Pandangan Gubernur Lemhannas soal TNI Milik Presiden Tak Kontekstual

Senin, 11/10/2021 15:05 WIB
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen (Purn) Agus Widjojo. (Dok. Lemhannas)

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen (Purn) Agus Widjojo. (Dok. Lemhannas)

Jakarta, law-justice.co - Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior mengomentari pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen (Purn) Agus Widjojo yang menyebut bahwa TNI milik presiden, bukan rakyat.

Hendrajit menyarankan agar Agus menyoroti dulu praktek demokrasi pasca reformasi yang melahirkan para pemimpin politik nasional dan daerah benar-benar berasal dari rahimnya rakyat.

"Kalau sudah, baru supremasi sipil atas militer baru bisa ditegakkan, yang mana presiden atau kepala daerah merupakan wujud dari otoritas sipil tertinggi," kata Hendrajit dalam keterangannya, Senin (11/10/2021).

"Sehingga kalau Pak Agus bilang tentara itu milik presiden jadi masuk akal. Sayangnya ada dua masalah krusial sejak reformasi, yang berakibat pandangan Pak Agus tidak kontekstual," sambungnya.

Pertama, sistem demokrasi kita yang berbasis pemilihan langsung baik legislatif dan eksekutif, dalam politik rekrutmennya dikuasai dan ditentukan oleh sebuah oligarki politik dan konglomerasi ekonomi yang tidak pro rakyat.

Alhasil, pemerintahan terpilih maupun para legislator terpilih sejak hasil pemilu 1999 hingga kini, merupakan agen agen perpanjangan tangan oligarki politik maupun konglomerasi ekonomi.

Dengan begitu, kata Hendrajit, dalam menerapkan supremasi sipil atas militer, didasari niat dan kepentingan subyektif para oknum penguasa, ketimbang atas dasar meritokrasi dan kompetensi dalam memilih para pimpinan tentara.

"Kalau meminjam istilah dalam literatur politik yang saya baca waktu kuliah dulu, subjective civilian control lebih diutamakan ketimbang objective civilian control. Di sinilah pandangan pak Agus jadi tidak kontekstual," ujar Hendrajit.

Ia menilai, Agus kurang imajinatif dalam membaca sejarah pergulatan di TNI dalam menyusun skema dan strategi tentara dalam ikut berpolitik di luar lingkup dunia kemiliteran.

"Tidak boleh melakukan lompatan kuantum, tanpa menyelami suasana kebatinan TNI pada era 1950-1970," ucapnya.

Menurutnya, sejak era 1950an, wacana tentara berpolitik bertumpu pada gagasan konsepsi "Konsepsi Jalan Tengah" rancangan Jendral Abdul Haris Nasution, KSAD kala itu.

Meski konsepsi jalan tengah terkesan moderat dan tidak nafsu kuasa, namun dalam konsepsi ini terkandung sebuah kesadaran kolektif di dalam kalangan perwira militer, utamanya para pendukung konsepsi Pak Nas, bahwa selain sebagai institusi militer, juga berpotensi sebagai infrastruktur politik.

"Berarti TNI secara kolektif merupakan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Maka pada prakteknya, TNI bisa menjelma jadi sebuah dewan jendral atau junta militer," kata Hendrajit.

Konsepsi kedua, kata dia, adalah Dwi Fungsi ABRI rancangan Jendral Suharto yang mulai digulirkan pada masa pak Harto mulai berkuasa.

Hendrajit menjelaskan, Harto didikan PETA zaman Jepang, lebih dipengaruhi etos samurai dalam pembentukan watak ketentaraannya. Jiwa samurai atau ksatria memang tidak sebatas pada dirinya selaku perwira militer melainlainkan ketika berkiprah sebagai sipil.

Namun sifatnya personal, bukan secara kelembagaan. Maka, dalam konsepsi Dwifungsi ABRI, tidak memberi ruang pada tentara sebagai junta militer.

"Inilah yang membedakan Suharto dengan Nasution yang didikan KNIL di era Belanda," ungkapnya.

Hendrajit menuturkan, ketika Dwigungsi ABRI dipraktekkan Harto, jendral nasution galau karena gagal menerapkan konsepsi jalan tengah yang oleh Harto malah dimodifikasi menjaďi Dwifungsi ABRI.

"Di sinilah tragedi nasution. Konsep jalan tengah yang sejatinya mau digiring sebagai junta militer terselubung, pada prakteknya oleh Suharto lewat skema Dwifungsi ABRI, dibajak watak politiknya sebagai junta, sementara para jendralnya beliau jadikan serdadu tentaranya sekaligus serdadu politiknya," teangnya.

"Begitupun, untuk kembali ke pandangan Pak Agus, meski format TNI berpolitik lebih menganut mahzab politik Dwifungsi ABRI ala pak Harto selama 32 tahun, semangat dan impian tentara berpolitik berbasis junta militer, tidak pupus begitu saja. Kiranya masih tetap hidup, meski pengaruh politik dan masa hidup Nasution sang konseptor jalan tengah, telah lama tiada," lanjutnya.

Hendrajit menambahkan, makin jadi lahan subur, ketika ototitas sipil di pemerintahan maupun DPR, sejatinya bukan lahir dari rahim rakyat, melainkan dari oligarki politik dan konglomerasi ekonomi.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar