Marthen Goo, Aktivis HAM Papua

Mengutuk Kekerasan pada Nakes di Papua,Semua Pihak Harus Menahan Diri

Minggu, 19/09/2021 21:54 WIB
Enam dari sembilan tenaga kesehatan korban kekerasan yang dievakuasi dari Kiwirok, Jumat, 17 September 2021. (Antara)

Enam dari sembilan tenaga kesehatan korban kekerasan yang dievakuasi dari Kiwirok, Jumat, 17 September 2021. (Antara)

law-justice.co - Apapun alasannya, tidak  dibenarkan dengan melakukan tindakan kejahatan terhadap tenaga medis, seperti yang terjadi di Kiriwok, Pegunungan Bintang, Papua. Karena dalam  dunia perang yang sekaliber apapun, tim medis wajib hukumnya dilindungi oleh para  pihak yang berkonflik atau bertikai. Peran dari tim medis secara hukum perang dilindungi  dan tidak dibolehkan untuk dilukai. Begitu juga wartawan. 

Walau dalam media CNN, TPNPB menyebutkan bahwa dokter memegang pistol, prinsipnya tidak harus dibunuh tapi dilumpuhkan, karena ruang yang berbeda. Prinsip-prinsip  perang harus dikedepankan oleh para pihak yang berkonflik. Jika yang berpegang pistol  adalah dokter, tidak boleh nakes yang lain dijadikan korban juga. Batasannya adalah pada  person orang, dan nakes yang lain wajib hukumnya untuk dilindungi. 

Dalam kasus pembunuhan Nakes di Kiwirok yang mengorbankan nakes, sebagai aktivis kemanusiaan,  mengecam dan mengutuk tindakan tersebut. Prinsip-prinsip perang harus dikedepankan.  Siapapun dia, tidak dibenarkan. Dan siapapun pelaku, wajib hukumnya untuk dihukum. Para pihak wajib tahu apa itu hukum perang, supaya tidak merusak ranah sipil dan  mengorbankan sipil, tenaga medis dan wartawan. 

Organisasi TPN Harus Menghukum Pelaku 

Tindakan yang mengorbankan nakes adalah tindakan yang melanggar hukum perang tapi  juga tindakan melanggar hak asasi manusia, karenanya, TPN secara organisasi harus  melakukan penyelidikan tentang (1) apakah perbuatan itu dilakukan oleh anggotanya;  (2) Jika anggotanya yang melakukan, apakah benar dokter memegang pistol, dan jika  benar, kenapa tidak dilumpuhkan, kenapa harus ditembak mati ? (3) Kenapa nakes lain  menjadi korban juga? 

Apapun alasannya, kekerasan dan kejahatan terhadap nakes tidak dibenarkan. TPN harus  profesional dalam kasus ini, dan jika benar itu dilakukan oleh anggotanya tanpa  prosedural dan prinsip-prinsip tersebut, harus diberikan hukuman agar kedepannya tidak  terjadi kesalahan yang sama. Hukum perang harus dijalankan. Jika melanggar aturan  main, harus minta maaf pada publik, bertanggungjawab dan pelaku diberi sanksi tegas. 

Konflik Ideologi Tidak Akan Pernah Usai 

Jika itu konflik Idiologi baik antara TPN dan TNI/Polri, tentu konflik tersebut tidak akan  pernah selesai sampai kapanpun. Idiologi berbeda dengan kebutuhan makan dan minum  atau masalah kesejahteraan dan lainnya. Dua hal yang sampai kapanpun tidak akan  selesai adalah soal konflik Ideologi dan Keyakinan. Jadi kalau pemerintah beranggapan  bahwa dengan pendekatan militer akan selesai, itu kekeliruan fatal. 

Banyak pakar di Indonesia mestinya bisa memberikan kontribusi yang kongkrit dan  terukur untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Jika kasus Idiologi tidak terselesaikan  dan berjalan terus, kekerasan akan tetap menjadi cara memperebut Idiologi. Bahkan  dampaknya adalah korban pada rana sipil. Kecurigaan akan menjadi alat pembenaran  terhadap korban di rana sipil. Kasus nakes merupkana dampak dari konflik tersebut. 

Cara untuk mendudukan konflik idiologi adalah pada ruang dan rana hak asasi manusia  (HAM) sebagai cara paling tinggi dan bermartabat. Cara hak asasi manusia tersebut bisa  ditempuh melalui ruang yang sangat demokratis yakni perundingan.

Negara harus  membuka diri untuk berunding. Negara sudah harus berhenti melakukan pendekatan  kekerasan atau pendekatan militer. Negara jangan berpikir untuk melakukan penyisiran  pasca nakes menjadi korban, karena itu akan melahirkan masalah baru dan sipil akan  menjadi korban terus menerus. 

Presiden Harus Membuka Diri Dengan Melakukan Perundingan Jakarta-Papua 

Hari ini nakes jadi korban kekerasan dikarenakan pemerintah pusat tidak pernah mau  membuka diri untuk berdialog atau berunding. Pilihan pendekatan militer di Papua justru  sudah menghasilkan banyak korban jiwa. Negara seakan kehilangan marwah dalam  memelihara pancasila dan tujuan dalam bernegara. Harus hentikan kekerasan dan  kejahatan di Papua melalui duduk sama-sama dan bicara. Cara damai harus ditempuh. 

Presiden harus buka-diri dan buka-mata untuk selesaikan masalah di Papua dengan cara  yang lebih bermartabat. Aceh wajib dijadikan referensi dalam menyelesaikan masalah.  Jika Aceh bisa dilakukan perundingan, mestinya Papua juga bisa dilakukan perundingan.  Praktek pendekatan rasialisme dalam penyelesaian masalah harus dihilangkan. Semua  pihak harus mendesak presiden untuk gelar perundingan. 

Presiden sudah harus mengankat Special Envoy untuk tahapan-tahapan perundingan, dan  kemudian menunjuk wakil presiden menjadi penanggungjawab politik. Cara yang  dilakukan SBY untuk penyelesaian Aceh bisa dipakai untuk selesaikan masalah di Papua.  Presiden sudah harus memulai untuk menghentikan berbagai macam kekerasan di Papua.  Gus Dur juga harus dijadikan referensi soal pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan,  dan harus dimulai melalui perundingan. 

Sudah terbukti bahwa perubahan Otsus sepihak oleh Jakarta dan kaum elit tertentu; rencana pemekaran; bahkan berkali-kali presiden ke Papua tidak menyelesaikan  masalah, tapi malah melahirkan masalah-masalah baru. Hentikan cara-cara yang tidak  bermartabat dan cara-cara yang tidak konstitusional yang berdampak pada pengorbanan  rakyat yang sia-sia. Nakes korban sia-sia. Jakarta dan ULMWP harus duduk dan  berunding selesaikan masalah Papua, agar tidak melahirkan jutaan masalah baru lagi.

(Farid Fathur\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar