Diduga 12 Orang Uighur Masuk RI jadi Teroris & Ikut Bertempur di Poso

Rabu, 29/09/2021 18:10 WIB
Keterlibatan Uighur dalam aksi teror di Indonesia (Ist)

Keterlibatan Uighur dalam aksi teror di Indonesia (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Ancaman terorisme tak hanya datang dari dalam negeri namun juga bisa dari pihak-pihak di luar. Hal ini seperti yang diungkap Kepala Densus 88 Antiteror, Irjen Pol Marthinus Hukom.

Marthinus mengungkap ada 12 orang Uighur yang tergabung dalam foreign terrorist fighter (FTF) masuk ke Indonesia pada 2011. Menurutnya, kelompok ini telah membawa paham separatis sejak berada di China karena persoalan tidak terpenuhinya hak-hak mereka.


"Kita lihat bahwa beberapa orang Uighur masuk ke Indonesia, kurang lebih 12, sekitar tahun 2011, saya mengatakan di sini bahwa gerakan Uighur di negaranya adalah separatis, sama seperti separatis, menuntut hak hidup, politik, supaya diberlakukan sama dengan warga lain, sampai di sini kita harus menghormati hak-hak mereka," ujarnya.

Hal itu disampaikan Marthinus dalam seminar mengenai HAM dan Penanggulangan Terorisme yang diadakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme (PRIK KT) dan Revera Institute, Senin (27/9).


Marthinus menyebut, FTF Uighur saat keluar dari China sudah berhubungan dengan kelompok teroris. Awalnya, mereka ingin berjihad di Suriah, namun karena tak bisa masuk, akhirnya menuju wilayah konflik terdekat di Asia Tenggara, termasuk Poso, Indonesia. "Untuk diketahui, kelompok Uighur yang masuk ke sini tujuannya sebenarnya untuk berangkat berjihad atau berkonflik di Syiria (Suriah), namun pada saat itu kesulitan masuk ke Syiria, akhirnya mereka memilih konflik terdekat, terdekatnya mana? ya Poso, menurut mereka karena propaganda yang kuat sekali lalu mereka masuk," ungkap Marthinus.


Menurutnya, ke-12 orang FTF Uighur ini adalah pihak awal yang mencoba masuk ke Indonesia. Marthinus memastikan penangkapan terhadap 12 orang ini adalah langkah Densus 88 untuk menghentikan semakin banyaknya FTF Uighur yang masuk ke Indonesia.


"Dari informasi intelijen, kita temukan 12 orang yang masuk adalah semacam watertest, kira-kira kalau dia masuk ke sini bisa enggak orang lain ikutan masuk?" terang Marthinus.


"Nah menurut saya, penangkapan yang kita lakukan telah membantu memberhentikan orang yang akan masuk ke sini, karena informasi yang kita dapatkan kelompok Uighur yang sudah siap masuk ke Indonesia maupun Syiria itu ribuan orang yang sudah di Asia Tenggara," bebernya.


Ia kemudian menceritakan kejadian bom di Bangkok, Thailand, yang menyasar kuil yang dilakukan FTF Uighur. Dengan adanya kejadian ini, Marthinus memastikan kelompok ini sudah dikategorikan sebagai teroris. "Kita lihat contoh, setelah kita menangkap kelompok Uighur di sini atau sebelum menangkap, ada kejadian pengeboman semacam kuil di Thailand, di Bangkok, itu yang dilakukan oleh kelompok Uighur. Artinya Uighur yang masuk ke sini tidak lagi separatis tapi juga sudah teroris, dia menyerang orang-orang yang tidak bersalah," ujarnya.


Dalam seminar ini, Marthinus juga menampilkan wajah dan identitas 12 orang FTF Uighur. Mayoritas dari mereka sudah bebas pada 2016 dan 2020.

"Kita yang memutuskan menghukum mereka sebagai teroris. Lalu menjadi masalah besar kalau kita membiarkannya mereka di sini. Saya tidak akan menjelaskan detail di sini, karena kewenangan otoritas mendeportasi mereka bukan kewenangan kami. Tapi pada prinsipnya ketika kita mengembalikan mereka ke negara mereka, maka hak-hak mereka harus dihormati," pungkasnya.


Dalam seminar ini, turut dibahas topik KKB Papua. Terkait KKB Papua, Marthinus menjelaskan alasan kelompok ini dikategorikan sebagai “terorisme separatis”.


Menurutnya, KKB Papua bukan sekadar organisasi separatis yang memiliki kepercayaan/keyakinan untuk memisahkan diri dari negara. Namun juga sudah melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat yang tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain.


Dalam seminar itu juga hadir Analis Keimigrasian Ahli Utama Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Ronny Franky Sompie, sebagai pembicara. Ia memastikan Kemenkumham telah melakukan pengawasan keimigrasian terhadap WNI/WNA yang melintas masuk, termasuk pihak-pihak yang berpotensi membahayakan kedaulatan negara.


Ia menyebut Menkumham Yasonna Laoly telah membuat tim pengawasan orang asing yang tugasnya berkoordinasi di lapangan untuk pengawasan dari mulai level wilayah terkecil (desa).

Tugas dari tim ini adalah melakukan pertukaran informasi satu sama lain dan penyelesaian masalah orang asing melalui berbagai mekanisme.
Dalam konteks penanggulangan terorisme, imigrasi bekerja sama dengan BNPT dan Polri terkait pemberian informasi mengenai daftar pencarian orang (DPO).

Kemudian, Dosen Program Studi Kajian Terorisme dan Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Ali A. Wibisono, menjelaskan tujuan penanggulangan terorisme bertujuan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bukan hanya negara, tetapi juga warga negara, karena kajian terorisme masa kini telah membahas pada prioritas keamanan insani.


Menurutnya, penerapan HAM dalam kontra-terorisme adalah sesuatu yang dikembangkan secara terus menerus.

Lalu, Deputi III Kerja Sama Internasional BNPT, Andhika Chrisnayudhanto, membahas mengenai perspektif penanggulangan terorisme dan HAM dalam konteks Internasional melalui kerangka Global Counter-terrorism Strategy.

Dalam strategi ini bukan hanya HAM tapi juga nilai kemanusiaan (humaniter) menjadi penting dalam upaya kontra-terorisme karena pelanggaran HAM justru menjadi salah satu pendorong kemunculan kelompok ekstremis kekerasan.


Dalam menyikapi kasus Uighur dan KKB Papua, Andhika melihat kembali respons dan temuan PBB, China terlihat dalam rangka diplomasi untuk memperoleh dukungan dari 50 negara berkembang, sedangkan 22 negara maju menyatakan terdapat human right abuses di Xinjiang.


Hal ini memperlihatkan bahwa ada agenda negara maju terhadap isu Uighur di Xinjiang. Namun tentu perlu kajian dan tergantung undang-undang keamanan nasional yang berlaku di China dalam melihat kasus Uighur, apakah dikategorikan sebagai gerakan separatis, ekstremisme, atau terorisme.

 

 

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar