Film G30S/PKI Disebut Sebarkan Cerita Bohong Kejahatan di Lubang Buaya

Rabu, 29/09/2021 21:40 WIB
Film G30/PKI ( foto: tribunnews.com)

Film G30/PKI ( foto: tribunnews.com)

Jakarta, law-justice.co - Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, pemutaran film tentang Gerakan 30 September atau G30S selalu ditayangkan di Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Bahkan sejak pertama kali dirilis 1984 silam, film ini saat itu wajib ditonton oleh seluruh masyarakat.

Film yang berjudul Pengkhianatan G30S PKI ini digarap oleh sutradara Arifin C Noer. Film ini diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) dan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Gufron Dwipayana, yang memiliki kedekatan langsung dengan Presiden Soeharto.

Walaupun film yang selalu dipertontonkan sejak Orde Baru, film ini menimbulkan kontroversi. Pada 2017 lalu, Elprisdat M. Zen, Direktur Komersial dan Operasi Produksi Film Negara (PFN), menyatakan film Pengkhianatan G30S/PKI dibuat dari sudut pandang pemerintah Orde Baru. Namun, menurut dia, tidak akan ada masalah kalau cuma menayangkan film ini sebagai sebuah tontonan.

Menurut Elprisdat, film bisa dijadikan sesuatu untuk mengukur isu. Dia juga mengatakan film dapat membandingkan apa yang terjadi di masa lalu dan sekarang ini. "Kan kita tidak bisa menegasikan yang lama pasti buruk, yang baru pasti baik," ujarnya di Tempo 2017 lalu, dikutip Rabu (29/9/2021)

Film yang sempat tidak ditayangkan setelah era reformasi ini dianggap sebagai propaganda Orde Baru. “Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Menurut Amoroso, pada 2012 lalu, memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” ujarnya. Amoroso yang lahir pada 21 Oktober 1940, meninggal pada 17 April 2018 di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, Jakarta.

Pada September 2000 lalu, Tempo membuat jajak pendapat tentang pengaruh film tersebut. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.

Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun--secara politis--komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia-dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara-banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.

Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G30S/PKI itu benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal ada anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada Tempo, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.

Sejarawan Hilmar Farid-kini Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek-menyatakan film tersebut berhasil melanggengkan kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujar dia dikutip dari pemberitaan Tempo (30/9/2012) lalu.

Dengan target generasi muda, menurut dia, lewat film Pengkhianatan G30S/PKI ini Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” katanya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar