Analisis Hukum Banjir Kasus PKPU & Pailit di Pengadilan, Siapa Untung?

Senin, 11/10/2021 13:22 WIB
Revisi UU Kepailitan/Bankruptcy Law (ilustrasi: Rapsey Griffiths)

Revisi UU Kepailitan/Bankruptcy Law (ilustrasi: Rapsey Griffiths)

Jakarta, law-justice.co - Merebaknya kasus penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan pailit di Pengadilan Niaga (PN) sejak krisis ekonomi pasca wabah corona, membuat sibuk para hakim dan panitera pengadilan. Para pengacara pun ketiban rejeki dari jasa bantuan advokasi hukum mendampingi kliennya di pengadilan.

Krisis yang berkelanjutan membuat sejumlah perusahaan tutup dan mem-phk karyawannya. Akibatnya perusahaan gagal membayar kewajibannya kepada pihak ketiga. Tak ada pilihan lain kasusnya harus dibawa ke meja hijau dan bersiap menunggu vonis palu hakim.

Menariknya, fenomena lonjakan permohonan kasus pailit dan PKPU, tidak hanya di Jakarta. Lonjakan perkara juga terjadi di berbagai wilayah. Di PN Semarang, jumlah permohonan perdata khusus mencapai 56 perkara, PN Medan mencapai 47 perkara, lalu PN Surabaya 10 kasus dan PN Makassar ada 9 berkas perkara.  

Beda PKPU dan Kepailitan

Menurut pasal 1 angka 1 UU no 37 tahun 2002 tentang UU Kepailitan, esensi kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Sedangkan, PKPU sendiri tidak diberikan definisi oleh UU Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai PKPU dalam UU Kepailitan dapat dilihat bahwa PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 UU Kepailitan jo. Pasal 228 ayat [5] UU Kepailitan).

Adapun yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang (Suspension of Payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.

Dalam hal terdapat permohonan PKPU dan kepailitan diajukan bersamaan, maka permohonan PKPU didahulukan daripada kepailitan (Pasal 229 ayat [3] dan ayat [4] UU Kepailitan). Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.
 
Kesimpulannya dalam kepailitan, harta debitur akan digunakan untuk membayar semua utang-utangnya yang sudah dicocokkan, sedangkan dalam PKPU, harta debitur akan dikelola sehingga menghasilkan dan dapat digunakan untuk membayar utang-utang debitur.
 
Mafia Kepailitan
 
Munculnya berbagai gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan pailit terhadap perusahaan nasional, disinyalir dilakukan oleh oknum mafia dan sindikat pailit. Hal ini tidak hanya terjadi di industri keuangan dan manufaktur, tetapi juga terjadi di industri properti yang saat ini masih berjuang di tengah pandemi Covid-19.

Dugaan permainan mafia pailit yang terjadi akhir-akhir ini, sebelumnya sempat ramai terjadi pada tahun 2012 dan 2014. Tentu ini sangat berbahaya bagi perekonomian Indonesia yang sedang beranjak pulih jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas.

 

 

Kelonggaran dalam undang-undang juga menjadi salah satu faktor kembali ramainya kasus kepailitan tersebut. Padahal industri properti mulai menunjukan performanya dengan memimpin sebagai industri dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi cukup dalam yakni 1,26% di sesi I perdagangan pada awqal tahun 2021.

 

Untuk mencegah praktik mafia di hukum kepailitan, praktisi hukum meminta agar ada perubahan mendasar dalam UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Saat ini tak ada pembatasan batas minimum utang yang bisa diajukan gugatan pailit. Diharapkan ada batasan, kalau tidak utang kecil pun bisa mengajukan pailit. Selain itu ada aturan mengenai tes insolvensi dalam sebelum gugatan PKPU dan Pailit diterima dan disidangkan. Tes insolvensi adalah sebuah tes untuk mengukur ketidakmampuan gagal bayar dari perusahaan.

Bila perusahaan yang digugat pailit memiliki kemampuan bayar dan keuangan yang baik, maka hakim bisa menolak gugatan pailit dan PKPU tersebut. Tapi bila perusahaan going concern, laporan keuangan baik-baik saja dan masih solven, maka utangnya tinggal bayar saja. Tak perlu ada gugatan PKPU atau Pailit.

Salah satu modus pailit dalam bisnis properti yang terjadi adalah oknum developer properti mempailitkan perusahaannya sendiri. Namun, bukan hanya modus sebagai developer, oknum ini bisa juga menyamar sebagai konsumen dan bersindikat lengkap dengan pemodal untuk melakukan take over proyek properti yang diincar.

Untuk menghindari hal itu, kalau ada sepakat untuk tidak saling menuntut pailit, seseorang mau menyamar pailit tidak bisa, developer juga tidak bisa. Kalau oknum developer mempailitkan diri sendiri ini ada perjanjiannya prosesnya pasti susah, apalagi kalau developer besar kayaknya tidak mungkin satu project mau dikorbankan.

 

 

Tidak ada developer yang mempailitkan dirinya sendiri. karena developer properti butuh kepercayaan untuk menjual proyeknya. Bila ada developer mempailitkan dirinya, maka itu sebenarnya adalah maling yang menyamar sebagai developer.

Berbagai Modus Pailit
 
Menurut data Asosiasi Pengusaha Indonesia (API) mengklaim ada sebanyak 1.289 permohonan PKPU dan Pailit dalam tiga semester terakhir. Terhitung hingga akhir Agustus 2021.  Adapun dari ribuan perkara ini, terdapat 22 perkara yang diajukan oleh perbankan dan lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

Sementara itu, pemohon lainnya berasal dari pemasok, rekan bisnis, bahkan kreditor yang berasal dari perusahaannya sendiri. Perinciannya 21 perkara permohonan sepanjang tahun berjalan dan satu lainnya carry over tahun lalu. 

Di tengah kondisi yang serba sulit, perusahaan atau pihak yang sedang terdampak pandemi justru panen gugatan pailit dan PKPU. Mereka seolah terjebak dalam pilihan bayar utang atau dipailitkan.

Para pengusaha menuding gugatan pailit dan PKPU yang melonjak signifikan adalah cara kreditur untuk `memaksa` debiturnya membayar tunggakan utang. Namun tak semua dugaan itu benar. Pasalnya dalam beberapa kasus, PKPU justru jadi ‘modus’ beberapa perusahaan untuk berkelit dari kewajiban utang. Hal ini jelas peluang untuk memanfaatkan celah hukum dari UU Kepailitan.

Ada beberapa modus yang dilakukan perseroan untuk melakukan PKPU atas dirinya sendiri. Modus itu biasanya dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga, bisa seorang pegawai, anggota keluarga, atau korporasi baik yang langsung maupun tidak langsung memiliki afiliasi dengan termohon PKPU.

Skemanya, pihak terafiliasi itu mengajukan PKPU terhadap termohon. Permohonan itu kemudian dikabulkan oleh pengadilan. Termohon praktis menyandang status PKPU. Dengan demikian, segala bentuk penagihan utang atau cicilan pembiayaan dari kreditur lain atau non pemohon PKPU praktis akan berhenti. 

Praktik itu lazim, karena undang-undang memberikan banyak proteksi bagi perseroan atau pihak yang telah menyandang status PKPU. Dalam Pasal 242 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, misalnya, dijelaskan bahwa suatu pihak yang sedang dalam status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) tidak dapat dipaksa membayar utang.

Itu artinya, semua tindakan eksekusi maupun penagihan utang yang telah dilakukan oleh kreditur lain harus ditangguhkan. Dengan demikian, perseroan hanya fokus untuk melunasi atau menegosiasikan utang kepada kreditur pemohon PKPU, tanpa takut ditagih dan asetnya disita oleh kreditur lainnya.

Revisi UU Kepailitan

Lonjakan permohonan kasus PKPU dan pailit memperlihatkan adanya celah dalam materi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang berlaku saat ini. UU Kepailitan dan PKPU yang berlaku masih sangat umum dan sederhana, karena tidak mengatur threshold atau ambang batas nilai utang yang di PKPU-kan. 

Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU, misalnya, hanya mengatur pengajuan PKPU dapat dilakukan jika kreditur memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Tak ada angka pasti, berapa baseline yang dijadikan syarat bagi pihak, baik individu maupun korporasi, untuk mengajukan PKPU. Akibatnya, setiap pihak yang dianggap terikat dengan perjanjian utang piutang dengan suatu perseroan begitu mudah mengajukan PKPU ke pengadilan. 

 

Selain masalah ambang batas, masalah lain yang perlu menjadi sorotan serius adalah kerancuan mengenai pihak yang berhak mengajukan PKPU. Rezim PKPU existing mengatur bahwa pihak yang berhak mengajukan PKPU adalah debitur dan kreditur. Padahal, best practice yang berlaku di sejumlah negara, pengajuan PKPU atau moratorium pembayaran utang seharusnya menjadi hak debitur. Bukan kreditur.

Memang terdapat sejumlah celah hukum dari UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang memberi kemudahan pemohon untuk mempailitkan perusahaan termohon. 

UU Kepailitan adalah terkait upaya hukum yang dilakukan debitur yang dinyatakan pailit. Sebab dalam UU sekarang disebutkan debitur yang dinyatakan pailit bisa mengajukan banding atau kasasi bersamaan dengan upaya perdamaian.

Dalam revisi UU Kepailitan, usulnya tidak bisa dilakukan bersamaan, kalau debitur mau banding atau kasasi silakan, tetapi upaya perdamaian tidak perlu dilakukan lagi. Harus dibuat pilihan agar bisa memberikan kepastian hukum bagi kurator.

Selain itu juga adanya pasal dalam UU Kepailitan yang tidak bisa dijalankan. Contohnya, Pasal 97 UU Kepailitan yang menyatakan kurator bisa mengajukan penahanan terhadap debitur yang tidak kooperatif.

Pasal ini tidak bisa digunakan selama ini karena dari kejaksaan sendiri masih bingung menerapkan pasal tersebut. Setidaknya upaya penahanan itu agar debitur bisa kooperatif menyampaikan di mana saja aset-asetnya, kepada siapa-siapa utangnya sehingga proses pembagian itu berjalan sangat lancar.

Selain itu tingkat recovery rate atau pengembalian utang oleh debitur melalui mekanisme kepailitan nilainya sangat rendah, yaitu diperkirakan hanya berkisar pada 10 persen – 20 persen, karena tidak diatur secara tegas dalam UU Kepailitan.

Dalam hukum acara kepailitan masih adanya ketidakkonsistenan putusan hakim dalam menangani kasus-kasus kepailitan, baik putusan pada Hakim Pengadilan Niaga maupun hakim pada tingkat pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali.

Meskipun Undang-undang Kepailitan sudah mengatur time frame yang ketat untuk menyelesaikan kasus kepailitan, namun ternyata penyelesaiannya ternyata terasa bertele-tele. Karena hampir bisa dipastikan bahwa pihak-pihak yang dipailitkan akan mengajukan banding ke tingkat kasasi atau peninjaun kembali. Kenyataan ini menambah panjang proses peradilan kasus kepailitan.

Sehingga muncul kesan proses banding hanyalah upaya pengelakan dari pihak debitur yang dipailitkan. Kreditur yang ditolak permohonan kepailitannyapun, dapat juga mengajukan kasasi dan peninjauan kembali. Meskipun pengajuan kasasi dan peninjauan kembali tersebut merupakan hak debitur atau kreditur, namun apabila semua perkara kepailitan diajukan sampai tingkat peninjauan kembali, maka kesan bertele-tele menjadi keniscayaan.

UU kepailitan hasil revisi harus memuat secara jelas tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, prosedur permohonan kepailitan, penundaan kewajiban pembayaran utang, jangka waktu yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan, reorganisasi perusahaan dan lain-lain.

Badan Legislasi DPR sebagai pintu masuk untuk merevisi UU Kepailitan harus pro aktif menyisir daftar inventarisasi masalah (DIM) yang ada dalam naskah akademis revisi UU tersebut. DIM ini harus dibuka kepada publik agar bisa dikaji bersama dan memenuhi asas prinsip yang adil bagi semua stakeholder yang terkait dengan masalah kepailitan.

Sebelumnya Asosiasi Pengusaha mendorong pemerintah untuk menerbitkan Perppu Moratorium UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sampai dilakukannya amandemen terhadap undang undang tersebut. Namun jangan sampai ditunggangi oleh debitur yang memiliki itikad tidak baik untuk menghindari kewajiban pembayaran utang di tengah pandemi belakangan ini.

Adanya payung hukum yang kuat dan dapat melindungi kepentingan berbagai pihak, dari pengusaha, pemodal, dan pembelinya, tentu dapat menghadirkan iklim ekonomi yang ideal di setiap industri. Pemulihan ekonomi nasional pun bisa berjalan dengan baik dan mafia yang selama ini memanfaatkan celah kelemahan UU Kepailitan pun bisa dibungkam.

(Editor\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar