PRESISI Polri Diuji, Harusnya Kriminalisasi Petani Kopsa M Dihentikan

Rabu, 13/10/2021 19:25 WIB
Aksi Protes Puluhan massa yang tergabung dalam anggota/ petani awal/ perwakilan/ pemilik lahan KOPSA-M melakukan (Seriau)

Aksi Protes Puluhan massa yang tergabung dalam anggota/ petani awal/ perwakilan/ pemilik lahan KOPSA-M melakukan (Seriau)

Jakarta, law-justice.co - Dalam dua minggu terakhir, publik dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa dalam tubuh kepolisian yang menggambarkan bahwa visi PRESISI yang menjadi corak kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo belum sepenuhnya dipedomani oleh jajaran kepolisian khususnya di tingkat Polres dan Polsek. Peristiwa yang terkait Brigjen Junior Tumilaar, #PercumaLaporPolisi dan pedagang perempuan dipukul preman dan menjadi tersangka di Deli Serdang, pembiaran mafia tambang di Sulawesi Utara yang menewaskan warga, telah menggenapi berbagai peristiwa sebelumnya, utamanya terkait praktik kriminalisasi.

"Visi Presisi adalah gambaran dari tekad Polri untuk melakukan predictive policing yang responsible, transparan dan berkeadilan. Visi ini salah satunya diturunkan dalam bentuk pengutamaan restorative justice dalam penanganan perkara pidana tertentu. Kecuali terkait mafia tambang PT BDL, pada tiga peristiwa lainnya, Mabes Polri telah sigap mengambil langkah konstruktif dengan memberikan perhatian serius dan mengambil alih penanganannya," ujar Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipopos, Rabu (13/10/2021)

Visi Presisi Polri kembali mengalami ujian dalam kasus kriminalisasi Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) dan 2 orang petani Sawit di Polres Kampar, Riau, yang sedang memperjuangkan hak-hak 997 petani atas tanah yang diduga dirampas oleh perusahaan swasta dan melepas jerat atas utang 150 milyar, akibat kredit pembukaan kebun yang dikelola oknum PTPN V secara tidak akuntabel di masa lalu.

Bonar mengungkapkan Polres Kampar gigih mengkriminalisasi petani tetapi abai dan menutup mata atas perusahaan swasta yang beroperasi tanpa izin. "PT Langgam Harmuni yang diduga merampas 390 hektar tanah petani berlokasi di pinggir kota dan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit dari Mapolda Riau. Tetapi jajaran Polda Riau dan Polres Kampar membiarkan perusahaan ini beroperasi selama lebih dari 15 tahun tanpa izin usaha perkebunan, yang jelas menghilangkan potensi pajak dan pendapatan negara," ungkapnya.

"Perusahaan perkebunan tanpa izin tersebut juga merupakan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Pasal 47 (1) dan Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang seharusnya bisa ditindak tanpa aduan," lanjut Bonar.

PT. Langgam Harmuni bahkan baru mengurus izin lingkungan pada September 2021 dan juga ditunda pengesahannya karena penolakan masyarakat karena status lahan kebun yang tidak clear. "Tidak adanya izin usaha perkebunan disebabkan patut diduga keras ada masalah di lahan itu, yang terus coba dihilangkan dan ditutupi dengan berjalannya waktu (buying time). Padahal dengan menyembunyikan dugaan kejahatan dengan memanfaatkan ketentuan daluarsa, justru menimbulkan kejahatan-kejahatan lanjutan lain yang berdampak pada korban yang lemah," jelas dia.

Alih-alih menjalankan visi PRESISI Polri dan mematuhi perintah Jokowi terkait mafia tanah , jajaran Polres Kampar justru membabi buta membela PT. Langgam Harmuni dengan mengkriminalisasi petani dengan kasus yang sarat rekayasa. "Polres Kampar membangkang perintah Kapolri untuk mengutamakan restorative justice atau keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus kemasyarakatan termasuk soal sengketa lahan berkelanjutan. Menghentikan kriminalisasi atas Ketua Koperasi dan 2 orang petani adalah ujian lanjutan bagi visi Presisi Polri," pungkas Bonar.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar