Belum Ada Fatwa Haram, MUI Masih Terus Bahas Aturan Terkait Kripto

Kamis, 28/10/2021 14:12 WIB
Peran emas dihantui kripto Bitcoin nih, wajib intip catatan JP Morgan. (Istimewa).

Peran emas dihantui kripto Bitcoin nih, wajib intip catatan JP Morgan. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyatakan bahwa saat ini masih membahas rambu-rambu aset kripto di Indonesia.

Ketua MUI Pusat, Muahammad Cholil Nafis mengatakan, sejauh ini, organisasi alim ulama ini belum akan mengeluarkan fatwa haram.

"Kami juga membahas di MUI, secara pribadi, apapun yang diterima sebagai alat tukar bisa diterima tapi kita ada kewajiban taat terhadap negara," kata Ketua MUI Pusat, Muahammad Cholil Nafis seperti melansir cnnindonesia.com, Kamis (28/10).

Sesuai aturan pemerintah, aset kripto bukanlah alat tukar yang sah di Indonesia. Sebelum diregulasi oleh pemerintah, sambung Cholil, sikap MUI ialah melarang apapun yang berpotensi mendatangkan kemaslahatan umat.

"Negara kita tidak mengakui cryptocurrency sebagai alat tukar maka itu ilegal, apa yang dilarang negara bagi kemaslahatan umat maka juga dilarang oleh agama," katanya.

Dia juga menyatakan, dalam islam, apapun yang tidak bersifat riba, tidak mendzolimi, dan tidak bersifat menipu maka hukumnya bisa jadi muamala atau diperbolehkan.

Ia menyebut aset kripto bisa saja bersifat muamalah karena tidak ada dalil yang mengatur, sementara jika akan diharamkan maka harus ada dalil yang mengharamkan uang kripto.

"Jadi kalau memperbolehkan muamalah karena tidak ada dalil, ya dalilnya tidak ada dalil itu. Tapi kalau kita mau mengharamkan muamalah maka harus ada dalilnya," jelas dia.

Sementara ,mengutip tulisan blog pribadinya, pada 2018 lalu Cholil sempat menjabarkan lebih rinci soal pandangannya terhadap kripto, khususnya bitcoin. Ia mengatakan transaksi jual beli mata uang boleh saja asal tidak ada spekulasi dalam prosesnya dan terdapat kebutuhan.

Lalu, apabila transaksi dilakukan pada mata uang sejenis nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh). Jika berlainan jenis maka harus dilakukan dengan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai.

Ia juga menyebut bitcoin sebagai alat tukar hukumnya boleh dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama.

"Jika jenisnya berbeda disyaratkan harus taqabudh secara haqiqi atau hukmi (ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimakan)," kata dia.

Sedangkan bitcoin sebagai investasi ia nilai lebih dekat pada gharar atau spekulasi yang merugikan orang lain. Sebab, ia menyebut tidak ada aset underlying yang mendukungnya.

Selain itu, harga tak bisa dikontrol dan keberadaannya tak ada yang menjamin secara resmi sehingga kemungkinan besar banyak spekulasi ialah haram.

"Bitcoin hukumnya adalah mubah sebagai alat tukar bagi yang berkenan untuk menggunakannya dan mengakuinya. Namun Bitcoin sebagai investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat spekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan," jelasnya.

Sebagai informasi, di Indonesia, aset kripto masih dilarang sebagai alat bayar.

Saat ini, aset kripto diregulasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan lewat Peraturan Bappebti No 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka.

Namun, kripto menjadi komoditas bursa berjangka, sehingga tak masalah selama digunakan sebagai investasi maupun komoditas yang diperjualbelikan oleh para pelaku pasar.

 

 

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar