Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Dibalik Isu Kebangkitan PKI, Ada Bahaya Nyata Terpampang di Depan Mata

Rabu, 29/09/2021 14:18 WIB
Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Jakarta, law-justice.co - Setiap tahun ketika memasuki bulan September,  isu tentang kebangkitan PKI selalu ramai jadi pembicaraan di sosial media. Mereka sering mengatakan neo PKI  sudah menguasai pemerintahan yang sekarang berkuasa. Neo PKI sudah bersiap siap mau menggantikan dasar negara kita Pancasila. Neo PKI telah menabuh genderang perang terhadap penganut agama khususnya agama islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan sebagainya.

Seiring dengan berjalannya waktu, isu itu biasanya akan reda dengan sendirinya  pasca bulan September setelah peringatan hari kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober setiap tahunnya. Tapi yang membuat aneh dan menimbulkan tanda tanya adalah munculnya peristiwa peristiwa yang mengiringi jelang peringatan hari kesaktian Pancasila. Terjadinya peristiwa itu selalu dikait kaitkan dengan partai komunis Indonesia.

Peristiwa-peristiwa apakah kiranya yang terjadi di tahun ini jelang peringatan hari kesaktian Pancasila ?, Mengapa peristiwa peristiwa itu selalu dihubungkan dengan eksistensi partai komunis Indonesia ?, Kini masih urgenkah mempercayai PKI bakal bangkit kembali di Indonesia ?.Dibalik isu kebangkitan neo PKI ada bahaya nyata yang sesungguhnya sedang mengerogoti bangsa Indonesia tapi bahaya itu terkesan diabaikan eksistensinya.Bahaya apakah itu kiranya ?

Rangkaian Peristiwa

Selama bulan september tahun ini telah terjadi rangkaian peristiwa yang membuat onar dan diduga pelakunya terkait dengan anasir anasir neo partai komunis Indonesia.  Sebagai contoh pada hari sabtu dinihari tanggal 25 september 2021 telah terjadi aksi pembakaran mimbar mesjid raya Makassar tepatnya di Bontoala. 

Dikutip oleh media, tgl  26/9/21, mimbar masjid  itu dibakar oleh orang tak dikenal sehingga menyebabkan bagian belakang mimbar  hangus t termasuk mushaf Alquran yang ada disana. Pelaku dikabarkan  melarikan diri dengan melompat pagar masjid  namun  berhasil diringkus oleh aparat yang mengejarnya. Saat ini kepolisian dikabarkan masih menginterogasi dan mendalami motif serta identitas pelakunya. 

Seminggu sebelumnya tepatnya tanggal 18 september 2021 juga telah  terjadi peristiwa yang menggenaskan karena menimbulkan korban jiwa.  Dilansir r dari Kabar Banten, pada hari Sabtu petang 18 September 2021 sekitar pukul 18.30 WIB, seorang ustaz bernama Marwan alias Alex ditembak oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Sang ustadz ditembak  sepulang dari Salat Magrib di Jalan Gempol, Kelurahan Cipete, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang tak jauh dari kediamannya. Akibat tembakan itu korban pun terluka dan dilarikan ke rumah sakit namun tak tertolong jiwanya.

Aksi penyerangan  di ujung bulan September ini juga terjadi di Medan Sumatera Utara.  Diberitakan telinga seorang muazin di Medan yang bernama  M Syawal, nyaris putus usai  disayat oleh seorang jemaahnya.Peristiwa tersebut  terjadi di area Masjid Raudhatul Islam, Medan Barat, usai salat Magrib pada Senin (20/9/21). 

Rangkaian peristiwa penyerangan tersebut segera di hubung hubungkan dengan adanya kebangkitan neo PKI yang sedang melancarkan aksi terornya. Entah suatu kebetulan atau tidak yang jelas peritiwa seperti itu hampir selalu muncul setiap tahunnya menjelang peringatan hari kesaktian Pancasila.

Tertanya bukan hanya lewat terjadinya rangkaian peristiwa tersebut diatas, aroma kebangkitan neo PKI kembali mengemuka setelah muncul pernyataan dari mantan panglima TNI Gatot Normantyo yang sekarang menjadi tokoh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

Mantan Panglima TNI tersebut menuding bahwa komunisme telah menyusup ke tubuh TNI dengan hilangnya patung Soeharto dkk di Markas Kostrad.Sejumlah barang yang dihilangkan, menurut Gatot, berada di Museum Dharma Bakti dimana barang-barang itu berkaitan dengan penumpasan komunisme di Indonesia. Beberapa yang dihilangkan di antaranya  patung Soeharto, Sarwo Edhie, dan AH Nasution beserta tujuh pahlawan revolusi yang semuanya dalam bentuk diorama.

Hal tersebut  disampaikan Gatot dalam webinar bertajuk ‘TNI vs PKI’ pada Minggu, 26 September 2021.“Saya mendapat informasi walau bagaimanapun saya mantan Pangkostrad baru akhir-akhir ini disampaikan bahwa diorama bukan hanya patung Pak Harto, patung Pak Sarwo Edhie, sama Pak Nasution tapi juga tujuh pahlawan revolusi sudah tidak ada di sana, dan khusus di ruangan Pak Harto mencerminkan penumpasan pemberontakan G30SPKI dikendalikan oleh Pak Harto di markasnya,” jelasnya seperti dikutip media.

Rangkaian peristiwa  penyerangan terhadap tokoh tokoh agama menyusul pernyataan dari mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo seakan akan memang menguatkan adanya dugaan bangkitnya kekuatan partai komunis di Indonesia yang sekarang diduga telah menyusup kejantung kekuasaan sehingga mampu menjalankan misi terselubungnya. Apakah memang benar demikian faktanya ? Atau jangan jangan semua memang hanya kebetulan belaka ? Tapi kalau memang kebetulan mengapa peristiwa seperti itu hampir selalu berulang setiap tahunnya? Ada agenda apa  dan oleh siapa dibalik itu semua ?

Stigma PKI

Rangkaian peristiwa yang terjadi jelang peringatan hari kesaktian Pancasila seolah olah suda menjadi agenda tahunan dengan menjadikan umat islam sebagai korbannya dan dugaan anasir anasir neo PKI sebagai pelakunya. 

Stigma neo PKI sebagai pelakunya dinilai wajar jika kita mengingat kembali peristiwa masa lalu dimana PKI memang hampir selalu bikin onar dan kegaduhan sebagai salah satu modus operandinya. Pada akhirnya ketika muncul cara cara serupa, tuduhan langsung dialamatkan kepada neo PKI sebagai pelakunya.  Sebagai contoh ketika terjadi peristiwa penembakan terhadap seorang Ustadz di Tangerang, anggota DPR RI dari Gerindra Fadli Zon turut berduka cita sedalam-dalamnya sembari mengaitkan peristiwa itu dengan partai komunis Indonesia.

"Innalillahi wainnailaihi raajiun. Turut berduka cita sedalam2nya, semoga Allahyarham Ustadz korban penembakan diberi tempat terbaik di sisi Allah SWT. Teror ini mengingatkan kita spt aksi2 sepihak PKI jelang G30S/PKI 1965" ujar akun @fadlizon, dilansir ZONABANTEN.com pada hari Minggu, 19 September 2021.

Dugaan adanya  anasir neo PKI  yang bermain dibalik peristiwa peristiwa tersebut wajar wajar saja mengingat pada masa lalu cara cara teror dan kekerasan itulah yang sering dimainkan oleh PKI dan gerombolannya. 

Tercatat dalam sejarah sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1967, PKI telah berulangkali melancarkan aksi kejamnya  dengan korban jiwa yang luar biasa banyaknya. Pada kurun waktu itu,  banyak aksi sepihak PKI yang ditujukan kepada lawan politk, tokoh agama, dan orang-orang sipil yang  tak berdosa. 

Rangkaian peristiwa kekejaman yang dipamerkan oleh kelompok PKI sejak tahun 1945 itu kebanyakan terjadi di pulau Jawa diantaranya adalah :

  1. Tanggal 8 Oktober 1945 : Gerakan Bawah Tanah PKI membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Selanjutnya pada medio Oktober 1945 , AMRI di Slawi  dibawah pimpinan Sakirman dan AMRI Talang pimpinan Kutil menteror, menangkap sejumlah pejabat pemerintah di Tegal kemudian membunuhnya.
  2. Tanggal 17 Oktober 1945 : Tokoh Komunis Banten Ce’ Mamat yang terpilih sebagai Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) membentuk DPRS (Dewan Pemerintahan Rakyat Serang) dan merebut pemerintahan Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massanya. Selanjutnya tanggal 9 Desember 1945 : PKI Banten pimpinan Ce’ Mamat menculik Bupati Lebak, R. Hardiwinangun, di Jembatan Sungai Cimancak kemudian membunuhnya.
  3. Tanggal 3 – 9 Maret 1946 : PKI Langkat – Sumatera di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan dengan gerakan massa atas nama revolusi sosial menyerbu Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura dan membunuh Sultan bersama keluarganya serta menjarah harta kekayaannya.
  4. Tanggal 10 September 1948 : Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Kedunggalar – Ngawi dan dibunuh, serta jenazahnya dibuang di dalam hutan dekat sungai kecil yang megalir  disana.
  5. Medio September 1948 : Dr. Moewardi yang bertugas di Rumah Sakit Solo dan sering menentang PKI diculik dan dibunuh oleh PKI, begitu juga Kol. Marhadi diculik dan dibunuh oleh PKI di Madiun, kini namanya jadi nama Monumen di alun-alun Kota Madiun sebagai peringatan bagi generasi berikutnya.
  6. Tanggal 17 September 1948 : PKI menculik para Kyai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Di sumur tersebut ditemukan 108 (seratus delapan) kerangka jenazah yang menjadi korbannya. Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng sampai sampai diceritakan genangan darah hingga setinggi betis orang dewasa.
  7. Tanggal 20 September 1948 : PKI Madiun menangkap 17  orang tokoh pemerintahan dan tokoh agama kemudian  menyiksa serta membantainya. Peristiwa ini terjadi di Desa Kresek Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun yang kemudian diabadikan dalam bentuk pembuatan monument disana.
  8. Tanggal 21 September 1948 : PKI Blitar menculik dan menyembelih Bupati Blora Mr. Iskandar dan Camat Margorojo – Pati Oetoro, bersama tiga orang lainnya yaitu Dr.Susanto, Abu Umar dan Gunandar, lalu jenazahnya dibuang ke sumur di Dukuh Pohrendeng Desa Kedungringin Kecamatan Tujungan Kabupaten Blora.
  9. Tanggal 13 Januari 1965 : Dua sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) menyerang dan menyiksa peserta Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan Kras Kabupaten Kediri, sekaligus melecehkan pelajar wanitanya, dan juga merampas sejumlah Mush-haf Al-Qur’an dan merobek serta menginjak-injaknya.
  10. Tanggal 14 Mei 1965 : Tiga sayap organisasi PKI yaitu PR, BTI dan GERWANI merebut perkebunan negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, dengan menangkap dan menyiksa serta membunuh Pelda Sodjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) 
  11. Tanggal 30 September 1965 Malam : Terjadi Gerakan G30S / PKI atau disebut juga GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) : Dalam peristiwa ini PKI menculik dan membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan membuang mayatnya ke dalam sumur di LUBANG BUAYA – Halim, mereka adalah : Jenderal Ahmad Yani, Letjen R.Suprapto, Letjen MT Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Panjaitan dan Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. PKI juga menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution serta membunu AIP KS Tubun seorang Ajun Inspektur Polisi yang sedang bertugas menjaga rumah kediaman Wakil PM Dr. J. Leimena.PKI juga menembak putri bungsu Jenderal AH Nasution yang baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yang berusaha menjadi perisai ayahandanya dari tembakan PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhirnya wafat pada tanggal 6 Oktober 1965.
  12. Tanggal 1 Oktober 1965 : PKI di Yogyakarta juga membunuh Brigjen Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono.Pembunuhan yang terjadi di Yogyakarta ini seolah olah melengkapi kekejaman PKI di Jakarta yang telah membantai tujuh jenderal yang dikubur di lubang buaya. 
  13. Tanggal 18 Oktober 1965 : PKI menyamar sebagai Anshor Desa Karangasem (kini Desa Yosomulyo) Kecamatan Gambiran, lalu mengundang Anshor Kecamatan Muncar untuk pengajian. Saat Pemuda Anshor Muncar datang, mereka disambut oleh Gerwani yang menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni, setelah keracunan mereka dibantai oleh PKI dan jenazahnya dibuang ke Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa / Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Sebanyak 62 (enam puluh dua) orang Pemuda Anshor yang dibantai, dan ada beberapa pemuda yang selamat dan melarikan diri, sehingga menjadi saksi mata peristiwa. Persitiwa tragis itu disebut Tragedi Cemetuk, dan kini oleh masyarakat secara swadaya dibangun Monumen Pancasila Jaya.

Sepertinya rangkaian kekejaman yang telah dilakukan PKI pada masa lalu itulah yang kemudian memunculkan stigma buruk bagi PKI ketika terjadi kekerasan dan pembunuhan yang terjadi saat ini menjelang peringatan hari kesaktian Pancasila.  Sebabnya target atau sasaran serangan selalu sama yaitu  para tokoh agama yaitu ustadz dan kyai sama kasusnya ketika PKI masih merajalela di Indonesia sejak tahun 1948 sampai dengan tahun 1965.

Hantu PKI

Kalau kita simak sejarah, sejak dibentuk pada tanggal 21 Oktober 1945, PKI terus bangkit dan berkembang pesat melalui politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Diantaranya dengan aksi kekerasan, adudomba, penculikan dan pembunuhan pembunuhan Ulama dan Umara.

Sejak lahirnya  PKI , mereka biasanya selalu  mengeksploitasi buruh dan petani dalam sepak terjangnya untuk mencapai tujuan-tujuan politik komunismenya. Pada zaman Orde Lama, PKI punya pengaruh kuat terhadap Presiden Soekarno hingga berhasil menekan Presiden membubarkan musuh-musuhnya seperti Partai Masyumi, Ormas GPII dan Partai Murba.

PKI berhasil merekrut para perwira TNI yang berhaluan kiri dari berbagai angkatan untuk mengadu-domba mereka, serta membentuk pasukan khusus untuk melakukan teror dan pembunuhan, seperti Pasukan Cakrabirawa saat menculik dan membunuh para Jenderal Pahlawan Revolusi yang kemudian dibuang di lubang buaya.Puncaknya telah terjadinya pemberontakan PKI tahun 1948 dan tahun 1965 sebagai  bukti autentik tentang pengkhianatan PKI terhadap Bangsa dan rakyat serta Negara Indonesia.

Oleh karena itu meskipun secara sah PKI telah dinyatakan sebagai ormas terlarang, namun gerak gerik mereka tetap harus diwaspadai karena PKI jaman now tentu lebih “licin” dari pendahulunya.  Untuk mengenal PKI  dan gerombolanny tentunya tidak cukup hanya  dengan mempelajari sejarah  dan Simbol Palu Aritnya tetapi harus perilaku hidupnya, sikap kebangsaan, sikap terhadap Pancasila, cara berpolitiknya, dan berpikir multitafsir sebagai pengingkaran terhadap Pancasila dan UUD 1945 serta nasionalisme Bangsa Indonesia.

Cara berpolitik PKI sangat halus dan sulit diterka. PKI diyakini tidak pernah PKI berani menampilkan wujud aslinya atau identitas aslinya tetapi dikemas dan dikamuflasekan  dengan berbagai cara. Cara yang paling umum adalah mereka selalu ingin mempertentangkan ajaran agama dengan Pancasila. Berusaha membentur benturkan seolah olah mereka yang fanatic menjalankan ajaran agamanya sebagai musuh Pancasila.

Karena itu meskipun sebagian orang berpandangan  dan menganggap PKI sudah menjadi masa lalu dan tinggal cerita saja tapi sebagai bangsa yang pernah mengalami masa masa  kelam dimasa lalu akibat ulah PKI, kewaspadaan harus tetap ada.  Siapa tahu mereka kini telah menjelma menjadi neo PKI yang memiliki modus dan cara lebih canggih untuk mengkhianati bangsa dan rakyat Indonesia.Sebuah upaya kewaspadaan yang kiranya sangat wajar sebagai antisipasi supaya peristiwa kelam dimasa lalu itu tidak terulang kembali di era pemerintah yang sekarang berkuasa. 

Bahaya Sesungguhnya

Meskipun  neo pki perlu tetap harus diwaspadai kebangkitannya, namun sebenarnya ada bahaya lain yang sudah terhidang didepan mata. Sayangnya bahaya itu seperti diangap sebagai bukan bahaya karena mungkin sudah terlanjur  dianggap biasa dan akhirnya malah ikut menikmatinya. Seperti orang yang diperkosa dimana seharusnya melawan tapi yang terjadi justru ikut menikmatinya. Bahaya apakah itu kiranya ?

Bahaya yang dimaksudkan itu adalah berjangkitnya virus neoliberalisme yang sesungguhnya bertentantangan dengan Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 33.  Sebenarnya virus ini sudah lama menjangkiti bangsa kita  yaitu sejak pemerintah orde baru (orba) berkuasa tetapi sepertinya sengaja  “dipelihara”.

Akibat mewabahnya virus neoliberalisme itu sangat merugikan rakyat Indonesia meskipun sebagian elit di untungkannya. Adapun dampak yang terjadi dari adanya virus itu diantaranya adalah dikuasainya sektor sektor strategis  (sektor umum) yang semestinya dikuasai oleh negara dikuasai oleh sektor  swasta. 

Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.

Sebagai contoh pada masa Orba, di bidang kehutanan,dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan  yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia.Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orba rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. 

Dari hasil  tersebut yang masuk ke dalam kas negara hanya 17% saja , sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH .Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. 

Di sektor  perminyakan, pada zaman Orba, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah Pertamina dan sebagian kecil swasta nasional lainnya.

Jika Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0%. Dengan dicabutnya subsidi dapat dipastikan bahwa  BBM bakal naik lagi harganya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi terbesar kedua setelah minyak.  Jika minyak memasok 34% dan batubara 23,5% kebutuhan energi dunia.Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta dengan sendirinya sektor swastalah yang paling banyak menikmatinya baik swasta dalam negeri maupun mancanegara

Di sektor pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi tambang yang luar biasa. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis di berbagai wilayah di Indonesia ada potensi emasnya. Itulah investor luar berbondong bondong datang untuk menguras emas dari negara kita. Perusahaan yang mengawalinya adalah PT Freeport Indonesia. 

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk FI, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, dan sebagainya. Pengaplingan ini  menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing di negara kita.

Karena potensi sumberdaya alam yang vital dikuasai oleh pihak swasta khususnya swasta dari mancanegara maka pemasukan untuk kas negara tidak seberapa besarnya. Cukup hanya dapat royalti saja plus keuntungan adanya penyerapan tenaga kerja. Sisanya pihak swastalah yang menikmatinya. Pada hal kerusakan alam yang ditimbulkan sangat luar biasa tidak sebanding dengan manfaat yang didapatnya.

Selain obyek obyek vital yang dikuasai swasta, dampak dari neoliberal adalah terjerat Indonesia oleh hutang luar negeri yang begitu besarnya. Itu terjadi karena  sebagai konsekuensi dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. 

Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada masa Orba ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok mata. Pada tahun 1993 misalnya, omset dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya di antaranya Om Liem (SalimGroup), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia .

Di sisi lain, jumlah penduduk miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data BPS 1994, dengan garis kemiskinan Rp 500 per hari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2 juta di kota dan 26 juta di desa).

Terjadinya reformasi tahun 1998 yang melahirkan era baru diharapkan akan menjadikan Indonesia menjadi negara yang “lebih merdeka”. Tapi ternyata kondisinya tidak jauh berbeda dari era sebelumnya.  Bahkan dalam beberapa hal menjadi lebih mengkhawatirkan dari era Orba. 

Fenomena yang paling mencolok pada era reformasi  sekarang ini adalah terjadinya kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal untuk menguasai negara . Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah dalam pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang kaya ketimbang untuk kepentingan mayoritas rakyatnya. 

Negara akhirnya dikuasai oleh kaum pemilik modal yang ingin mempertahankan kekayaan melalui upayanya menguasai negara. Mereka adalah  sekelompok orang yang terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik untuk mempertahankan kekayaannya dari `gangguan` masyarakat dan negara. Mereka dikenal sebagai kelompok oligarkhi yaitu   sekempok orang dari kalangan pengusaha yang melindungi kepentingan bisnisnya melalui serangkaian kebijakan, peraturan perundang-undangan bahkan militer untuk pengamanannya. 

Maka terjalinlah hubungan yang saling menguntungksan alias simbiosis mutualisma. Ongkos politik yang mahal mendorong politisi dan partai politik untuk mencari sokongan dana operasional partainya.Demikian pula sebaliknya, para pemodal bersedia mengongkosi politisi dan partai politik dengan harapan kalau mereka berkuasa bisa menjadi beking untuk mengamankan usahanya.

Dalam beberapa kasus, para oligark bersedia menjadi penyokong dana pemilihan pejabat negara. Akan tetapi dengan imbalan memudahkan kepentingan oligark di permerintahan jika terpilih nantinya. Sehingga oligark hanya berperan dibalik layar tapi sangat besar kekuasaannya. 

Namun belakangan  ini kaum oligark mulai terang-terangan menunjukkan dirinya bahkan menjadi nakhoda. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang merangkap sebagai pengusaha. Baik itu sebagai jajaran direksi maupun pemilik saham diperusahannya. Sebut saja pengusaha Batu Bara yang menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang sering dianggap sebagai presiden yang sesungguhnya. 

Kini kaum oligarkhi itu sudah menjadi penguasa partai, sudah menguasai media massa bahkan banyak juga menguasai tokoh tokoh nasional yang memiliki pendukung berjuta juta.  Kuasa uang dan modal rupanya telah merubah segalanya sehingga bisa menentukan merah hijaunya perjalanan suatu negara. 

Bahaya nyata itu sebenarnya sudah banyak diketahui  oleh para elite bangsa kita tetapi sepertinya cukup dimaklumi saja. Pada hal jelas jelas bertentangan dengan nilai nilai Pancasila terutama sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Kalau sudah begitu jangan jangan isu kebangkitan PKI yang selalu muncul setiap tahunnya itu memang sengaja ditiupkan untuk melupakan rakyat pada ancaman bangsa yang sesungguhnya.  Apakah memang demikian faktanya ?. Bagaimana menurut Anda ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar