Strategi Jitu RI ini Bisa Imbangi Ancaman Kekuatan AUKUS di Natuna

Selasa, 21/09/2021 21:45 WIB
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana. (indonews)

Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana. (indonews)

Jakarta, law-justice.co - Dibentuknya aliansi trilateral AUKUS oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia menyebabkan kekhawatiran komunitas internasional. Sebab, dengan pembentukan AUKUS, Australia akan mengembangkan hingga delapan kapal selam nuklir.

Kementerian Luar Negeri RI sebelumnya telah menyatakan keprihatinan soal pengembangan kapal selam bertenaga nuklir ini. Menurutnya, setiap negara di dunia wajib menaati perjanjian kepemilikan dan pengembangan nuklir.


Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengungkapkan hal yang senada. Ia berpendapat, kepemilikan nuklir oleh Australia patut ditentang oleh RI, meskipun hal itu adalah kedaulatan Australia.


Ia pun memaparkan strategi yang bisa dilakukan RI dalam menentang rencana Australia tersebut, mengingat Indonesia memegang prinsip politik luar negeri bebas aktif. “Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia. Pertama, Indonesia meminta kepada ASEAN untuk mengadakan sidang khusus yang intinya menentang rencana Australia. Hasil sidang ini kemudian disuarakan,” ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/9/2021).


Strategi kedua, menurut dia, adalah dengan mendekati China. Sudah bukan rahasia umum bahwa China bersaing dengan AS dan sudah pasti menentang rencana nuklir Australia. “Indonesia dalam isu ini memiliki garis kebijakan yang sama dengan China. Harapannya adalah AS akan khawatir bila Indonesia akan bersekutu dengan China dan karenanya akan menghentikan rencana Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir,” jelasnya.


Langkah yang ketiga adalah dengan mendekati Prancis. Mereka menentang rencana ini dengan keras; sebagian besar disebabkan oleh batalnya perjanjian pembelian 12 kapal selam antara Australia dan Prancis usai terbentuknya AUKUS. “Indonesia dapat mendorong agar Prancis membawa isu ini dalam sidang Dewan Keamanan PBB,” papar Rektor Universitas Jenderal A Yani ini.

Selain itu, Hikmahanto turut memaparkan sejumlah alasan mengapa Indonesia patut menolak pembangunan kapal selam nuklir oleh Australia. “Pertama, rencana pembuatan kapal selam bertenaga nuklir berpotensi melanggar Non-Proliferation Treaty (NPT),” ucapnya.

Non-proliferation Treaty, atau Traktat Nonproliferasi, adalah perjanjian internasional yang melarang adanya penyebaran pengetahuan nuklir dari negara yang memiliki kepada negara yang tidak memiliki.


Hikmahanto menjelaskan, dalam kasus ini, AS merupakan negara pemilik pengetahuan serta nuklirnya, sementara Australia bukan. “Kedua, rencana pembuatan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia berpotensi memunculkan perlombaan senjata di kawasan Indo-Pasifik. China tentu tidak akan berdiam diri dengan perkembangan geopolitik ini,” jelasnya.


Kawasan Indo-Pasifik diketahui mencakup wilayah dari India hingga pesisir barat Amerika Serikat. Secara geografis, Indonesia termasuk ke dalam kawasan.


Terakhir, Hikmahanto mengatakan, adanya kapal selam nuklir di Australia dapat mengancam perdamaian serta stabilitas di kawasan Indo-Pasifik. “Bila terjadi perang terbuka, dapat dipastikan penggunaan senjata nuklir di kawasan akan tidak dapat dihindari,” pungkas Hikmahanto.


Amerika Serikat, Inggris, dan Australia resmi membentuk pakta pertahanan yang bernama AUKUS pada Rabu (15/9/2021) lalu. Aliansi ini disebut bertujuan untuk menangkal pengaruh besar China di kawasan Indo-Pasifik.


Dengan pembentukan AUKUS, maka AS dan Inggris akan menyediakan teknologi dan kapabilitas pembangunan dan pengembangan kapal selam bersenjata nuklir untuk Australia.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar