Dua Tahun Jokowi-Ma`ruf, Kinerja Kejagung Disorot MAKI

Jum'at, 22/10/2021 09:53 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Kompas)

Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mencatat sejumlah kinerja pemerintahan 2 tahun Jokowi-Ma`ruf di bidang hukum. Seperti kinerja Kejaksaan yang belum memuaskan dan banyak kasus kakap yang mangkrak.

Di beberapa survei, seperti Litbang Kompas baru-baru ini, citra positif Kejaksaan Agung masih di bawah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan lebih rendah dari citra positif Polri.

"Saya menghormati hasil survei dan meminta Kejagung untuk menjadikannya sebagai perbaikan. Kenyataannya Kejagung belum menghadirkan keadilan dalam proses penegakan hukum," ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada wartawan, Jumat (21/10/2021).

Menurutnya selain kasus Jiwasraya dan Asabri, masih banyak kasus yang mangkrak dan itu juga berlarut-larut, sehingga tidak mendatangkan keadilan. Ia pun memberikan contoh terkait kasus-kasus yang belum mendatangkan keadilan, seperti kasus korupsi yang mangkrak lama.

"Misalnya kasus Bank Bali, itu tersangka yang melibatkan Tanri Abeng sampai sekarang belum dibawa ke pengadilan, tetapi juga tidak dihentikan," katanya.

Kemudian, lanjutnya, terdapat juga kasus Ginandjar Kartasasmita yang dulu pernah ditangani Kejaksaan Agung juga belum jelas dan tidak dibawa ke pengadilan, tetapi juga belum dihentikan. "Ini kan tidak membawa keadilan bagi masyarakat selaku korban kan, maupun bagi tersangka. Karena perkaranya jadi tidak diselesaikan," kata dia.

Boyamin juga menyebut terdapat juga kasus Indosat uang pengganti Rp 1,2 triliun sampai sekarang belum dieksekusi. Padahal, menurutnya, peristiwa perkaranya sudah 6 tahun yang lalu, dan juga belum disidangkan.

"Sampai saya mengajukan gugatan praperadilan dua kali, dalam kasus Indosat," ujar Boyamin.

"Terus kasus yang pernah saya gugat 10 praperadilan menjelang lebaran tahun 2019, itu misalnya kasus Dapen (dana pensiun) Pertamina yang itu kerugiannya hampir 550 miliar. Dari 3 tersangka itu baru mendapatkan 66 miliar dan sisanya itu belum dikejar. Meskinya kan dikenakan pencucian uang sehingga bisa mengejar sisa dari uang korupsi dari kasus Dapen Pertamina," lanjut Boyamin.

Selanjutnya Boyamin juga mencontohkan kasus Bank Mandiri yang sudah 5 tahun yang lalu debiturnya PT CSI (PT Central Steel Indonesia) itu baru menyidangkan kroco, kelas kecil. "Sementara pemegang saham dan orang yang diduga menikmati paling banyak dari uang korupsi belum diproses sampai sekarang dan itupun juga sudah saya gugat peradilan," kata Boyamin.

"Dan kemudian kasus yang baru misalnya belum ada kepastian kasus BPJS, Jamsostek Ketenagakerjaan, ntah diteruskan atau tidak. Terus kemudian kasus Pelindo di SP3 padahal menurut saya itu cukup alat bukti, sehingga nanti akan saya gugat peradilan atas penghentian penyidikan tersebut," tegas Boyamin.

Ia pun menyinggung terkait dengan kasus eks jaksa Pinangki yang masih banyak misteri belum terpecahkan, dan terkesan ditutup-tutupi. "Misalnya terkait peran King Maker," katanya.

Dirinya menyebut bahwa banyak dari proses-proses yang belum terselesaikan jika ingin menilai Kejaksaan. Salah satunya soal Mafia Tanah yang masih merajalela.

"Bagaimana kasus-kasus yang terkait dari proses mafia tanah diproses ke penegak hukum, Kepolisian tapi mestinya itu tidak dibawa ke pengadilan malah dibawa ke pengadilan, yang mestinya dibawa ke pengadilan tapi malah tidak dibawa. Banyak kasus-kasus seperti itu, sehingga dalam pidana umum pun kasus mafia tanah Kejaksaan Agung juga belum mampu menghadirkan keadilan," kata dia.

Termasuk, kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terkait Semanggi 1 dan Semanggi 2 yang juga berkaitan dengan peristiwa HAM yang lain tahun 98 terutama.

"Serta juga HAM yang lain Wasior juga belum pernah dibawa ke pengadilan karena hasil dari Komnas HAM tidak pernah ditindaklanjuti oleh kejaksaan Agung, dan peristiwa-peristiwa yang lain juga menyangkut kejadian misalnya TP4 tim pendampingan pembangunan malah beberapa oknum nakal malah menjadikan ini ladang mencari duit, sehingga akhirnya dibubarkan," ujarnya.

Jadi, kata dia, banyak hal yang kemudian proses-proses itu menjadi tidak mendatangkan keadilan. Menurutnya, di bagian pengawasan misalnya banyak oknum jaksa nakal yang kemudian tidak diberi sanksi berat.

"Bahkan ada yang kena kasus korupsi, ada yang saya catat, kepada yang bersangkutan tidak dipecat. Saya tidak bisa nyebut namanya, tapi saya punya catatan itu bahwa ada yang korupsi tapi tidak dipecat," kata Boyamin.

Menurutnya, kasus Pinangki karena ramai saja kemudian dieksekusi dan kemudian dipecat. Tapi, katanya, masih ada oknum jaksa-jaksa nakal lain yang itu sudah jelas-jelas diduga melakukan korupsi, berupa pemerasan dan suap tapi kemudian setelah menjalani persidangan dan menjalani pidananya malah tetep masih jadi ASN Kejaksaan Agung.

Boyamin menyebut hal yang kemudian menjadi tidak adil. Ia mengatakan bahwa banyak jaksa yang baik, yang berkarya, pintar, tidak melakukan kesalahan tapi mereka tidak dipromosi sesuai kepintarannya, hanya banyak yang diparkir. Sementara, menurutnya, orang-orang yang diduga nakal malah tidak dipecat dan ada beberapa yang mendapatkan promosi.

"Saya pernah melaporkan jaksa yang punya label kedudukan agak tinggi, tapi sampai sekarang juga masih tidak diapa-apakan. Masih menduduki jabatan yang selevel, ini selevel eselon 2 lah itu. Padahal menurut saya jelas-jelas melanggar PP 53 yang tentang disiplin pegawai negeri sipil ASN," kata dia.

Menurutnya, hal itulah yang kemudian tidak mendatangkan keadilan. Karena, lanjutnya, jaksa yang baik dan hebat integritasnya malah tidak mendapatkan promosi jabatan. Namun, jaksa yang diduga tidak baik malah dapat promosi.

Untuk itu, Boyamin pun memberikan sarah agar Kejaksaan Agung melakukan pembenahan. Yaitu terkait jaksa nakal agar diberhentikan, yang integritasnya jelek jangan dipromosikan.

"Kemudian penanganan perkara harus mendatangkan keadilan dengan perspektif korban. Jadi kalau korupsi ya berarti justru ini harus cepat dan dituntaskan jangan berlarut-larut," lanjutnya.

Menurutnya, semua perkara baik pidana umum termasuk pelanggaran HAM berat juga segera dituntaskan. "Dituntaskan itu tidak harus dibawa ke pengadilan, dihentikan, dihentikan aja, nanti segera saya uji ke praperadilan, nanti bisa seperti kasus Pelindo saya melihatnya itu cepat seperti itu mestinya kasus-kasus mangkat cepet, kalau ndak berani bawa ke pengadilan nanti saya isi semua, saya gugat ke praperadilan," ujarnya.

Termasuk pidana umum yang berkaitan dengan penyidik kepolisian maupun penyidik-penyidik yang lain harus ada tolak ukur. "Misalnya ini perkara biar gak mangkrak bolak-balik misalnya kalau dua kali sudah tidak memenuhi petunjuk jaksa ya sudah enggak mau menerima lagi pengembalian berkas dan dia dihentikan oleh penyidik kepolisian misalnya seperti itu," kata Boyamin.

Menurutnya, hal itulah yang mendatangkan keadilan. Yaitu karena proses penegakan hukum dengan cepat, tepat.

"Sehingga adil dan memberikan kepastian, jangan berlarut-larut," kata dia.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar