Menkumham Keukeuh Masukkan Pasal Penghinaan Presiden ke RKUHP

Jum'at, 01/10/2021 23:00 WIB
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiriaej. (gelora).

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiriaej. (gelora).

Jakarta, law-justice.co - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berkukuh mempertahankan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddward Omar Sharif Hiariej mengatakan pihaknya mempertahankan pasal penghinaan presiden karena ada perubahan secara prinsip, yakni dari delik biasa menjadi delik aduan.

Menurutnya, perubahan delik biasa menjadi delik aduan, akan menjadikan pasal tersebut hanya bisa digunakan oleh korban. Orang lain tak bisa memakai pasal itu untuk mengadukan pihak lain.

Artinya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden bisa dipakai jika presiden atau wakil presiden selaku korban melaporkan dugaan penghinaan tersebut.

"Kalau delik aduan ini hanya presiden atau wapres yang boleh mengadu. Ini perubahan pembagian delik ini, itu dia memberi pengaruh yang sangat prinsip terhadap penegakkan hukum," kata Eddy dalam sebuah diskusi daring, Jumat (1/10/2021).

"Jadi ini mengapa sehingga kita tetap mempertahankan pasal penghinaan terhadap presiden," ujar Eddy menambahkan.

Pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP tertuang dalam BAB II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden. Pasal 218 ayat (1) berbunyi:

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Ancaman hukuman penjara kepada pelaku bisa bertambah hingga 6 tahun jika dilakukan lewat media sosial atau media elektronik lain, berdasarkan bunyi Pasal 219.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menjelaskan pasal penghinaan presiden bertujuan untuk mempidanakan pihak-pihak yang menyerang harkat dan martabat presiden secara personal. Menurutnya, hal itu tak bisa dibiarkan.

Politkus PDIP meminta seluruh pihak juga harus dapat membedakan kritik dan penghinaan. Ia pun memastikan pasal itu tidak akan mempidanakan pihak-pihak yang mengkritik presiden.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut Presiden Joko Widodo tak ambil pusing dengan keberadaan pasal penghinaan presiden. Menurutnya, Jokowi menyerahkan pasal tersebut kepada pembahasan di parlemen.

"Jadi menurut Pak Jokowi sebagai Presiden `mau memasukkan atau tidak pasal penghinaan kepada presiden ke KUHP putusannya terserah pembahasan di legislatif`," kata Mahfud.

Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Wijayanto menyebut pasal penghinaan presiden di RKUHP merupakan warisan kolonial Belanda yang pada masanya ditujukan untuk membungkam kritik pers. Upaya menghidupkannya kembali dinilai sebagai kemunduran drastis demokrasi.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar