Smart Contract, Menilik Masa Depan Sarjana Hukum di Indonesia

Minggu, 24/10/2021 21:10 WIB
Ilustrasi Smart Contact (Steemit)

Ilustrasi Smart Contact (Steemit)

Jakarta, law-justice.co - Kontrak pintar atau smart contract, yang belakangan ini kerap dibicarakan seiring dengan kepopuleran aset kripto yang mana keduanya saling berkaitan dan sama-sama berbasis blockchain.

Smart contract secara sederhana dapat diartikan sebagai perjanjian elektronik dalam sistem basis data blockchain yang menjalankan dan mengeksekusi klausula-klausula dalam perjanjian secara otomatis (self-executing). Klasula-klasula yang dimaksud ialah mengenai klasula pembayaran, pengiriman, mengenai garasi atau pergantian barang, keadaan kahar (force majeure) dan klausul batasan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam kesepakatan atau kontrak.

Namun, kehadiran smart contract tentu saja memunculkan sejumlah pertanyaan, khususnya yang berkaitan dengan keabsahannya mengingat selama ini masyarakat terbiasa dengan kontrak atau perjanjian yang ditandatangani secara langsung alih-alih kontrak berbasis digital.

Advokat Firma Hukum Ricardo Simanjuntak & Partners Ricardo Simanjuntak menilai pada dasarnya tidak ada masalah terkait dengan keabsahan kontrak berbasis digital, tak terkecuali smart contract di Indonesia. Karena hal tersebut sudah diatur dalam UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pada dasarnya smart contract tersebut merupakan bentuk dari perwujudan asas kebebasan berkontrak. Menurut UU ITE, smart contract dapat diartikan sebagai perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Agar perjanjian tersebut sah menurut hukum tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang (KUH) Perdata, antara lain kesepakatan antara para pihak, kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian, dan suatu kausa yang halal.

“Untuk keabsahannya tidak jadi masalah karena sudah diatur dan tanda tangan digital juga sudah diakui oleh hukum. Masalahnya adalah ketika terjadi sesuatu atau pelanggaran kontrak tetapi pihak yang bersepakat berada di wilayah dengan aturan hukum berbeda, seperti berbeda negara, tentu saja pertanyaannya bagaimana menyelesaikannya,” katanya kepada Bisnis belum lama ini. Oleh karena itu, menurut Ricardo, diperlukan penyesuaian dari smart contract yang bekerja dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran kontrak yang akhirnya merugikan salah satu pihak.

Dia menyebut hal ini tidak terlepas dari smart contract yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan di suatu negara, dalam hal ini adalah Indonesia. “Smart contract ini tentu saja bisa lintas batas, nah peluang terjadinya pelanggaran yang merugikan salah satu pihak, khususnya konsumen ini ada disini. Sebagai contoh, apabila seseorang di Indonesia dirugikan dari kontrak tersebut menggugat pihak yang ada di luar negeri tentu saja sulit untuk penyelesaiannya,” tuturnya, dikutip dari Bisnis, Minggu (24/10/2021)

Harapannya tentu saja disiapkan peraturan yang memungkinkan smart contract ini disesuaikan kembali dengan kondisi di Indonesia. Hal ini tentu saja mendesak untuk dilakukan mengingat kedepannya transaksi antarwilayah, tak terkecuali transaksi aset kripto makin banyak dan tentunya membutuhkan smart contract. “Karena artificial intelligence yang ada itu dikembangkan dan tersusun dari kecerdasan atau pikiran orang-orang di luar sana, bukan Indonesia. Ini juga perlu jadi pertimbangan dan disesuaikan kembali dengan kondisi di Indonesia, termasuk dalam smart contract ini,” tegasnya.

Bicara mengenai smart contract, Ricardo mengungkapkan sebenarnya hal tersebut perlu disikapi dengan baik oleh advokat atau sarjana hukum secara keseluruhan. Pasalnya, hal tersebut berpengaruh besar terhadap masa depan mereka. Dia mengungkapkan pekerjaan-pekerjaan advokat yang berbasis pengumpulan data (data collection), pemberian arti atau analisis makna dari suatu terminologi, atau peristiwa yang dilekatkan pada sejarah data (historical data) dan bersifat terstruktur dan terukur, termasuk interpretasi dan analisis kontrak komersial standar sebenarnya sudah mulai diambil alih oleh komputer berbasis artificial intelligence sejak beberapa tahun lalu.

Tentu saja, advokat muda atau lulusan sarjana hukum menjadi pihak yang paling terdampak. “Sudah sejak lima atau enam tahun lalu mungkin di firma hukum besar, kontrak komersial standar atau yang umum pekerjaannya diambil alih oleh komputer bukan lagi dilakukan oleh para advokat muda atau yang baru lulus. Tentu saja ini lebih efisien, tetapi yang harus dipikirkan bagaimana kedepannya nasib lulusan sarjana hukum kita,” tuturnya.

Oleh karena itu, Ricardo menyebut fakultas hukum yang ada di banyak perguruan tinggi di Tanah Air harus menyesuaikan kembali kurikulum pembelajarannya agar mampu menghasilkan sarjana-sarjana hukum yang mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Kurikulum yang dimaksud tidak hanya tidak hanya berbasis pengajaran pada ilmu hukum semata, tetapi juga pemahaman terhadap ilmu-ilmu lainnya. “Perguruan tinggi harus bisa meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap penggunaan internet baik dalam hal penyediaan layanan hukum atau kemampuan mengendalikan kecerdasan buatan untuk meningkatkan kualitas layanan hukum. Demikian juga untuk kemampuan berbahasa asing yang sangat penting,” ujarnya.

Terakhir, Ricardo menegaskan bahwa kehadiran kecerdasan buatan bagaimanapun juga tidak bisa menggantikan peran manusia atau advokat. Karena pada tingkat pemberian layanan hukum yang membutuhkan akurasi dan tingkat profesionalitas penanganan yang tinggi, misalnya pendampingan pelaku usaha dalam proses pembangunan usahanya sejalan dengan ketentuan hukum, pendampingan atau mewakili pelaku usaha dalam bernegosiasi, mewakili pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa tidak memungkinkan sepenuhnya digantikan oleh kecerdasan buatan. “Sarjana hukum harus diarahkan memiliki kemampuan ini. Mau bagaimanapun juga manusia atau apalagi profesi advokat tidak akan tergantikan. Memang, kecerdasan buatan kedepannya bisa berkembang dan makin cerdas, tetapi ingat mereka tidak punya jiwa seperti halnya manusia dalam mengerjakan sesuatu,” tutupnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar