015), bahkan setelah mendapatkan sertifikasi RSPO, petani kelapa sawit Indonesia tetap rentan dan mata pencaharian mereka tampaknya tidak menjadi lebih berkelanjutan secara substansial.
Penerimaan ISPO di pasar global masih menjadi kendala dimana pasar global meragukan kredibilitas ISPO (Suharto, 2010). Sebagian dari keraguan ini disebabkan oleh keengganan ISPO untuk secara ketat menjalankan ambisi keberlanjutan terkait masalah kelapa sawit yang terwujud dalam kurangnya peraturan yang memadai tentang deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati (Suharto, 2010).
Dapat diiidentifikasi ketegangan antara merumuskan peraturan yang lebih ketat tentang dampak lingkungan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dan target utama pemerintah Indonesia untuk ekspansi ekonomi di sektor ini.Untuk menjadi alternatif yang dapat diandalkan di pasar global, ISPO membutuhkan keseimbangan yang lebih meyakinkan antara tujuan keberlanjutan dan kepentingan ekonomi, dikombinasikan dengan mekanisme implementasi dan penegakan yang lebih otoritatif dan lebih lengkap.
Oleh karena itu, proses sertifikasi ISPO perlu didesain ulang, terutama jika benar-benar bertujuan untuk mengikutsertakan jutaan petani kecil, yang membutuhkan beberapa imbalan untuk menjadi yakin akan nilai skema bagi mereka. Untuk dapat menjadi alternatif yang dapat diandalkan di pasar global, ISPO membutuhkan keseimbangan yang lebih meyakinkan antara tujuan keberlanjutan dan kepentingan ekonomi, dikombinasikan dengan mekanisme implementasi dan penegakan yang lebih otoritatif dan lebih lengkap.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sertifikasi ISPO perlu didesain ulang, terutama jika benar-benar bertujuan untuk mengikutsertakan jutaan petani kecil, yang membutuhkan imbalan untuk menjadi yakin akan nilai skema bagi mereka. Indikasi ketegangan ini adalah tanggapan pemerintah Indonesia terhadap inisiatif dari perusahaan kelapa sawit yang merumuskan tanggung jawab mereka terkait pembangunan berkelanjutan dengan cara yang lebih ketat.
Ikrar nol deforestasi mereka (larangan pembukaan hutan primer, sekunder dan gambut) awalnya ditandatangani oleh empat produsen minyak sawit terbesar di Indonesia (Asia Agri, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources dan Wilmar International). Belakangan, Musim Mas dan PT Astra Agro Lestari juga bergabung (Levin, 2012)
Adapun berikut ini merupakan masalah lingkungan dan sosial yang dapat dicegah oleh ISPO:
- Pencegahan Deforestasi
ISPO, sebagai standar wajib, berpotensi mampu mengurangi deforestasi di kawasan hutan lindung (37% dari total luas daratan) (FAO 2014).
- Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Dimana RSPO mewajibkan perusahaan untuk melindungi semua kawasan yang mengandung nilai konservasi tinggi, ISPO hanya mewajibkan perlindungan keanekaragaman hayati di zona lindung (Hidayat dkk, 2018).
- Meningkatkan Daya Saing
ISPO bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia minyak sawit sian di pasar global tampaknya sulit diwujudkan. Pertama, karena ISPO belum diakui oleh pelaku pasar global sebagai standar keberlanjutan yang kredibel. Kedua, ISPO juga tampaknya kalah bersaing dengan minyak sawit tidak bersertifikat di tingkat produsen, karena ISPO tidak termasuk harga premium atau biaya tambahan untuk minyak sawit bersertifikat (Hidayat dkk, 2016).
- Pengurangan Gas Rumah Kaca
Banyak kepercayaan di antara perusahaan kelapa sawit dan aktor pemerintah mengenai kemampuan ISPO untuk mengurangi emisi dengan mengurangi penggunaan bahan kimia, dan mengadopsi pengelolaan limbah yang lebih baik (Hidayat dkk, 2018).
- Pencegahan Konflik Sosial
Perluasan perkebunan kelapa sawit menimbulkan konflik sosial. Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan hak atau penguasaan tanah dan ketidakpastian tanah adat dan sistem hak. Selanjutnya, konflik sosial antar masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit terjadi, kebanyakan antara pendatang dan masyarakat lokal (Hidayat dkk, 2018). ISPO mencoba berkontribusi untuk menyelesaikan konflik sosial melalui penekanannya pada kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk mengembangkan perkebunan rakyat untuk masyarakat sekitar minimal 20% dari total area konsesi mereka dan menciptakan kegiatan ekonomi produktif bagi masyarakat sekitar.
Penerapan strategi daya saing industri kelapa sawit dalam pembangunan berkelanjutan disusun berdasarkan hasil asumsi dasar dengan prioritas tertinggi sebagai persyaratan yang harus diperhatikan dalam menyusun model kebijakan. Berdasarkan penelitian Wisena dkk, didapati elemen model kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing kelapa sawit industri dianalisis dengan metode ISM dengan ahli 10 utama elemen yang harus diperhatikan dalam pembuatan kebijakan, yaitu: Instansi atau kelompok dipengaruhi; Instansi atau kelompok yang terlibat; Kebutuhan program; Kendala utama; Perubahan yang memungkinkan; Tujuan; Tolok ukur untuk mencapai tujuan; Indikator dimensi ekonomi; Indikator dimensi lingkungan; dan Indikator dimensi sosial.
1. Elemen lembaga Yang Terpengaruh
Verifikasi pada unsur institusi atau kelompok yang dipengaruhi menjadi unsur kuncinya adalah Pemerintah (5) karena memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen kelompok terpengaruh lainnya yang adalah yang terendah. Selanjutnya di peringkat kedua adalah Investor (masyarakat, individu, institusi) (3), Pelanggan (2), Industri (1), Lembaga keuangan (7), Kelompok penekan (8). Peringkat ketiga adalah Badan Litbang (9) dan Lembaga Pendidikan (6), sedangkan peringkat keempat dan kelima adalah Petani (4) dan Masyarakat (11) yang merupakan unsur dengan nilai terkecil. daya dorong dengan tingkat ketergantungan tertinggi terhadap kelompok pemangku kepentingan.
Diagram 1
Sumber: Wisena dkk (2014)
Diagram 1 menunjukkan bahwa penentuan level dari setiap sub-elemen yang ditetapkan dari setiap peringkat sub-elemen. Hasil dari penelitian ini diperoleh lima hierarki dimana sub-elemen Masyarakat (11) dan Petani (4) menempati level 1 dan level 2, sedangkan Pemerintah (5) menempati level kelima. Subelemen Pemerintah (5) merupakan subelemen yang memiliki pengaruh terbesar sebagai elemen kunci dan memberikan tingkat tertinggi terhadap sub-elemen di bawahnya.
2. Unsur Lembaga Atau Kelompok Yang Terlibat
Elemen atau institusi yang terlibat dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit terdiri dari 11 sub elemen, yaitu 1). Industri, 2). Pelanggan, 3). Investor, 4). Petani, 5). Pemerintah, 6). Institusi pendidikan, 7). Lembaga keuangan, 8). Kelompok penekan, 9). Penelitian & Pengembangan, 10). Konsultan, 11). Publik.
Verifikasi pada elemen lembaga/kelompok yang terlibat dan menjadi kunci sub-elemennya adalah Kelompok Penekan (ISPO, LSM, lembaga dunia lainnya) (8), Pemerintah (kebijakan,infrastruktur, ISPO, Kementerian terkait dan BPDPKS) (5), dan Petani (mandiri). penunjang, plasma, usaha besar dan kecil) (4) karena mereka memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen lembaga atau kelompok lain yang terlibat yang paling rendah. Kemudian di peringkat kedua adalah Research & Development (independen, in-house) (9), Investor (publik, individu, institusi) (3), Pelanggan (pasar domestik, impor) (2),Industri (hulu, hilir, penunjang) (1), dan Institusi Pendidikan (6), sedangkan pada peringkat ketiga ditempati oleh Publik (11) yang merupakan elemen dengan daya dorong terkecil dengan tingkat ketergantungan tertinggi terhadap institusi atau instansi terkait.
Diagram 2
Sumber: Wisena dkk (2014)
Diagram 2 menunjukkan bahwa penentuan level setiap sub-elemen ditentukan dari setiap peringkat sub-elemen. Hasil penelitian ini diperoleh dari tiga hierarki dimana sub-elemen Public berada pada level pertama. Pada level kedua, terdapat sub elemen R&D (independen, in-house) (9), Investor (publik, individu, institusi) (3), Pelanggan (pasar domestik, impor) (2), Industri (hulu , hilir, penunjang) (1), Lembaga Pendidikan (6), Lembaga Keuangan (bank, non-bank) (7) dan Konsultan (10).
Sedangkan pada tingkat ketiga ditempati oleh sub elemen Kelompok Penekan (ISPO, LSM, lembaga dunia lain) (8), Pemerintah (kebijakan, infrastruktur, ISPO) (5) dan Petani (swasembada, plasma, besar dan kecil bisnis) (4). Sub elemen ketiga adalah sub elemen yang dipengaruhi oleh pengaruh langsung model kebijakan SD terhadap daya saing industri kelapa sawit dan akan memberikan pengaruh dan pengaruh pada sub elemen lainnya.
3. Unsur Kebutuhan Kebijakan
Unsur kebutuhan kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit terdiri dari delapan sub unsur yaitu 1). Promosi, advokasi dan kampanye publik industri kelapa sawit, 2). Pengembangan Sumber Daya Manusia, 3). Pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah, 4). Penguatan dan penegakan hukum dalam pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dan pengelolaan perizinan, 5). Transparansi informasi pengembangan kelapa sawit, 6). Pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumberdaya, 7). Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut, 8). Dukungan penerapan prinsip dan kriteria RSPO, 9). Pengembangan mekanisme resolusi konflik.
Dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit, menjadi elemen kuncinya adalah Promosi, advokasi dan kampanye publik industri kelapa sawit (1) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (2) karena memiliki kekuatan pendorong terbesar dengan tingkat ketergantungan. menuju sub-elemen kebutuhan lain yang paling rendah. Selanjutnya sub elemen yang berada pada satu tingkat di bawahnya adalah Dukungan terhadap penerapan prinsip dan kriteria RSPO (8) dan Penguatan dan penegakan hukum dalam pembangunan berkelanjutan kelapa sawit dan pengurusan izin (4).
Pada peringkat ketiga, sub-elemen yang termasuk di dalamnya adalah Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut (7), sedangkan sub-elemen yang menempati peringkat keempat adalah Pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya (6), Transparansi informasi pengembangan kelapa sawit (5), Pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah (3), dan Pengembangan mekanisme penyelesaian konflik (9).
Diagram 3
Sumber: Wisena dkk (2014)
Diagram 3 menunjukkan bahwa tingkatan hirarki unsur kebutuhan kebijakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu sub unsur Pengembangan Aksesibilitas Petani terhadap Sumberdaya (6), Transparansi Informasi Pengembangan Kelapa Sawit (5), Pengembangan Produk dan peningkatan nilai tambah (3), dan Pengembangan mekanisme resolusi konflik (9). Pada level kedua terdapat sub elemen Pengendalian konversi hutan alam dan lahan gambut (7), sedangkan pada level ketiga sub elemen yang menempatinya adalah Pendukung penerapan prinsip dan kriteria RSPO (8) dan Penguatan dan penegakan hukum dalam pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dan perizinan manajemen (4).
Sementara itu di tingkat keempat, ada sub-elemen Promosi, advokasi, dan kampanye publik industri kelapa sawit (1) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (2) memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi sub-elemen lainnya. Subelemen (1) dan (2) merupakan kebutuhan kebijakan utama, karena akan mempengaruhi strategi yang digunakan dalam kaitannya dengan SD perusahaan kelapa sawit.
4. Elemen kendala utama
Unsur kebutuhan kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit terdiri dari delapan sub unsur, yaitu 1). Deforestasi hutan yang besar, 2). Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati pada ekosistem, 3). Meningkatnya pemanasan global, 4). Penggunaan pupuk kimia untuk menghasilkan emisi gas rumah kaca, 5). Konflik sosial dengan masyarakat sekitar, 6). Sulit mendapatkan sertifikat RSPO, 7). Industri hulu sulit berkembang, 8). Lemahnya penegakan hukum, 9). Lambatnya proses sertifikasi RSPO di Indonesia. Hasil verifikasi pada model kendala utama yang dihadapi menjadi elemen kunci adalah Lemahnya penegakan hukum (8), karena memiliki daya dorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen kendala utama lainnya yang paling rendah.
Dapat dikatakan bahwa kendala utama dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah lemahnya penegakan hukum, sehingga dapat menyebabkan kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Kemudian di peringkat kedua adalah Deforestasi Hutan (1). Di peringkat ketiga, ada Penggunaan pupuk kimia (4). Pada peringkat keempat terdapat sub-elemen Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati terhadap ekosistem (2), sedangkan pada peringkat kelima terdapat peningkatan pemanasan global (3) dan konflik sosial dengan masyarakat lokal (5). Sementara itu, di peringkat keenam dan ketujuh ada yang Sulit mendapatkan sertifikasi RSPO (6), dan Industri Hulu yang sulit berkembang (7).
Diagram 4
Sumber: Wisena dkk (2014)
Diagram 4 menunjukkan bahwa tingkat hierarki elemen kendala terdiri dari tujuh tingkat. Subelemen industri hulu yang sulit dikembangkan (7) berada pada tingkat pertama. Pada level kedua ditempati oleh sub elemen Sulit mendapatkan sertifikasi RSPO (6). Sedangkan pada tingkat ketiga ditempati oleh peningkatan pemanasan global (3) dan konflik sosial dengan masyarakat lokal (5).
Pada tingkat keempat dan kelima ditempati oleh sub-elemen Mengancam kekayaan keanekaragaman hayati pada ekosistem dan Penggunaan pupuk kimia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, sedangkan tingkat keenam dan ketujuh ditempati oleh sub-elemen Hutan Besar. deforestasi (1) dan Lemahnya penegakan hukum (8). Kelemahannya penegakan hukum sebagai kekuatan pendorong yang kuat bagi sub-elemen lainnya. Kendala utama yang dihadapi dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah. subelemen 8 (Lemahnya penegakan hukum). Subelemen ini juga merupakan pengaruh yang muncul pada kendala lain dalam kebijakan ini.
5. Elemen Yang Memungkinkan Perubahan
Terdiri dari 14 sub elemen, yaitu: 1). Pembentukan ISPO, 2). Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan, 3). Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, 4). Mendukung pembangunan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup, 5). Menjadi anggota RSPO, 6). Membangun kawasan konservasi, 7). Ciptaan metode dan sistem yang ramah lingkungan, 8). Peningkatan devisa nonmigas, 9). Pemanfaatan lahan terlantar 10). Pengembangan komoditas kelapa sawit, 11). Dukungan peningkatan menuju sistem ketahanan pangan, 12). Peningkatan investasi usaha kelapa sawit, 13). Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan, 14).
Pengembangan kelembagaan dan bisnis kemitraan. Dalam model kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit, perubahan yang memungkinkan menjadi kuncinya adalah Pembentukan ISPO (1), karena memiliki daya dorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen perubahan lainnya yaitu paling rendah. Kemudian, sub elemen yang berada pada tingkat pertama di bawahnya, yaitu Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan (2), Mendukung pembangunan menuju pengelolaan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup (4), Mengembangkan kawasan konservasi (6), dan Penciptaan metode dan sistem yang ramah lingkungan (7).
Pada peringkat ketiga terdapat sub elemen Memanfaatkan lahan terlantar (9), Pengembangan komoditas kelapa sawit (10), Mendukung peningkatan sistem ketahanan pangan (11) Peningkatan investasi usaha kelapa sawit (12) , Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (13) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan usaha (14). Pada peringkat keempat terdapat sub unsur Peningkatan devisa nonmigas (8) dan pada peringkat kelima terdapat sub unsur Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (3).
Diagram 5
Sumber: Wisena dkk (2014)
Output dari model struktural elemen yang memungkingkan perubahan dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Sub unsur peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (3) berada pada tingkat pertama. Level kedua ditempati oleh sub elemen Peningkatan devisa nonmigas (8), sedangkan level ketiga ditempati oleh sub elemen Pemanfaatan lahan terlantar (9), Pengembangan komoditas kelapa sawit (10), Peningkatan dukungan terhadap sistem ketahanan pangan (11) Peningkatan investasi usaha kelapa sawit (12), Pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (13) Pengembangan kelembagaan dan kemitraan bisnis (14).
Pada tingkat keempat ditempati oleh sub-elemen Peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas tanaman kelapa sawit berkelanjutan (2), Pengembangan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (4), Membangun kawasan konservasi (6), dan Penciptaan metode dan pelayanan yang ramah lingkungan (7), sedangkan tingkat kelima ditempati oleh sub-elemen Pembentukan dari ISPO (1), sub-elemen ini memungkinkan perubahan. Dengan terwujudnya perubahan maka akan memicu terjadinya perubahan yang lain (other sub-element)
6. Elemen Objektif
Elemen tujuan program terdiri dari lima sub elemen yaitu, 1). Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO, 2).Mengidentifikasi dan menjelaskan deskripsi Mengidentifikasi dan menjelaskan deskripsi kebijakan terkait pengembangan industri kelapa sawit, 3). Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri, 4). Mengevaluasi implementasi strategi berkelanjutan dari kebijakan RSPO dan ISPO, 5). Merumuskan strategi bisnis dan strategi kebijakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Pada elemen objektif yang menjadi sub-elemen kunci adalah Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kelapa sawit (2), karena memiliki daya dorong terbesar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub-elemen lain yang paling rendah. Selanjutnya sub elemen yang berada pada level pertama dibawahnya adalah Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO (1).
Pada peringkat ketiga terdapat sub-elemen Mengevaluasi implementasi strategi berkelanjutan dari kebijakan RSPO dan ISPO (4), dan pada peringkat keempat dan kelima terdapat Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap pembangunan berkelanjutan. daya saing industri (3) dan Merumuskan strategi bisnis dan strategi kebijakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (5).
Diagram 6
Sumber: Wisena dkk (2014)
Output dari model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Subelemen Penyusunan strategi dan kebijakan bisnis untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (5) berada pada level pertama. Pada tingkat kedua, ditempati oleh sub-elemen Menganalisis dampak dan efektivitas kebijakan pembangunan berkelanjutan terhadap daya saing industri kelapa sawit (3).
Pada level ketiga ditempati oleh sub elemen Evaluasi implementasi strategi berkelanjutan dari kebijakan RSPO dan ISPO (4). Sedangkan pada level keempat ditempati oleh sub elemen Penerapan program ramah lingkungan sesuai sertifikasi RSPO (1) dan pada tingkat kelima ditempati oleh sub-elemen Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kelapa sawit (2). Mengidentifikasi dan menjelaskan gambaran kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kelapa sawit menjadi tujuan utama program yang juga berpengaruh terhadap tujuan program lainnya (sub-elemen lainnya).
7. Unsur tolak ukur pencapaian
Tujuan Unsur tolak ukur pencapaian tujuan terdiri dari 1). Terciptanya kepercayaan terhadap produk, 2). Perlindungan terhadap keselamatan kerja, 3). Terciptanya masyarakat yang sejahtera, 4). Terwujudnya efisiensi biaya, 5). Tingginya motivasi kerja pegawai, 6). Terciptanya keamanan dalam berinvestasi, 7) dan Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan, 8). Terwujudnya preferensi kualitas dan preferensi moral. Pada elemen tolak ukur untuk memahami tujuan yaitu sub-elemen kunci adalah Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan (7) dan Perlindungan terhadap keselamatan (2).
Peringkat kedua adalah motivasi kerja karyawan yang tinggi (5), peringkat ketiga adalah realisasi preferensi kualitas dan preferensi moral (8), peringkat keempat adalah Penciptaan kepercayaan terhadap produk (1), peringkat kelima adalah Realisasi efisiensi biaya (4), peringkat keenam adalah Penciptaan keamanan dalam investasi (6) , dan peringkat ketujuh adalah Terciptanya masyarakat yang sejahtera (3).
Diagram 7
Sumber: Wisena dkk (2014)
Keluaran model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Subelemen terciptanya masyarakat sejahtera (3) berada pada level satu. Kemudian pada level dua merupakan sub elemen penciptaan keamanan dalam berinvestasi (6). Pada level tiga dan empat, terdapat sub elemen realisasi efisiensi biaya (4) dan terciptanya kepercayaan terhadap produk (1).
Pada level lima dan enam terdapat sub elemen Realisasi preferensi kualitas dan preferensi moral (8) dan motivasi kerja karyawan yang tinggi (5), sedangkan pada level terakhir terdapat sub elemen Komitmen Penuh terhadap lingkungan. pelestarian (7) dan Perlindungan terhadap keselamatan kerja (2). Komitmen penuh terhadap pelestarian lingkungan dan perlindungan terhadap keselamatan kerja menjadi tolak ukur untuk mencapai tujuan dalam model kebijakan SD menuju daya saing industri kelapa sawit.
8. Indikator dimensi ekonomi
Terdiri dari sub indikator yaitu 1). Manajemen mutu, 2). Manajemen risiko, 3). Perencanaan Strategis, 4). Kemitraan kolaboratif, 5). Berbagi informasi, 6). Manajemen teknologi, 7). Penerapan standar keamanan, 8). Suara pelanggan. Pada indikator dimensi ekonomi yaitu indikator kunci, adalah Berbagi informasi (5), Mengelola teknologi (6) dan Suara pelanggan (8). Ketiga sub indikator tersebut memiliki daya dorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub indikator lainnya. Selain itu, sub indikator juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independen.
Diagram 8
Sumber: Wisena dkk (2014)
Output model indikator struktural dimensi ekonomi dengan teknik ISM menghasilkan lima tingkatan hierarki. Sub indikator dimensi ekonomi adalah Manajemen Mutu (1), Manajemen Risiko (2) berada pada level satu, kemudian pada level dua terdapat sub indikator Perencanaan Strategis (3). Pada level tiga terdapat sub indikator Kemitraan Kolaboratif (4), sedangkan pada level empat terdapat sub indikator Penerapan standar keamanan (7). Sedangkan pada level lima terdapat sub indikator yaitu Information sharing (5), manage technology (6) dan Customer`s voice (8)
9. Indikator dimensi lingkungan
Dimensi lingkungan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan menuju daya saing industri kelapa sawit terdiri dari empat belas sub indikator yaitu 1). Adopsi praktik hijau, 2). Peraturan Pemerintah, 3).Penerapan standar lingkungan, 4). Suara pelanggan, 5). Komitmen manajemen, 6). Pelatihan karyawan, 7). Hadiah dari pemerintah dan insentif, 8). Manajemen risiko, 9). Perencanaan strategis, 10). Kemitraan kolaboratif, 11). Strategi informasi, 12). Manajemen teknologi, 13). Pengelolaan kualitas lingkungan, 14).
Adopsi standar keamanan. Hasil verifikasi pada model dimensi lingkungan merupakan indikator kunci yaitu Peraturan Pemerintah (2), karena memiliki daya dorong yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan terhadap dimensi lingkungan terendah lainnya. Dapat dikatakan bahwa dimensi lingkungan dalam kebijakan SD terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah peraturan pemerintah, sehingga dalam melakukan tindakan tersebut perlu ditetapkan konstitusi. Selanjutnya di peringkat kedua adalah voice of customer (4).
Di peringkat ketiga, itu adalahkomitmen manajemen (5). Peringkat keempat adalah strategi informasi (11) dan manajemen teknologi (12). Peringkat kelima adalah kemitraan kolaboratif (10). Peringkat keenam adalah perencanaan strategis (9), manajemen risiko (8), pelatihan karyawan (6), pengelolaan kualitas lingkungan (13), penerapan standar keamanan (14). Selanjutnya, peringkat ketujuh adalah hadiah dari pemerintah dan insentif (7), peringkat delapan adalah penerapan standar lingkungan (3), dan peringkat terakhir adalah peringkat kesembilan adalah penerapan praktik hijau (10).
Peringkat keenam adalah perencanaan strategis (9), manajemen risiko (8), pelatihan karyawan (6), pengelolaan kualitas lingkungan (13), penerapan standar keamanan (14). Selanjutnya, peringkat ketujuh adalah hadiah dari pemerintah dan insentif (7), peringkat delapan adalah penerapan standar lingkungan (3), dan peringkat terakhir adalah peringkat kesembilan adalah penerapan praktik hijau.
Diagram 9
Sumber: Wisena dkk (2014)
Output model struktural indikator dimensi lingkungan dengan teknik kemitraan kolaboratif ISM menghasilkan sembilan tingkat hierarki. Sub-indikator dimensi ekonomi, Adopsipraktik hijau (1), berada di level satu. Di tingkat dua ada sub-indikator Adopsi lingkungan standar (3), sedangkan pada level tiga terdapat sub-indikator Hadiah pemerintah dan insentif (7).
Pada level empat terdapat sub-indikator Pelatihan karyawan (6), Manajemen risiko (8), Strategis perencanaan (9), Pengelolaan lingkungan kualitas (13) dan Penerapan standar keamanan (14). Pada level lima terdapat sub indikator Kemitraan kolaboratif (10), di lantai enam ada adalah sub-indikator dari strategi Informasi (11) dan Manajemen teknologi (12). Sementara itu, pada level tujuh, delapan dan sembilan ada manajemen sub indikator komitmen (5), Voice of customer, (4) dan Peraturan Pemerintah (2)
10. Indikator Dimensi Sosial
Dimensi sosial dalam kebijakan SD terhadap daya saing perusahaan kelapa sawit terdiri dari dua belas sub indikator, yaitu 1). Pemerataan tenaga kerja, 2). Kesehatan karyawan, 3). Perlindungan karyawan yang terluka, 4). Kedermawanan, 5). Kualitas hidup, 6). Pembebasan dari ruang publik, 7). Suara pelanggan, 8). Penerapan standar keamanan, 9). Peraturan Pemerintah, 10). Manajemen teknologi, 11). Perencanaan strategis, 12). Kemitraan kolaboratif. Hasil verifikasi pada model dimensi sosial yang dihadapi yang menjadi indikator kuncinya adalah peraturan pemerintah (9), karena memiliki daya dorong yang sangat besar dengan tingkat ketergantungan terhadap dimensi sosial lainnya yang paling rendah.
Dapat dikatakan bahwa dimensi sosial dalam kebijakan SD terhadap daya saing industri kelapa sawit adalah melalui peraturan pemerintah, sehingga dalam melakukan tindakan perlu memperhatikan konstitusi yang ditetapkan. Selanjutnya di peringkat kedua ada voice of customer (7), penerapan standar keamanan (8), dan pengelolaan teknologi (10). Pada peringkat ketiga terdapat sub indikator perencanaan strategis (11), sedangkan peringkat keempat adalah pembebasan ruang publik (6), perlindungan karyawan yang terluka (3), kesehatan karyawan (2), dan kolaborasi. kemitraan (12). Selanjutnya peringkat keenam adalah kualitas hidup (5) dan kedermawanan (4), peringkat ketujuh adalah peringkat terakhir dari dimensi sosial yaitu pemerataan tenaga kerja (1).
Diagram 10
Sumber: Wisena dkk (2014)
Kesimpulan
Minyak sawit merupakan minyak nabati yang penting dan serbaguna, digunakan sebagai bahan baku industri pangan maupun non pangan. Meskipun kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang lebih berkelanjutan daripada tanaman minyak lainnya, ada kekhawatiran bahwa meningkatnya permintaan minyak sawit untuk makanan dan bahan bakar nabati dapat menyebabkan ekspansi produksi minyak sawit yang cepat dan tidak dikelola dengan baik serta mengakibatkan konsekuensi lingkungan dan sosial yang serius.
Tingginya pertumbuhan penduduk dan terjadinya peningkatan kebutuhan manusia serta semakain berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan lingkungan menjadi korban dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Menanggapi panggilan global yang mendesak dan mendesak untuk minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan, RSPO dibentuk pada tahun 2004 dengan tujuan mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar global yang kredibel dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Indonesia adalah salah satu negara selatan pertama yang mengembangkan standar publik dan skema sertifikasi untuk komoditas pertanian sebagai reaksi terhadap standar dan sertifikasi keberlanjutan swasta. Capaian standar penerapan ISPO adalah komitmen perusahaan sebagai pelaku usaha dengan dukungan SDM yang berkualitas membantu perwujudan perkebunan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pemerintah berperan sebagai penentu regulasi dalam mengawasi kebijakan yang telah ditetapkan. Secara pelatihan dan operasioanl perusahaan perkebunan sebagai upaya terpenuhinya penerapan standar ISPO perlu dilakukan oleh pemerintah bersama komisi ISPO agar hambatan pemenuhan prinsip dan kriteria standar Indonesian Sustainable Palm Oil bisa ditangani, karena upaya tersebut bersifat bagian dari faktor keberhasilan implementasi ISPO.
Strategi dan kebijakan industri kelapa sawit diyakinkan harus memperhatikan aspek lingkungan dan aspek sosial. Aspek ekonomi yang unggul saat ini harus mendukung aspek sosial dan lingkungan. Peran pemerintah dan regulasi menjadi faktor pendorong utama dalam menentukan strategi pembangunan berkelanjutan untuk mendukung daya saing industri kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit yang berpedoman pada prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan tidak hanya menjadi kebun sawit yang ramah lingkungan, tetapi juga mengedukasi dan mendukung petani sawit untuk menerapkan praktik sawit berkelanjutan guna mewujudkan lingkungan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Asian Agri. 2018. Keunggulan Kelapa Sawit. 8 Februari 2018. Diakses 17 Oktober 2021. https://www.asianagri.com/id/media-id/artikel/keunggulan-kelapa-sawit.
Blackburn WR. The Sustainability Handbook, The Complete management Guide to Achieving Social, Economic and Environmental Responsibility. (2007) (e-book). Earthscan. Washington DC. USA
Bitzer, V., and P. Glasbergen. 2015. Business–NGO Partnerships In Global Value Chains: Part Of The Solution Or Part Of The Problem Of Sustainable Change. Current Opinion in Environmental Sustainability 12: 35–40. doi:10.1016/j.cosust.2014.08.012
Brandi, C., T. Cabani, C. Hosang, S. Schirmbeck, L. Westermann, and H. Wiese. Sustainability Certification In The Indonesian Palm Oil Sector: Benefits And Challenges For Smallholders. Bonn: Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
Daly, H. E. 1990. Toward Some Operational Principles Of Sustainable Development. Ecological Economic 2, 1-6.
Dauvergne, Peter. The Global Politics of the Business of “Sustainable” Palm Oil. Global Environmental Politics 2018; 18 (2): 34–52. doi: https://doi.org/10.1162/glep_a_00455
Dedi. 2020. Asosiasi: Pabrik Tanpa Kebun Sawit Bisa Menganggu Tata Niaga.
Antara News, 9 November 2020. Diakses15 Oktober 2021. https://www.antaranews.com/berita/1829916/asosiasi-pabrik-tanpa-kebun-sa wit-bisa-menganggu-tata-niaga
Elkington JB. (1997). Cannibal with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business, Capstone Publishing Ltd, London
Fargione, J., J. Hill, D. Tilman, S. Polasky, and P. Hawthorne. 2008. Land clearing and the biofuel carbon debt. Science 319 (5867): 1235–1238
FAO. 2014. Global forest resources assessment 2015: Country report Indonesia. Rome: Food and Agriculture Organization (FAO). Diakses 17 Oktober 2021. https://tinyurl.com/wt9ybdrj
Fritz M. and Schiefer G. (2008). Sustainability in Food Network. [GEWISOLA] German Association of Agricultural Economics. Germany: University of Bonn
GreenPalm.org. 2010. What is Palm Oil. Diakses 17 Oktober 2021. http://www.greenpalm.org/en/about-palm-oil/what-is-palm-oil
Harahap, Gustami, Abdul Rahman dkk. 2017. “ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA SAWIT (Study Kasus : Petani Perkebunan Inti Rakyat Desa Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu, Kabupaten Labuhan Batu)”. Jurnal Wahana Inovasi, VOLUME 6 No.2, JULI-DES 2017. Diakses pada 12 Oktober 2021. https://tinyurl.com/25fctfzk
Hidayat, N.K., A. Offermans, and P. Glasbergen. 2016. On the profitability of sustainability certification: An analysis among Indonesian palm oil smallholders. Journal of Economics and Sustainable Development 7 (18): 45–62
Hidayat, Nia K. Astrid Offermans. Pieter Glasbergen. 2018. “Sustainable Palm Oil As A Public Responsibility? On The Governance Capacity Of Indonesian Standard For Sustainable Palm Oil (ISPO)”. Jurnal Agric Hum Values, 31 July 2017. Diakses 12 Oktober 2021. DOI 10.1007/s10460-017-9816-6
Indonesia Investment. 2016. Minyak Kelapa Sawit. 26 Juni 2016. Diakses17 Oktober 2021. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/i tem166?
International Insitute for Sustainable Development. 2021. Sustainable Development: Brundtland Report. Diakses 12 Oktober 2021. https://www.iisd.org/about-iisd/sustainable-development
Levin, Joshua. WWF-US. 2012. “Profitability and Sustainability in Palm Oil Production Analysis of”. Diakses 15 Otober 2021. https://tinyurl.com/3d4mj5jx
Kane, G. (2010). The Three Secrets of Green Business: Unlocking Competitive Advantage in a Low Carbon Economy. Earthscan. USA.
Koh, L.P., and D.S. Wilcove. 2009. “Oil Palm: Disinformation Enables Deforestation”.Trend In Ecology And Evolution 24 (2): 67–68
Mielke, T. 2011. Global supply and demand outlook for palm and lauric oils−Trends and future prospects. Presentation at MPOC POINTERS 2011 internet conference. http://www.pointers.org.my/report_details.php?id=46
Pasaribu, Stephany I, Frank Vanclay and Yongjun Zhao. 2020. Challenges to Implementing Socially-Sustainable Community Development in Oil Palm and Forestry Operations in Indonesia. Journal Land 2020, 9, 61; doi:10.3390/land9030061
Raka, I Gusti Ngurah. 2016.“PENGANTAR ILMU PERTANIAN: Tata Niaga Pertanian”. Diakses 11 Oktober 2021. https://tinyurl.com/z6n38872
RSPO. 2011. Indonesia: Benchmark for Sustainable Oil Palm in Emerging Markets. Diakses 12 Oktober 2021. http://www.rspo.org/?q=content/indonesia-benchmark-sustainable-palm-oil- emerging-markets
RSPO. 2011. RSPO. Diakses 12 Oktober 2021. http://www.rspo.org/?q=categorysta
Ruysschaert, D., and D. Salles. 2014. “Towards Global Voluntary Standards: Questioning The Effectiveness In Attaining Conservation Goals: The Case Of The Roundtable On Sustanable Palm Oil (RSPO)”. Ecological Economics 107: 438–446. doi:10.1016/j.ecolecon.2014.09.016.
Schouten, G., and V. Bitzer. 2015. “The Emergence Of Southern Standards In Agricultural Value Chains: A New Trend In Sustainability Governance?”.Ecological Economics 120: 175–184
Sheil, D., A. Casson, E. Meijaard, M. van Noordwijk, J. Gaskell, J. Sunderland-Groves, K. Wertz, and M. Kanninen. 2009. The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? CIFOR occasional paper no. 51. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR)
Subagyo. 2020. “Gapki Dorong Petani Terapkan Praktek Kelapa Sawit Berkelanjutan”. AntaraNew, 2 November 2020. Diakses 15 Oktober 2021. https://www.antaranews.com/berita/1816280/gapki-dorong-petani-terapkan- praktek-kelapa-sawit-berkelanjutan
Suharto, R. 2010. “Why Indonesia needs ISPO”. The Jakarta Post, 12 Februari. Diakses pada 12 Oktober 2021. http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/02/why-indonesia-needsispo.h tml
Syukra, Ridho. 2020. “Tata Niaga Sawit Petani Perlu Diperbaiki”. Investor.Id, 15 September 2020. Diakses 15 Oktober 2021. https://investor.id/business/222422/tata-niaga-sawit-petani-perlu-diperbaiki
UNEP. 2021. “Sustainability”. Diakses 12 Oktober 2021. https://www.unep.org/about-un-environment/sustainability
Wijaya, A., and P. Glasbergen. 2016. “Toward A New Scenario In Agri-Cultural Sustainability Certification? The Response Of The Indonesian National Government To Private Certification”. The Journal of Environment and Development 25 (2): 219–246.
Wisena, B., Arif, D., Bustanul, A., Rina, O. 2014. Sustainable Development Strategy for Improving the Competitiveness of Oil Palm Industry. Intenational Research Journal of Business Studies, Vol 7, No.1 ISSN: 2089-6271
Wicke, B., Dornburg, V., Junginger, J.& Faaij, A. 2008. Different palm oil production systems for energy purposes and their greenhouse gas implications. Biomass and Bioenergy, 32, 2008, 1322-1337.
Komentar