Bangga Ilmuwan Indonesia, Carina Joe, di balik tim Oxford AstraZeneca

Kamis, 28/10/2021 10:21 WIB
Membanggakan Sukses Ilmuwan Indonesia dalam  di barisan depan  para Ilmuwan Inggris saat  Perayaan tim manufaktur Universitas Oxford.SUMBER GAMBAR,JOHN CAIRNS BBC

Membanggakan Sukses Ilmuwan Indonesia dalam di barisan depan para Ilmuwan Inggris saat Perayaan tim manufaktur Universitas Oxford.SUMBER GAMBAR,JOHN CAIRNS BBC

[INTRO]

Indonesia patut bangga pada anak bangsa yang berprestasi di kancah dunia seperti Carina Citra Dewi Joe. Sebagai Salah satu Pemuda Indonesia yang mempunyai prestasi membangakan ini di tengah krisis pandemi yang belum memudar bisa menjadi sinar yang membanggakan. 

Carina Citra Dewi Joe menjadi salah satu ilmuwan dalam tim Jenner Institute pimpinan Sarah Gilbert dalam uji klinis vaksin AstraZeneca . Kini, vaksin AstraZeneca telah digunakan oleh lebih dari 1 miliar orang di dunia. Ia pun menjadi salah satu pemegang hak paten vaksin tersebut.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, wanita yang sudah meraih gelar Doktor ini tengah mengerjakan proyek optimisasi proses produksi dari vaksin rabies untuk University of Oxford.

Ilmuwan Indonesia, Dr. Carina Citra Dewi Joe, salah satu figur di tim manufaktur yang sukses memproduksi vaksin yang paling banyak didistribusikan di dunia, Oxford AstraZeneca, akan mewakili tim dalam menerima penghargaan Pride of Britain di London pada akhir pekan ini.

Penghargaan ini merupakan satu dari sejumlah penghargaan yang diterima tim vaksin Universitas Oxford sejauh ini.

Ketua tim manufaktur, Dr Sandy Douglas mengatakan formula "dua sendok makan sel" yang ditemukan Carina menjadi landasan produksi besar vaksin Oxford AstraZeneca - vaksin yang selain paling luas jangkauannya - juga dapat diproduksi dengan "harga semurah mungkin".

Saat ini vaksin Oxford AstraZeneca - dengan lokasi produksi di lebih selusin laboratorium di lima benua - digunakan di lebih 170 negara, termasuk Indonesia.

Inspirasi Jadi Ilmuwan
Carina juga menceritakan awal mula ketertarikannya menjadi seorang ilmuwan. Menurutnya, menjadi ilmuwan bukan cita-citanya sejak kecil. Ketertarikan itu timbul setelah mendengarkan penjelasan dari guru biologinya.

“Pas kecil saya cita-citanya biasa, jadi dokter atau insinyur. Saya tertarik dengan bidang bioteknologi karena guru biologi saya waktu SMA memberikan penjelasan tentang adanya bidang bioteknologi.”

“Waktu itu dijelaskan ada manipulasi genetika untuk molecular biology, bisa mengubah warna ikan dari hitam putih jadi warna warni. Jadi saya tertarik,” katanya.

Produksi vaksin dalam skala besar dalam waktu singkat, yang dilakukan Universitas Oxford dan AstraZeneca serta sejumlah produsen lain, pertama terjadi dalam pandemi Covid-19 ini. Biasanya produksi vaksin memakan waktu setidaknya 10 tahun.

"Formula 30 mililiter sel" itu ditemukan Carina pada 15 Januari 2020. Temuan ini memungkinkan produksi vaksin lebih banyak 10 kali dengan menggunakan sel hanya sekitar dua sendok makan.

Dari percobaan awal ini, jumlah sel ditingkatkan terus sampai pada skala produksi besar melalui kerja sama dengan berbagai laboratorium di seluruh dunia.

Publikasi ilmiah terkait formula "30 milimeter sel ini" akan diterbitkan Universitas Oxford pada bulan November.

`Formula sangat sederhana dan dapat menekan harga`

"Dengan kombinasi upaya Dr Carina Joe untuk meningkatkan proses manufaktur dan komitmen serta kerja keras rekan-rekan kami di AstraZeneca dan semua mitra kami lainnya, kami mampu memberikan vaksin untuk dunia, dibuat di berbagai penjuru dunia, dengan harga semurah mungkin," kata Sandy kepada BBC News Indonesia.

"Ada lebih dari 1,5 miliar dosis vaksin Oxford AstraZeneca yang didistribusikan secara global. Saya sangat bangga dengan kerja kami yang memungkinkan manufaktur vaksin dilakukan di lebih dari selusin tempat di lima benua, dengan sejumlah besar vaksin dikirim ke berbagai negara di luar Amerika Utara dan Eropa," tambahnya.

Formula sederhana dengan menggunakan jumlah sel yang sedikit ini juga memungkinkan produksi vaksin dengan harga semurah mungkin.

"Saya rasa formula ini sangat penting [agar vaksin dapat disebar ke negara berkembang, termasuk Indonesia] dan ada dua alasan untuk itu. Pertama, jumlah vaksin yang didapat dari jumlah tertentu sel, sangat terkait dengan harga. Jadi, formula Carina ini sangat produktif sehingga [vaksin] dapat dibuat dengan harga murah.

"Dan yang kedua, yang sangat penting juga adalah formula ini sangat sederhana sehingga dapat ditranfer ke berbagai fasilitas seperti Serum Institute of India, yang belum pernah memproduksi produk seperti ini sebelumnya. Namun cukup sederhana sehingga dapat dipelejari dengan cepat dan kami dapat menyerahkannya ke fasilitas manufaktur di seluruh dunia," tambah Sandy.

 

Dr Adam Ritchie, manajer proyek tim manufaktur menyebut yang tak kalah penting adalah upaya untuk meningkatkan skala manufaktur setelah temuan Carina.

Ia memuji upaya Sandy Douglas yang disebutnya "menunjukkan keberanian moral pada awal 2020 untuk menggenjot upaya manufaktur sehingga membuka jalan dalam produksi vaksin".

Sandy menghubungi berbagai laboratorium untuk produksi skala besar dengan landasan formula ini walaupun saat itu belum ada yang dapat memastikan bahwa vaksin Covid itu dapat digunakan atau tidak.

Dalam perayaan capaian tim manufaktur akhir September lalu, melalui pidato dalam jamuan makan malam di depan para ilmuwan serta perwakilan laboratorium di Oxford, Sandy mengangkat bagaimana formula "30 mililiter sel dikembangkan menjadi 50 mililiter dan kemudian 200 mililiter di sejumlah laboratorium", sampai pada tahap sekarang ini.

Carina sendiri, ketika ditemui di laboratorium Jenner Insitute, Universitas Oxford, Agustus lalu mengatakan senang atas capaian tim namun menyebut masih harus banyak belajar dari para seniornya.

Carina Citra Dewi Joe.

SUMBER GAMBAR,JOHN CAIRNS Keterangan gambar, Carina Joe mengatakan senang atas capaian tim namun menyebut masih harus banyak belajar dari para seniornya.

"Saya tidak sangka saja, dari eksperimen 30 mililiter atau dua sendok makan sel, bisa menghasilkan vaksin lebih dari satu miliar dosis dan dengan target tiga miliar dosis [pada akhir tahun] untuk suplai ke seluruh dunia.

"Tapi, saya tidak merasa bangga atas hasil yang saya capai. Saya merasa perlu banyak belajar dari atasan saya dan profesor yang lain," tambahnya.

"Menurut saya ini adalah awal permulaan saja. Masih panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menjadi orang hebat."

"Saya melakukan pekerjaan saya sesuai job description tapi saya lakukan ekstra. Tapi untuk bangga, saya harus banyak belajar dari atasan dan profesor saya yang lain, saya masih jauh untuk bisa bangga untuk pekerjaan saya. Saya belum ada apa-apanya," kata Carina lagi.

Apa yang terjadi setelah formula ditemukan?

Di jantung operasional tim vaksin Oxford, ada setidaknya enam ilmuwan dengan pengalaman puluhan tahun dalam pengembangan, manufaktur dan juga uji coba klinis vaksin untuk menjamin keamanannya dan dilakukan dalam waktu yang sangat cepat.

Mereka termasuk Profesor Sarah Gilbert, Profesor Adrian Hill, Catherine Green, dan Andrew Pollard.

Sandy Douglas memimpin tim manufaktur, tim kecil dengan hanya Carina yang melakukan eksperimen.

Tim pengembangan di bawah Sarah Gilbert, mulai mengerjakan vaksin pada pagi hari 11 Januari 2020, tak lama setelah ilmuwan di China menerbitkan sekuens genome pertama virus corona.

Saat itu belum jelas seberapa cepat virus akan menyebar.

Perusahaan seperti Pfizer pasti punya tim manufaktur yang sangat besar, kata Sandy.

Sementara empat hari kemudian, pada 15 Januari 2020, tiga jam sebelum tengah malam, di laboratorium Jenner Institute, Carina bergegas menyampaikan hasil eksperimen yang dia lakukan selama sekitar tiga bulan, ke bosnya, Sandy.

"Saya sangat senang, saya terkejut. Saya tidak memperkirakan, bisa ditemukan formula untuk meningkatkan apa yang telah kami kembangkan, dengan volume begitu besar," cerita Sandy tentang reaksinya ketika itu.

Pada Januari 2020, Covid-19 memang baru santer terdengar jauh di Wuhan, China.

Dalam beberapa minggu setelah dimulai pada 11 Januari, tim terpisah yang dipimpin Sarah Gilbert sudah memiliki vaksin yang dapat diuji coba di laboratorium. Ketika itu, mulai dilakukan uji klinis fase pertama.

Dari sinilah tahapan mengarah ke tim manufaktur di bawah Sandy Douglas untuk memperbanyak vaksin agar dapat dipakai dalam uji coba klinis fase dua dan tiga dengan kebutuhan puluhan ribu dosis.

Saat itu, pada bulan-bulan pertama 2020, dunia sudah diguncang dengan penyebaran virus corona secara begitu cepat.

"Kami punya kemampuan melakukan uji klinis namun saat itu, kami tak memiliki pengalaman memproduksi dalam skala besar," kata Sandy.Sandy mengatakan sangat bangga dengan hasil yang diraih tim dengan bantuan banyak mitra.

"Tim riset saya berada dalam posisi yang paling tepat untuk mencoba dan menyelesaikan masalah [produksi] itu. Jadi terjadinya pandemi dan kebutuhan besar vaksin dalam skala besar serta temuan dari Carina ini, muncul pada waktu yang tepat," tambahnya.

Tahapan uji klinis satu dan dua sudah memerlukan vaksin yang cukup banyak sementara tahap terakhir atau ketiga melibatkan 30.000 sukarelawan, sebelum vaksin dipastikan aman oleh badan obat-obatan dan dapat digunakan.

"Biasanya diperlukan waktu yang sangat, sangat lama untuk mengembangkan proses manufaktur vaksin apapun. Biasanya diperlukan waktu lima tahun atau 10 tahun dan biasanya diperlukan waktu lima atau 10 tahun juga untuk uji klinis," kata Sandy.

"Jadi tekanannya ada pada kami, tim manufaktur, untuk mencoba dan bergerak secepat mungkin. Bila tidak, setiap mata akan mengarah kepada kami dan bertanya-tanya, mana vaksinnya [untuk uji klinis]?" cerita Sandy tentang kondisi pada bulan-bulan pertama tahun 2020.

 

Oxford juga perlu bantuan laboratorium yang lebih besar untuk melakukan uji coba lebih lanjut dengan menggunakan lebih banyak sel.

Ketika itu Universitas Oxford belum bekerja sama dengan AstraZeneca, perusahaan farmasi Inggris-Swedia yang bermarkas di Cambridge.

Sandy menghubungi berbagai konsorsium untuk memproduksi vaksin di Inggris, Belanda, India dan China.

Pada bulan Maret, berbagai fasilitas ini bersiap memproduksi puluhan juta vaksin sebelum dipastikan apakah vaksin ini aman dan dapat digunakan.

"Carina mengerjakannya sendiri... akan ada bencana bila dia terkena virus corona"

Carina Citra Dewi Joe.

SUMBER GAMBAR,JOHN CAIRNS. Keterangan gambar,Carina mengatakan dia hampir menyerah dua kali karena tekanan yang begitu besar pada awal pandemi.

Sandy menyebut timnya sangat kecil bila dibandingkan dengan perusahaan farmasi besar lain.

"Satu hal yang sangat tak biasa tentang apa yang dilakukan Carina adalah, dia mengerjakannya sendiri. Saya rasa perusahaan dengan skala manufaktur seperti Pfizer tidak akan begitu tergantung pada satu orang saja, mereka pasti punya tim orang yang berpengalaman sangat besar."

"Saya sangat khawatir [ketika itu]. Bagaimana bila Carina terkena virus corona? Akan terjadi bencana kalau itu terjadi karena kami perlu dia tetap bekerja," kata Sandy mengenang periode kerja keras selama 18 bulan.

 

Saya sangat khawatir Carina terkena virus corona (ketika itu), kata Sandy, karena tak ada yang dapat menggantikan pekerjaannya.

Carina sendiri mengatakan ia hampir menyerah dua kali karena tekanan yang begitu besar, tanpa tahu pasti, apakah vaksin akan berhasil dikembangkan atau gagal.

Carina Citra Dewi Joe.

SUMBER GAMBAR,JOHN CAIRNS Keterangan gambar, Saya sempat menyerah dua kali, kata Carina.

"Pandemi mengajarkan saya untuk tahan banting dengan segala keadaan untuk mengerjakan tugas saya karena saat itu hanya saya satu-satunya yang bisa mengerjakan eksperimen ini karena tim ini kecil. Tidak ada gantinya untuk mengerjakan tugas ini. Tidak semudah itu merekrut orang, perlu training lama … semuanya harus saya sendiri yang atasi," cerita Carina.

Inggris mulai menerapkan lockdown (karantina wilayah dalam skala nasional) pada Maret 2020 dan dilonggarkan empat bulan kemudian.

"Saya sempat bilang, saya mau berhenti, saya tak bisa lagi lakukan ini. Nangis-nangis di depan bos. Mereka berikan pengertian. Mau gimana lagi, cuma kamu yang melakukan, tidak ada gantinya lagi. Mau sakit atau tidak tetap harus dikerjakan," kata Carina mengingat kerja nonstop tanpa istirahat tahun lalu.

"Saat hampir menyerah, bos saya bilang, kita melakukan hal yang tepat. Ini mungkin satu hal yang sangat penting yang kita lakukan dalam karir kita karena banyak orang meninggal, jadi kita lakukan yang terbaik, demi kemanusiaan," ceritanya lagi.

Apakah formula "30 mililiter sel" dapat digunakan bila terjadi pandemi lagi?

Carina Citra Dewi Joe.

Ketika ditemui di laboratorium Jenner Institute, Universitas Oxford, Carina memperkenalkan sejumlah kolega yang meneliti berbagai vaksin lain termasuk untuk virus Zica dan Malaria.

Carina - yang memperoleh gelar doktoral dalam bidang bioteknologi di Royal Melbourne Insitute, Australia - menunjukkan dua ruang laboratorium, tempat ia menghabiskan hari-hari dan malam tanpa tidur cukup, hampir sepanjang 2020.

Formula hasil eksperimen Carina ketika itu rencananya digunakan untuk penelitian vaksin rabies, yang tengah dikembangkan tim peneliti di bawah Sandy Douglas, sebelum ia ditarik ke tim Covid.

Bersama Catherine Green dengan GQ Awards, salah satu penghargaan yang diterima tim vaksin Universitas Oxford.

Carina sendiri baru bergabung dengan tim Sandy pada Agustus 2019 dan memulai eksperimennya pada sekitar akhir September.

Apakah formula ini bisa digunakan bila terjadi pandemi lagi di kemudian hari?

"Proses yang digunakan masih sama, dan bisa dipakai untuk penyakit yang berbeda, hanya perlu diadaptasi sedikit. Jadi bisa langsung dipakai untuk memproduksi vaksin lain," katanya lagi.

Carina Citra Dewi Joe
 
Keterangan gambar, Pandemi mengajarkan saya untuk tahan banting.

Sandy sendiri mengatakan dalam diskusinya dengan salah seorang kolega - walaupun setengah bercanda - bahwa "Carina adalah peneliti paska doktoral yang paling penting di dunia. Pekerjaannya sangat fantastis dan sangat penting."

 
 Harapan Generasi Muda Indonesia

Hingga kini, Carina berkarier sebagai ilmuwan di Inggris dan sudah lama menetap di negara tersebut. Namun, salah satu motto hidup Carina adalah di mana pun tempat kerjanya yang penting bermanfaat. “Saya mau bekerja di manapun, asalkan bisa berguna dan hasilnya bisa digunakan untuk membuat kehidupan masyarakat lebih baik lagi, itu yang penting sih.”

Ia pun berpesan bagi generasi penerus bangsa, menurutnya jika ingin mengejar cita-cita maka langkah awalnya adalah harus tahu minat diri sendiri.

“Kita harus tau minat kita, jangan ikutin stereotip yang ada nanti jadi beban. Setelah mengetahui minat, kita harus membekali diri dengan skill untuk meraih mimpi itu, jadi harus ada usaha.”

“Semoga karyanya tidak hanya dikenal di Indonesia tapi juga bisa digunakan oleh masyarakat dunia sehingga memberi pengaruh positif di dunia internasional,” tutupnya.

(Patia\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar