Petani Sawit Kampar Lawan Mafia Tanah PTPN V & PT Langgam Harmuni
Petani sawit KOPSA-M. (Foto: YouTube Setara Institute).
Kampar, law-justice.co - Sejumlah petani yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur Desa Pangkalan Baru Siak Hulu (KOPSA-M) melaporkan dugaan kriminalisasi yang dilakukan oknum polisi dalam kasus perampasan lahan sawit di Kabupaten Kampar, Riau.
Para petani mendapat ancaman hingga kriminalisasi setelah mereka melaporkan perampasan lahan sawit seluas 400 hektare oleh mafia tanah yang bernaung dalam PT Langgam Harmuni kepada Bareskrim Polri.
Ketua KOPSA-M Anthony Hamzah dan dua orang petani dikabarkan telah ditersangkakan oleh Polres Kampar setelah melalukan berbagai upaya penuntutan hak. Sementara satu orang petani di antaranya saat ini ditahan oleh kepolisian. Para petani kemudian melaporkan kriminalisasi tersebut kepada Setara Institute dan Indonesia Police Watch (IPW).
Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria Setara Institute, Disna Riantina, mengatakan 400 hektare lahan sawit yang dirampas telah beralih kepemilikan atas nama PT Langgam Harmuni. Tak diketahui pasti kapan lahan tersebut berpindah kepemilikan.
Para petani yang bekerja sehari-hari di atas lahan sawit seluas 2.000 hektare itu juga tak mengetahui ihwal perpindahan nama kepemilikan sebagian lahan.
"Data-data kepemilikan lahan berupa SHM (Surat Hak Milik) masih atas nama petani yang sekarang dijaminkan di bank Mandiri sebagai agunan pembangunan kebun. Sedangkan lahan diduga dikuasai oleh PT Langgam Harmuni seluas 400 hektare," kata Disna kepada Law-Justice, Sabtu (9/10/2021).
Dalam dokumen diterima Law-Justice, 400 hektare lahan sawit yang diserobot PT Langgam Harmuni merupakan bagian dari tanah ulayat seluas 4.000 hektare yang dihibahkan kepala suku atau Ninik Mamak Desa Pangkalan Baru pada 25 Juni 2001 silam kepada 997 petani lokal.
Grafik perampasan lahan milik petani sawit KOPSA-M. (Foto: YouTube Setara Institute).
Rinciannya, sebanyak kurang lebih 2.000 hektare diperuntukkan bagi petani koperasi, 1.500 hektare untuk sosial kemasyarakatan, dan 500 hektare untuk PTPN V. Sebanyak 400 hektare lahan yang dihibahkan tersebut dimiliki oleh 200 petani anggota KOPSA-M.
Ketua KOPSA-M Anthony Hamzah mengatakan, pada 2003 lalu mereka melakukan kerja sama dengan PTPN V untuk melakukan pembangunan kebun sawit dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). PTPN V pun diangkat menjadi bapak angkat KOPSA-M karena bersedia menjadi avalist penjamin kredit Bank Agro Jakarta sebesar Rp13 miliar untuk pembangunan lahan sawit seluas 400 hektare.
Setelah itu, KOPSA-M tercatat melakukan pinjaman kepada bank sebanyak tiga kali yang dilakukan pada tahun 2006, 2008, 2013. Pinjaman yang terakhir diterima melalui Bank Mandiri Palembang sebesar Rp 83 miliar guna membayar pinjaman Bank Agro dan PTPN V sebesar Rp 79 miliar.
Ketua KOPSA-M, Anthony Hamzah. (Foto: YouTube Setara Institute).
Anthony menuturkan, pihaknya bersama PTPN melakukan pembangunan sawit tahap kedua seluas 500 hektare pada 2006. Pada 2008, mereka kembali membangun lahan sawit seluas 1.150 hektare. "Nyatanya, dari luas lahan 2.050 hektare, kami hanya diberikan pemberitahuan 1.650 hektare. Di sinilah adanya hilang lahan," kata Anthony.
Para petani yang menerima data tersebut kaget karena melihat adanya penyusutan lahan sawit. Mereka kemudian menyurati PTPN V untuk melakukan pengukuran fisik lahan. Jawaban PTPN V membuat petani makin gigit jari. Hasil pengukuran yang dilakukan perusahaan BUMN itu menyebutkan bahwa lahan milik petani hanya seluas 1.400 hektare.
"Dengan dokumen yang ada kita kumpulkan bahwasanya ada penjualan lahan oleh oknum PTPN V, yakni Mardjan Ustha (Direktur SDM PTPN V) melalui adiknya Endrianto Ustha ke salah satu perusahaan yang waktu itu (bernama) Air Jernih, tapi sekarang sudah berubah nama menjadi PT Langgam Harmuni, milik Bapak Hinsatopa Simatupang," ungkap Anthony.
Endrianto Ustha. (Foto: Karimun Today).
Dari rekam jejaknya, Hinsatopa merupakan Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Riau. Pada 2019 lalu, dia divonis 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru karena terbukti bersalah dalam perkara dugaan pemalsuan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) lahan di Kecamatan Pesisir, Pekanbaru.
Setahun kemudian, Hinsatopa pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam penyidikan kasus suap terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau Tahun 2014. Setara Institute menduga adanya kongkalikong antara PTPN V dengan PT Langgam Harmuni untuk merampas lahan milik petani KOPSA-M.
Ketua DPP Apkasindo Gulat Manurung (kedua dari kiri), Pengurus Gapki Riau Hinsatopa Simatupang (kedua dari kanan) bersama Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi. (Foto: Gatra).
Sekutu mafia tanah ini diduga juga melibatkan oknum polisi untuk mengkriminalisasi petani-petani plasma yang melakukan perlawanan.
Menurut Setara Institute, hingga saat ini PTPN V menahan uang penjualan buah petani sebesar Rp 3,4 miliar. Padahal para petani yang bekerja di atas lahan mereka sudah menunaikan kewajibannya.
PTPN V berdalih tak bisa mencairkan hak para petani karena adanya koperasi tandingan versi Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) yang dilakukan oleh oknum. Dinas Koperasi Kampar dan petani yang tergabung dalam KOPSA-M sendiri tak pernah mengakui adanya koperasi RALB karena didirikan secara melawan hukum.
Melalui RALB abal-abal itu, PTPN V menggunakan tangan-tangan tertentu untuk memaksa pengesahan kepengurusan, mengadudomba petani, menghadang hasil panen petani, hingga menahan pencairan dana petani dari hasil penjualan buah.
"Koperasi itu tanpa ketua, hanya diisi oleh sekretaris atas nama Nusirwan, karyawan PTPN V," ujar Disna. Dia menambahkan lebih dari 4.000 jiwa yang bekerja di perkebunan sawit terancam kelaparan.
Disna Riantika dan tim advokasi keadilan agraria dari Setara Institute sudah melaporkan kasus perampasan lahan ke Bareskrim Polri. Laporan yang tercatat dengan nomor: LP/B/0337/V/2021/Bareskrim tanggal 27 Mei 2021 itu menjerat Endrianto Ustha karena menjual lahan milik petani kepada PT Langgam Harmuni.
Pasal yang dikenakan yakni pasal 266 KUHP tentang memasukkan keterangan palsu ke dalam akte autentik dan pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas barang tidak bergerak.
Salah satu petani sawit yang tergabung dalam KOPSA-M, Mardius, mengatakan kasus yang menimpa pihaknya masih dalam proses penyidikan. Sebelumnya, Bareskrim Polri telah memeriksa 37 saksi di Wilayah Hukum Polda Riau sejak 30 Agustus 2021-3 September 2021 terkait laporan atas dugaan penyerobotan 400 hektare lahan milik petani Sawit.
"Alhamdulillah sejak Setara mendampingi kami progresnya sangat memuaskan. Permasalahan kami terlihat jelas dan langkah-langkah yang diambil kawan-kawan Setara memang dengan sangat perhitungan," katanya.
Menurut dia, PTPN V menghalang-halangi pengajuan dana mereka dengan alasan kebun sawit masih dalam status kredit berjalan pada Bank Mandiri. PTPN V kemudian menyurati Bank Mandiri agar pihak bank mengeluarkan surat yang intinya melarang Dinas Perkebunan Kampar memverifikasi pengajuan dana petani KOPSA-M. "Pengajuan kita tidak diverifikasi oleh Disbun. Ternyata PTPN V menghalangi. Enggak boleh tuh sama PTPN V, kata Disbunna seperti itu," kata Mardius.
Setelah itu, Dinas Perkebunan menyatakan tak bisa memverifikasi pengajuan dana dengan alasan surat yang dikeluarkan Bank Mandiri. KOPSA-M kecewa dengan penolakan Dinas Perkebunan Kampar.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santosa mendesak Bareskrim Polri menuntaskan perampasan lahan 400 hektare milik petani KOPSA-M. Dia mengimbau agar institusi Polri mengawal kebijakan Presiden Joko Widodi yang ingin membasmi mafia tanah dari bumi Indonesia.
"Perampasan yang dilakukan oleh PT Langgam Harmuni itu jelas menyengsarakan ekonomi masyarakat petani. Pendapatan mereka seolah `tertimpa tangga`, sudah terkena dampak akibat Covid-19 juga tidak menerima pendapatan yang layak untuk menghidupi keluarganya," kata Sugeng kepada Law-Justice, Ahad (10/10/2021).
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) juga turut memberikan perhatian terhadap kasus perampasan lahan dan kriminalisasi petani sawit di Kampar, Riau. Mereka mendesak Pemerintah Pusat turun tangan dan melakukan investigasi mendalam atas proses hukum yang tengah bergulir terhadap dua orang petani sawit yang kini dijadikan tersangka akibat menjual hasil kebunnya sendiri.
"Kasus ini harus dan perlu diproses berkeadilan sejalan dengan kebijakan HAM Indonesia, yakni Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2021-2025. Pada RANHAM generasi V ini, pemerintah fokus pada perlindungan dan penghormatan HAM terhadap kelompok rentan yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat," demikian bunyi pernyataan INFID terhadap kasus tersebut.
Komentar