Marthen Goo, Aktivis HAM Papua
Mengutuk Kekerasan pada Nakes di Papua,Semua Pihak Harus Menahan Diri
Enam dari sembilan tenaga kesehatan korban kekerasan yang dievakuasi dari Kiwirok, Jumat, 17 September 2021. (Antara)
law-justice.co - Apapun alasannya, tidak dibenarkan dengan melakukan tindakan kejahatan terhadap tenaga medis, seperti yang terjadi di Kiriwok, Pegunungan Bintang, Papua. Karena dalam dunia perang yang sekaliber apapun, tim medis wajib hukumnya dilindungi oleh para pihak yang berkonflik atau bertikai. Peran dari tim medis secara hukum perang dilindungi dan tidak dibolehkan untuk dilukai. Begitu juga wartawan.
Walau dalam media CNN, TPNPB menyebutkan bahwa dokter memegang pistol, prinsipnya tidak harus dibunuh tapi dilumpuhkan, karena ruang yang berbeda. Prinsip-prinsip perang harus dikedepankan oleh para pihak yang berkonflik. Jika yang berpegang pistol adalah dokter, tidak boleh nakes yang lain dijadikan korban juga. Batasannya adalah pada person orang, dan nakes yang lain wajib hukumnya untuk dilindungi.
Dalam kasus pembunuhan Nakes di Kiwirok yang mengorbankan nakes, sebagai aktivis kemanusiaan, mengecam dan mengutuk tindakan tersebut. Prinsip-prinsip perang harus dikedepankan. Siapapun dia, tidak dibenarkan. Dan siapapun pelaku, wajib hukumnya untuk dihukum. Para pihak wajib tahu apa itu hukum perang, supaya tidak merusak ranah sipil dan mengorbankan sipil, tenaga medis dan wartawan.
Organisasi TPN Harus Menghukum Pelaku
Tindakan yang mengorbankan nakes adalah tindakan yang melanggar hukum perang tapi juga tindakan melanggar hak asasi manusia, karenanya, TPN secara organisasi harus melakukan penyelidikan tentang (1) apakah perbuatan itu dilakukan oleh anggotanya; (2) Jika anggotanya yang melakukan, apakah benar dokter memegang pistol, dan jika benar, kenapa tidak dilumpuhkan, kenapa harus ditembak mati ? (3) Kenapa nakes lain menjadi korban juga?
Apapun alasannya, kekerasan dan kejahatan terhadap nakes tidak dibenarkan. TPN harus profesional dalam kasus ini, dan jika benar itu dilakukan oleh anggotanya tanpa prosedural dan prinsip-prinsip tersebut, harus diberikan hukuman agar kedepannya tidak terjadi kesalahan yang sama. Hukum perang harus dijalankan. Jika melanggar aturan main, harus minta maaf pada publik, bertanggungjawab dan pelaku diberi sanksi tegas.
Konflik Ideologi Tidak Akan Pernah Usai
Jika itu konflik Idiologi baik antara TPN dan TNI/Polri, tentu konflik tersebut tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Idiologi berbeda dengan kebutuhan makan dan minum atau masalah kesejahteraan dan lainnya. Dua hal yang sampai kapanpun tidak akan selesai adalah soal konflik Ideologi dan Keyakinan. Jadi kalau pemerintah beranggapan bahwa dengan pendekatan militer akan selesai, itu kekeliruan fatal.
Banyak pakar di Indonesia mestinya bisa memberikan kontribusi yang kongkrit dan terukur untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Jika kasus Idiologi tidak terselesaikan dan berjalan terus, kekerasan akan tetap menjadi cara memperebut Idiologi. Bahkan dampaknya adalah korban pada rana sipil. Kecurigaan akan menjadi alat pembenaran terhadap korban di rana sipil. Kasus nakes merupkana dampak dari konflik tersebut.
Cara untuk mendudukan konflik idiologi adalah pada ruang dan rana hak asasi manusia (HAM) sebagai cara paling tinggi dan bermartabat. Cara hak asasi manusia tersebut bisa ditempuh melalui ruang yang sangat demokratis yakni perundingan.
Negara harus membuka diri untuk berunding. Negara sudah harus berhenti melakukan pendekatan kekerasan atau pendekatan militer. Negara jangan berpikir untuk melakukan penyisiran pasca nakes menjadi korban, karena itu akan melahirkan masalah baru dan sipil akan menjadi korban terus menerus.
Presiden Harus Membuka Diri Dengan Melakukan Perundingan Jakarta-Papua
Hari ini nakes jadi korban kekerasan dikarenakan pemerintah pusat tidak pernah mau membuka diri untuk berdialog atau berunding. Pilihan pendekatan militer di Papua justru sudah menghasilkan banyak korban jiwa. Negara seakan kehilangan marwah dalam memelihara pancasila dan tujuan dalam bernegara. Harus hentikan kekerasan dan kejahatan di Papua melalui duduk sama-sama dan bicara. Cara damai harus ditempuh.
Presiden harus buka-diri dan buka-mata untuk selesaikan masalah di Papua dengan cara yang lebih bermartabat. Aceh wajib dijadikan referensi dalam menyelesaikan masalah. Jika Aceh bisa dilakukan perundingan, mestinya Papua juga bisa dilakukan perundingan. Praktek pendekatan rasialisme dalam penyelesaian masalah harus dihilangkan. Semua pihak harus mendesak presiden untuk gelar perundingan.
Presiden sudah harus mengankat Special Envoy untuk tahapan-tahapan perundingan, dan kemudian menunjuk wakil presiden menjadi penanggungjawab politik. Cara yang dilakukan SBY untuk penyelesaian Aceh bisa dipakai untuk selesaikan masalah di Papua. Presiden sudah harus memulai untuk menghentikan berbagai macam kekerasan di Papua. Gus Dur juga harus dijadikan referensi soal pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan, dan harus dimulai melalui perundingan.
Sudah terbukti bahwa perubahan Otsus sepihak oleh Jakarta dan kaum elit tertentu; rencana pemekaran; bahkan berkali-kali presiden ke Papua tidak menyelesaikan masalah, tapi malah melahirkan masalah-masalah baru. Hentikan cara-cara yang tidak bermartabat dan cara-cara yang tidak konstitusional yang berdampak pada pengorbanan rakyat yang sia-sia. Nakes korban sia-sia. Jakarta dan ULMWP harus duduk dan berunding selesaikan masalah Papua, agar tidak melahirkan jutaan masalah baru lagi.
Komentar