Warga Hilang di Intan Jaya Papua, KontraS Desak Pemerintah untuk Usut

Kamis, 28/10/2021 08:20 WIB
Ilustrasi operasi gabungan TNI-Polri di Papua (Puspen TNI)

Ilustrasi operasi gabungan TNI-Polri di Papua (Puspen TNI)

Jakarta, law-justice.co - LSM Pegiat HAM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah agar mengusut tuntas soal peristiwa hilangnya salah seorang warga sipil di Intan Jaya, Papua.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Arif Nur Fikri mengatakan pihaknya meminta agar negara dapat melakukan proses pencarian terhadap warga sipil Sem Kobogau, yang sebelumnya sempat ditangkap oleh 4 orang diduga anggota TNI, pada Selasa (5/10) lalu.

Arif mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima KontraS, Sem ditangkap saat sedang berada di kios milik Matius Dosay, yang berada tepat di depan SMA Negeri 1 Sagupa, pukul 18.00 WIT.

Ditangkap oleh 4 orang yang diduga anggota TNI, tanpa menjelaskan maksud dan tujuan penangkapan tersebut," jelasnya melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi.

Keesokan harinya, ketika pihak keluarga dan warga setempat mendatangi Polsek Sagupa, Arif mengatakan, mereka urung mendapatkan informasi perihal kejelasan keberadaan korban.

"Kami mengkhawatirkan penculikan dan hilangnya korban akan kembali mengulang peristiwa yang dialami oleh Pendeta Yeremia Zanambani, Luther Zanambani, dan Aphius Zanambani pada tahun 2020 lalu," tuturnya.

Arif mengatakan, proses penuntasan kasus-kasus tersebut tidak pernah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, proses hukum yang dilakukan juga cenderung tertutup.

Penyalahgunaan Wewenang

Padahal dalam kasus ini, KontraS menilai telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh empat orang prajurit TNI yang melakukan penangkapan tersebut.

Mengacu kepada KUHAP dan UU TNI, mereka tidak diberikan kewenangan untuk melakukan upaya paksa dalam rangka penegakan hukum.

"Penghilangan paksa terhadap korban telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa," tegas Arif.

Tidak hanya itu, penghilangan paksa terhadap korban juga dinilai telah melanggar sejumlah UU yang ada. Khususnya dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 34 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

"Yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa, dan tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang," imbuhnya.

Perspektif `Keamanan`

Karenanya, KontraS mendesak agar Presiden Jokowi tidak lagi menggunakan perspektif keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pasalnya pendekatan tersebut terbukti hanya menambah panjang rentetan pelanggaran HAM di tanah Papua.

KontraS juga mendesak agar DPR segera mengevaluasi pendekatan-pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah di Papua. Arif mengatakan, hal ini penting dilakukan untuk menghentikan terjadinya tindakan kekerasan terhadap warga sipil.

"Presiden bersama DPR perlu segera meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa dan mengesahkan UU pengesahan Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa," jelasnya.

Selain itu, KontraS juga mendesak adanya tim gabungan TNI-Polri dan Komnas HAM guna melakukan penyelidikan dan penyidikan secara tuntas dalam kasus tersebut.

Tim ini juga diharapkan dapat menemukan korban dan mengungkapkan motif dari ditangkapnya korban secara sewenang-wenang.

Terakhir, ia meminta agar pihak TNI dapat menindak tegas prajuritnya apabila terbukti melakukan tindakan penghilangan paksa terhadap korban.

"Secara terbuka dan akuntabel, dan mengusut kesalahan pelaku dalam ranah peradilan umum," pungkasnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar