YLKI ungkap Tak Ada Bedanya Pinjol Legal Atau Ilegal, ini Alasannya

Minggu, 17/10/2021 17:20 WIB
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi (Foto: Ist)

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi (Foto: Ist)

Jakarta, law-justice.co - Masalah fintech lending atau pinjaman online di Indonesia saat ini tak hanya dilakukan oleh pelaku ilegal. Hal ini disebutkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang seringkali menerima pengaduan masyarakat.

Tak hanya pinjol ilegal yang meresahkan, namun aduan masalah terhadap pinjol legal pun sering terdengar. Tulus Abadi selaku Ketua Pengurus Harian YLKI, mengungkapkan seluruh laporan terkait masalah pinjol mencapai 70 persen.


Faktanya, dari persentase tersebut sebanyak 30 persen merupakan aduan yang ditujukan untuk pelaku bisnis pinjol legal. Tulus menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan ada masalah di fintech legal sekalipun.


Melihat dari data harian, mayoritas pengaduan masalah terkait pelanggaran cara penagihan. Menurutnya, pinjol legal maupun ilegal masih sama saja pada sistem cara penagihan. "Karena apa, pengaduan yang paling signifikan yang kami terima, dari 70 persen pengaduan masalah pinjol ini yang paling tinggi 50 persen cara penagihan. Jadi ini antara ilegal dan legal ya, tidak ada bedanya," ujarnya dalam diskusi virtual, Trijaya `Jerat Pinjol Ilegal Bikin Benjol`, Sabtu (16/10/2021).

Dengan fakta dari data konsumen fintech, masalah ini harus segera dituntaskan oleh pemerintah termasuk kepolisian dan satgas waspada investasi. Tulus menyebut ini berpotensi menjadi tekanan psikologis masif bagi masyarakat.


Meski tidak semua menyangkut masalah pidana yang mengarah pada teror psikologis. Sebanyak 10 pengaduan datang dari masalah perdataan seperti kesulitan restrukturisasi dan denda.


Namun, hal ini merupakan akibat dari rendahnya literasi yang berdampak pada ketidaksiapan masyarakat masuk ke ekonomi digital, termasuk saat membaca syarat dan ketentuan yang berlaku.


"Kan sudah jelas, kalau kita menyalahkan masyarakat ya pasti salah. Karena apa, sejak awal literasi kita itu rendah baik literasi membaca buku apalagi literasi digital. Literasi membaca buku kita menurut PBB itu 1 banding 1000 apalagi literasi digital. Padahal prasyarat untuk memasuki ekonomi digital atau fintech itu adalah literasi digital yang memadai," katanya.

Rendahnya literasi ini terbukti dari ketidaktahuan masyarakat terkait syarat dan ketentuan saat transaksi fintech maupun e-commerce. Sebagian besar tidak membaca kontrak sebelumnya hingga akhirnya mereka tidak memahami persoalan denda, cara bayar, dan sanksi tunggakan.


Satu hal yang tak kalah penting menurut Tulus adalah kemampuan pembayaran masyarakat saat meminjam ke pinjol. Rata-rata sengketa pinjol muncul akibat dari tunggakan utang yang tak kunjung dibayar oleh konsumen.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar