Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Hut TNI Disaat Bayang-bayang Kembalinya Era Dwifungsi ABRI

Selasa, 05/10/2021 08:03 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - HUT TNI ke-76 tahun  hari ini (5/10/21) rencananya akan digelar di Istana Merdeka, Jakarta  secara terbatas dengan jumlah personel bertugas sebanyak 28 orang dengan menerapkan protokol kesehatan virus corona. 

Berdasarkan rilis resmi dari Kasum Letjen TNI, peringatan HUT bakal diwarnai dengan memamerkan 112 alutsista di sekitar Istana Merdeka, atau tepatnya di Jalan Merdeka Barat, Jalan Merdeka Selatan, dan Jalan Merdeka Utara.

Peringatan HUT TNI tahun ini dibayang bayangi oleh kembalinya dwi fungsi  ABRI yang sebenarnya sudah lama menjadi salah satu agenda reformasi yang menjadi tuntutan mahasiswa karena dinilai membahayakan proses kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Mengapa dwi fungsi ABRI menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan negara sehingga harus dihapuskan eksistensinya ? Mengapa  pula dwifungsi ABRI ini begitu sulit dijalankan oleh Pemerintah  yang sedang berkuasa ?. Benarkah Pemerintah yang berkuasa sekarang sengaja merangkul militer untuk mengamankan kekuasaannya ?. Sejauhmana bayang bayang kembalinya dwi fungsi ABRI itu akan menjadi nyata ?

Bahaya Dwifungsi TNI

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian masyarakat yang secara khusus dipersiapkan untuk melakukan tugas pembelaan negara dan bangsa, serta memelihara pertahanan negara. Tentara Nasional Indonesia memiliki peran sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Dwifungsi ABRI memiliki artian bahwa ABRI memiliki dua tugas utama, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara dan memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. ABRI juga berperan ganda sebagai “dinamisator sekaligus stabilisator” dalam berbangsa dan bernegara. 

Dikarenakan adanya Dwifungsi ABRI  tersebut maka tidak heran apabila pada masa Orde Baru  (Orba)banyak tokoh militer aktif yang menjabat sebagai menteri, gubernur, ataupun bupati/wali kota. Hal ini memberi dampak negatif berupa terjadinya dominansi ABRI terhadap masyarakat sipil  yang menyebabkan berkurangnya peluang aspirasi politis masyarakat sipil dalam mengurus negara.

Rezim Orba di bawah komando Soeharto memang membuka ruang seluas-luasnya bagi orang-orang militer untuk menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan, bahkan di sektor-sektor lainnya. 

Orde Baru memantapkan Dwifungsi ABRI dengan landasan hukum yang dibuatnya. Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978) mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD 1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara sejak 1945.

Lebih rinci, pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982. 

Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama yaitu menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan dalih dwifungsi  ABRI pada akhirnya aparat dianggap menjadi kepanjangan tangan Soeharto dalam pemerintahan Orba. Hal ini merupakan hal negatif karena sangat kurangnya kebebasan dalam berpendapat pada masa Orba dan banyak orang juga dengan bantuan jabatan-jabatan yang diisi oleh militer membuat Soeharto semakin mudah dalam menjalankan rezim otoriternya.

Kondisi tersebut telah membuat citra buruk ABRI selama Orba berkuasa  karena ulah tentara yang menempatkan diri sebagai mesin politik untuk menegakkan kekuasaan korup rezim Orba. Pimpinan ABRI pada masa itu cenderung menganggap bahwa citra diri tentara yang buruk itu hanya berkembang di kalangan mahasiswa dan kelas menengah perkotaan saja.  Pada hal efek buruk dwi fungsi telah dirasakan rakyat sampai ke desa desa.

Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara. Karena denga n adanya dwifungsi itu berdirilah  struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-hingga Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat dan rakyat dibawah kendali mereka. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat hingga Babinsa. Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa yang ada diwilayahnya Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.

Kehadiran tentara dalam kehidupan sipil akan mengganggu kehidupan politik dan kehidupan demokrasi  suatu negara. Karena tentara adalah orang yang memegang senjata. Dan orang yang memegang senjata, mengendalikan, serta mendominasi alat-alat kekerasan negara biasanya  tidak bisa diajak berdialog dan berdebat  untuk mencari solusi bersama.

Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan, harus berbasis kepada dialog yang rasional mengedepankan logika. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya kalau  tentara tidak boleh memegang jabatan-jabatan sipil karena diluar tugas yang seharusnya diembannya. 

Itulah sebabnya saat reformasi 1998 bergulir, salah satu tuntutan yang kencang disuarakan kelompok pro-demokrasi adalah pencabutan Dwifungsi ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Tersandera 

Seiring dengan runtuhnya rejim Orba yang ditandai  dengan lengsernya Soeharto maka dimulailah era Reformasi (1999-2000) dengan agenda demokratisasi Indonesia. Salah satu agenda utama adalah penghapusan dwifungsi  ABRI yaitu dengan melakukan penyingkiran angkatan bersenjata dari ranah sosial politik dan mengembalikan mereka ke fungsi pertahanan negara. 

Namun upaya ini  ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan semula.  Pada kenyataannya, demokrasi di Indonesia justru sebagian dibangun oleh para aktor yang terkait dengan sistem otoriter sebelumnya.  Aktor aktor itu sebagian besar adalah kalangan militer yang masih begitu besar pengaruhnya.

Mereka seolah olah tidak hendak merelakan dirinya dipinggirkan begitu saja dari kenyamanan berpolitik yang selama ini dinikmatinya. Oleh karena itu siapapun presiden yang berkuasa, tidak bisa mengabaikan peran militer dalam menjalankan kekuasaannya. Sejarah militer Indonesia membuktikan bahwa dominasi kaum serdadu dalam politik sudah berlangsung sangat lama dan terstruktur, siapapun presidennya.Kalau tidak maka bisa kehilangan kursi kekuasannya.

Menurut peneliti LIPI Muhammad Haripin dalam Civil-Military Relations in Indonesia: The Politics of Military Operations Other Than War (2019), Habibie gagal menjadi kandidat presiden setelah berseteru dengan Wiranto dalam perkara referendum Timor Leste yang berujung lepasnya wilayah itu dari Indonesia. 

Wiranto tak setuju dengan kemerdekaan negara itu karena Indonesia  sudah berkorban dengan kehilangan lebih dari 100.000 rakyatnya akibat operasi militer Indonesia  disana. Lepasnya Timor Timur menjadi salah satu faktor utama gagalnya kandidasi Habibie untuk maju lagi di Pemilu 1999 karena ada peran orang militer dalam hal ini Wiranto yang masih besar pengaruhnya. 

Terpilihnya Abdurahman Wahid alias Gus Dur sebagai presiden membuat tuntutan  penghapusan dwifungsi TNI cepat dikabulkan lewat sejumlah keputusan yang dibuatnya.

Dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001), pemerintahan Gus Dur melakukan sejumlah reformasi TNI diantaranya dipisahkannya Polri dipisahkan dari TNI (tentara nasional Indonesia). Doktrin Dwifungsi ABRI dicabut yang implementasinya melepaskan peran sosial-politik TNI sehingga  militer aktif tidak lagi melibatkan diri dalam politik partisan untuk mendukung Golongan Karya.

Sementara itu  keberadaan Fraksi TNI-Polri dihilangkan dari parlemen yang selama ini menjadi jatah mereka. Dengan bergulirnya reformasi TNI  yang ditandai dengan dihapuskannya dwi fungsi TNI sejatinya bukan merupakan perubahan, tapi pemurnian peran dan wewenang TNI sesuai dengan UUD 1945.. 

Kelihatan jelas bahwa Gus Dur yang terpilih menjadi penerus Habibie  juga tak punya hubungan baik dengan militer sehingga mudah dilengserkan dari kursi kekuasaannya. Sejak awal, Gus Dur sudah menunjukkan gelagat "demiliterisasi" dengan pengangkatan Juwono Sudarsono, guru besar FISIP UI, sebagai Menteri Pertahanan negara. 

Perkara yang lebih besar adalah ketika Gus Dur memecat Wiranto dari jabatan Menko Polkam dengan alasan kejahatan kemanusiaan yang diduga telah dilakukannya. Pendukung Wiranto di TNI geram dan menolak mematuhi perintah Gus Dur sebagai orang nomor satu di Indonesia. Saat parlemen mengancamnya dengan pemakzulan, wacana darurat militer Gus Dur tak dilaksanakan TNI dan presiden keempat itu akhirnya kehilangan kursinya.

Megawati yang melanjutkan kepemimpinan Gus Dur belajar dari pendahulunya. Megawati terlihat berusaha menghindari konflik dengan militer yang telah menyebabkan Gus Dur kehilangan kursi kekuasaannya. 

Di era Megawati, militer diberikan peran lebih untuk menjalankan kiprahnya sebagai pemegang senjata. Presiden kelima Indonesia ini menerapkan darurat militer di Aceh dan membiarkan TNI melakukan operasi untuk menghentikan konflik disana. 

Padahal sebelumnya di era Gus Dur, sudah dilakukan  pendekatan damai denganjalan  diplomasi untuk penyelesaian konfliknya. Pada era Megawati pula UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI disahkan berlakunya. Dalam aturan itu termaktub perizinan bagi TNI untuk ikut dalam usaha memberantas terorisme sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP). 

Terlihat sekali kiprah Megawati menggunakan pendekatan “bersahabat” dengan tentara karena dia  tidak terlalu mengurusi internal TNI dan sebagai gantinya tidak ada konflik antara TNI dengan pemerintahannya.

Sementara itu di era  periode kepemimpinan SBY, masalah ketergantungan pada militer tidak mencuat mengingat SBY merupakan bagian dari elite TNI sehingga mempunyai hubungan dikalangan militer yang sudah terkondisi sebelumnya. SBY merasa tidak tersandera dengan posisinya karena karena dunia militer sudah merupakan “habitatnya”.

Belajar dari presiden presiden sebelumnya, Jokowi  presiden ketujuh Indonesia rupanya mengambil langkah  langkah aman dalam menjalankan agenda politiknya . Menghadapi kalangan militer,  Jokowi malah memberi lebih banyak konsesi kepada militer dan sempat mewacanakan penempatan militer di jabatan sipil pada sejumlah kementerian dan lembaga. Apakah semua itu dilakukan demi untuk menjaga kursi kekuasaannya ?. 

Simbiosis Mutualisma

Dominasi militer dalam politik menyebabkan ketergantungan pemimpin sipil terhadap para elite tentara untuk menyangga kekuasaannya. Kondisi ini rupanya juga sedang dijalani oleh presiden Indonesia yang sekarang berkuasa.

Seperti halnya pendahulunya Megawati, Jokowi memilih jalan “aman” dalam hungannya dengan kalangan militer bisa jadi untuk mengamankan kursi kekuasaannya.  Sejak awal periode pemerintahannya di periode pertama, Jokowi sudah  merangkul kalangan militer untuk menjadi penyangga kekuasannya.

Beberapa pensiunan jenderal didapuk Jokowi menjadi menterinya. Mereka yang tidak menjadi menteri pun mendapat jatah duduk di lingkaran kekuasaannya. Di awal periode pertama dulu ada Tedjo Edhy Purdijatno ditunjuk sebagai Menko Polhukam pada 2014 yang kemudian digantikan Luhut Binsar Panjaitan sebelum akhirnya Wiranto yang menggantikannya.

Selain itu ada Ryamizard Ryacudu selaku Menteri Pertahanan, Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan, A.M. Hendropriyono yang pernah menjadi tim transisi kabinet Jokowi, Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Fachrul Razi Batubara di jabatan Menteri Agama, dan Prabowo Subianto yang ditugaskan sebagai Menteri Pertahanan di periode keduanya. 

Muncul kesan bahwa Presiden Jokowi memang menyandarkan kekuasaannya pada kelompok militer untuk mengamankan kursinya.  Dengan menyandarkan kekuasaan pada militer selain bisa mempekuat konsolidasi kekuasaan juga bisa mempermudah upaya untuk memastikan adanya dukungan dari  seluruh jajaran  militer di daerah seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai kepanjangan  tangan pemerintah Pusat untuk memastikan jalannya kebijakan pusat bisa berjalan aman sesuai target yang diinginkannya. 

Di sisi lain, Jokowi bukan hanya memberi jabatan kepada purnawirawan jenderal, tapi juga memanjakan  tentara. Beberapa aturan yang dikeluarkan Jokowi terkait anggota TNI adalah Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2015 tentang gaji anggota TNI, APBN 2018 tentang kenaikan uang lauk/pauk TNI menjadi Rp 60 ribu/hari, kebijakan pembiayaan rumah bagi TNI, dan penambahan jabatan untuk 60 perwira tinggi TNI. 

Selain itu pada tahun 2021 ini  Pemerintah memastikan kenaikan tunjangan kinerja (tukin) prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebesar 80 persen  karena hal tersebut sudah tercantum dalam pagu anggaran Kementerian Pertahanan TA 2021.

Mengutip dokumen Buku III Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA/KL) Tahun Anggaran 2021, Jumat (21/8/2020), tertulis bahwa Pagu Anggaran TA 2021 Kemenhandirencanakan sebesar Rp 136,995 triliun dengan alokasi salah satunya untuk kenaikan tunjangan kinerja prajurit TNI.

Bukan hanya sampai disitu, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019, presiden membuka peluang untuk jabatan baru dilingkungan petinggi TNI yaitu posisi sebagai Wakil Panglima TNI. Meskipun posisi  tersebut sejauh ini belum di isi namun, adanya posisi jabatan baru tersebut menjadi indikasi  betapa presiden  Jokowi begitu “peduli” pada jajaran militer sebagai penopang kekuasaannya.

Dampak dari keterlibatan militer dalam keamanan politik di era Jokowi akhirnya dapat terlihat ketika berlangsung Pemilu pada 2019 yang lalu dimana sebagai penguasa tertinggi ia mengarahkan lembaga-lembaga keamanan dan penegakan hukum  untuk “bumper” dalam menghadapi lawan lawan politiknya.

Alhasil kekuatan militer telah mirip perannya dengan yang terjadi pada jaman Orba berkuasa. Sehingga batasan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah menjadi semakin kabur saja. Kebijakan-kebijakan ini mewakili upaya yang disengaja dan semakin sistematis untuk menghambat dan memperlemah oposisi sah yang penting bagi sistem demokrasi dengan menggunakan polisi dan militer sebagai instrumen kampanyenya.

Pada akhirnya fungsi militer di negara demokrasi yang seharusnya berperan sebagai kekuatan pertahanan negara telah berubah sedemikian rupa menjadi alat kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan penguasa.  Hal ini ditandai dengan “hidupnya kembali” Komando Teritorial TNI yang strukturnya mulai dari  Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), maupun Komando Rayon Militer (Koramil) hingga Babinsa di pelosok desa untuk mengamankan kepentingan penguasa.

Untuk mengoptimalkan peran mereka,  Jokowi misalnya menaikkan tunjangan Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI lebih dari 700 persen.  Bahkan ada wacana  dari Kepala Staf Kantor Presiden Jenderal TNI (Purn), Moeldoko, untuk menambah jumlah anggota Babinsa. Setiap desa, satu orang Babinsa. Saat ini seorang anggota Babinsa bertanggung jawab sampai lima desa. 

Eksistensi mereka sudah dimanfaatkan oleh Presiden untuk kepentingan kekuasaannya. Sebagai contoh pada 17/7/2018 yang lalu, Presiden pernah mengumpulkan 4.500 orang Babinsa dari seluruh Indonesia  Bandung tepatnya di Lanud Husein Sasatranegara.  Kepada para Babinsa Jokowi minta agar mereka menjelaskan kepada masyarakat bahwa isu dirinya keturunan PKI tidak benar adanya.

Jokowi juga meminta agar anggota TNI dan Polri menjelaskan keberhasilan kinerja pemerintahan kepada masyarakat  Indonesia. Hal itu disampaikan ketika memberi pengarahan kepada Siswa Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI dan Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespimti) Polri Tahun 2018 di Istana Negara (23/8/2018).

Alhasil, diakui atau tidak peran militer (baik polisi atau tentara) telah berkontribusi besar untuk terpilihnya kembali Jokowi sebagai presiden Indonesia di periode keduanya. Perpaduan antara mesin birokrasi, intelijen, Polri, dan TNI hingga struktur paling bawah militer yaitu Babinsa dan Babinkamtibmas Polri menjadi kekuatan yang sangat luar biasa untuk meraih dan mengamankan suara.Kekuatan ini tentu sangat sulit ditandingi oleh lawan politiknya.

Disinilah kita melihat adanya hubungan yang saling menguntungkan, adanya simbiosis mutualisma antara jajaran militer dengan presiden yang sedang berkuasa. Presiden merasa berkepentingan untuk “merangkul” militer untuk mengamankan kekuasaannya. Sementara militer merasa perlu untuk melibatkan diri dalam kekuasaan agar bisa mengisi jabatan jabatan yang seharusnya di isi oleh kelompok sipil pada umumnya.

Meskipun kebijakan Presiden tersebut ditentang oleh kelompok kelompok aktifis, lembaga swadaya masyarakat, pejuang pejuang masyarakat sipil, dan mahasiswa tetapi kekuatan mereka sudah jauh melemah seiring dengan tumpulnya kekuatan oposisi setelah hampir semua partai merapat menjadi aliansi penguasa.

Bayang Bayang Kebangkitan

Tuntutan untuk dicabutnya dwi fungsi ABRI menjadi  salah satu slogan yang paling banyak dikumandangkan di jalanan oleh para pemuda-mahasiswa. Sebelum Soeharto jatuh hingga periode awal reformasi,  itulah yang selalu mereka suarakan untuk direalisasikan segera . 

Tapi alih alih agenda itu terealisasikan sesuai harapan bersama, pemerintah yang berkuasa justru terkesan ingin kembali ke zaman Orba dengan berupaya menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI yang semula begitu getol tuntutan untuk penghapusannya.

Bahkan presiden yang berkuasa sekarang malah secara sadar  terkesan menarik kembali militer dalam mengisi jabatan jabatan publik yang seharusnya di isi sesuai mekanisme demokrasi yang sudah disepakati bersama. 

Apalagi dalam waktu yang tidak terlalu lama bakal ada 271 Kepala Daerah akan habis masa jabatannya sebelum gelaran Pilkada 2024. Untuk mengisi kekosongan itu, Pemerintah akan menunjuk penjabat untuk memimpin Pemerintah daerah sementara.  Jika nantinya kursi empuk itu di isi oleh unsur unsur militer maka akan semakin meneguhkan kembalinya dwi fungsi ABRI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fenomena tersebut tentu saja akan  mengganggu agenda bangsa dalam membangun demokrasi yang lebih baik untuk kepentingan generasi berikutnya. Fenomena tersebut dengan sendirinya  akan membuat kita mundur jauh ke belakang, merubuhkan tatanan kelembagaan yang sudah susah payah kita lakukan sejak reformasi yang telah mengorbankan banyak nyawa.

Padahal Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat 2  telah menyebutkan, militer aktif hanya menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung (MA).

Selain itu, rencana tersebut bertentangan dengan reformasi TNI serta dapat memicu kekecewaan publik terkait potensi bangkitnya dwifungsi ABRI. Tak hanya itu  hal itu juga kontradiktif dengan komitmen untuk menegakkan supremasi sipil yang selama ini telah menjadi komitmen bersama. 

Saat ini ditengah situasi peringatan 76 tahun usia TNI, bayang bayang kebangkitan kembali dwi fungsi TNI begitu terasa aromanya. Melemahnya kekuatan kelompok kelompok oposisi bisa menjadi jalan lapang untuk kembalinya dwi fungsi ABRI yang dulu begitu getol disuarakan mahasiswa untuk penghapusannya.  Mungkinkah indikasi untuk kembali ke era Orba yang ditandai dengan bangkitnya kembali dwi fungsi TNI akan berjalan mulus karena melemahnya kekuatan oposisi di era pemerintah yang sekarang berkuasa ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar