Analisis Hukum Tax Amnesti Jilid II & Target Satgas BLBI

Kamis, 16/09/2021 12:40 WIB
Demo mengingatkan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (Bisnis)

Demo mengingatkan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (Bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Banyak orang bertanya-tanya pemerintah melalui Kementerian Keuangan kenapa baru kali ini sibuk melakukan pendataan dan penyitaan aset milik obligor BLBI yang sudah mangkrak sejak lama.

Tak hanya itu, orang juga bertanya-tanya soal kebijakan Tax Amnesty Jilid II yang bakal dijalankan pemerintah untuk memenuhi target pajak dari kalangan pengusaha dan konglomerat.

Lantas apa hubungan antara penyitaan aset BLBI dan tax amnesty bagi kelompok pengusaha dan konglomerat yang mengemplang BLBI? Apakah jika sudah mengikuti Tax Amnesty lantas bisa bebas dan tidak memiliki kewajiban menyerahkan aset sesuai utangnya kepada pemerintah saat mengajukan pinjaman bantuan likuiditas di era tahun 1998-1999 itu?

Perlu dibahas dulu satu per satu soal dua kebijakan yang sama-sama digulirkan oleh Kementerian Keuangan dan bertujuan untuk memenuhi pundi-pundi keuangan negara yang sedang krisis akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan tujuan jangka pendek Tax Amnesty adalah adalah meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Tax amnesty diberlakukan di Indonesia, didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Berbeda dengan prinsip penegakan hukum (Law enforcement) di bidang perpajakan, yang pada prinsipnya pelaksanaan ketentuan perpajakan harus dilakukan secara konsekuen bagi wajib pajak yang kurang/tidak patuh harus dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum pajak yang berlaku. Sedangkan, program tax amnesty sebaliknya justru memberikan pengampunan kepada wajib pajak dengan membayar sejumlah uang tebusan.

Tax amnesty dilakukan pemerintah Indonesia di tengah-tengah ekonomi yang lesu sebagai “senjata” yang ampuh untuk mendapatkan penerimaan negara yang
diinginkan demi keberlanjutan program-program pemerintah.

Tax amnesty dilakukan untuk menarik “uang”dari warga negara Indonesia yang disinyalir menyimpan uangnya secara rahasia di negara negara bebas pajak seperti di Panama atau di negara-negara lain.

Harapan pemerintah dengan adanya program tax amnesty ini dengan uang tebusan yang sangat murah, dapat menarik minat warga negara Indonesia untuk mengalihkan simpanannya atau berinvestasi ke dalam negeri.

Pemerintah Indonesia tidak sendirian dalam program tax amnesty ini. Di tengah perlambatan ekonomi dunia puluhan negara juga saat ini tengah menjalankan program tax amnesty untuk memperebutkan dana global. Situasi ini sangat didukung oleh makin gencarnya negara-negara besar yang tergabung dalam G-20, yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lain, untuk melacak harta warga negaranya yang disimpan di negara-negara tax heaven.

Sebagai realisasi dibentuklah suatu sistem pertukaran data keuangan antarnegara partisipan yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI ). Indonesia juga sudah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) yang di dalam Annex F-nya mencantumkan komitmennya untuk memulai AeoI secepatnya.

Menurut “UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak” Tax Amnesty adalah  sebuah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan (Pasal 1 angka 1 ). Kebijakan tax amnesty ini yang telah dilaksanakan pemerintah pada tahun 2016 dan berakhir pada tahun 2017.

Permasalahannya adalah apakah kebijakan tax amnesty yang dilakukan pemerintah Indonesia ini dapat dikatakan berhasil ataukah sebaliknya. Apa saja yang menjadi sisi negatif dari kebijakan tax amnesty tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai program pengampunan wajib pajak untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak melaporkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Adapun proses tersebut dilakukan melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak dan pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Dia melanjutkan kritik dan saran yang disampaikan terkait program peningkatan kepatuhan wajib pajak, yakni kebijakan tersebut dipersepsikan sebagai pengampunan pajak atau tax amnesty yang berulang. Sehingga, berpotensi terjadinya moral hazard. Di mana, kebijakan tersebut memerlukan penguatan penegakan hukum pasca pelaksanaannya. Selain itu, besaran tarif yang diharapkan memang tidak lebih rendah dari tarif tax amnesty.

Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP)

Adanya Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yang menjadi salah satu dari tujuh RUU yang akan diselesaikan pada masa persidangan I DPR 2021-2022.

Dalam Pasal 37 RUU ini terindikasi akan adanya Tax Amnesty jilid ke-2 yang ingin dilakukan pemerintah. Rujukan pasal per pasal ke UU Pengampunan Pajak 2016 jadi indikasi kuat adanya pengampunan kembali tunggakan pajak.

Jika pemerintah terlalu sering menerapkan kebijakan ini, maka tingkat kepercayaan wajib pajak (WP) justru bisa semakin turun. Sekali diberi tax amnesty, maka wajib pajak yang nakal akan menunggu tax amnesty berikutnya. Ini kontraproduktif terhadap komitmen pasca tax amnesty untuk menegakkan kepatuhan pajak bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan tax amnesty 2016 lalu.

Pemerintah memang perlu melakukan reformasi perpajakan salah satunya melalui RUU KUP. Tujuan dari reformasi pajak yang ideal adalah untuk meningkatkan kepatuhan WP besar, yang sudah diberikan fasilitas tax amnesty lima tahun sebelumnya, namun belum berkontribusi signifikan pada penerimaan pajak.

Salah satunya dengan upaya kenaikan tarif PPh orang pribadi (OP) yang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar, penerapan alternative minimum tax (AMT) atau pajak minimum untuk WP badan yang memiliki PPh terutang tidak melebihi 1 persen dari penghasilan bruto, perluasan cukai untuk produk yang berdampak bagi kesehatan, serta pajak karbon dan energi.

Sebelum melakukan tax amnesty, pemerintah lebih tepat untuk membenahi dan memiliki data masif (big data) dalam bentuk bank data pajak yang komprehensif. Itulah kenapa program tax amnesty jilid I dianggap kurang maksimal karena para pesertanya diduga mengisi harta kekayaannya secara tidak benar.

Satgas BLBI

Gagal menjerat obligor BLBI, Sjamsul Nursalim, pemerintah mengeluarkan jurus lain untuk menuntaskan skandal (dulu disebut korupsi) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Menariknya, cara pemerintah kali ini ditempuh dengan mekanisme di luar pemidanaan. Penyelesaian secara perdata jadi panglima. Satuan tugas alias Satgas BLBI kemudian dibentuk oleh Presiden.

Satgas BLBI, demikian penjelasan pemerintah, dibentuk dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang dari dana BLBI yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp110,4 triliun.  

Ada beberapa lembaga yang tergabung dalam satgas ini. Paling utama adalah Kementerian Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) di bawah pimpinan Mahfud MD dan tidak melibatkan KPK.  Satgas BLBI terdiri dari tiga kelompok kerja (Pokja).

Ketiganya yakni Pokja Data dan Bukti, Pokja Pelacakan, serta Pokja Penagihan dan Litigasi. Ketiga Pokja tersebut memiliki peran yang cukup sentral dalam menagih hak negara dari para obligor BLBI yang sayangnya sebagian sudah berada di luar negeri.

Pada hari ini, misalnya, Satgas telah mengagendakan untuk memanggil dua pihak yang diketahui sebagai obligor BLBI. Kedua pihak itu adalah putra mendiang Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Agus Anwar eks pemilik Bank Pelita. Namun Agus Anwar, tidak diketahui dimana keberadaannya.

Perlu dicatat, Satgas BLBI tak menyertakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses penanganan BLBI. Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan KPK tidak dilibatkan dalam perkara ini, karena arah Satgas bukan ke pidana melainkan mengejar aset para obligor BLBI. Bahasa hukumya lebih ke perdata.

"Pidananya sudah tidak ada kata Mahkamah Agung (MA), perdatanya kita tagih," demikian pernyataan Mahfud MD beberapa waktu lalu. Penekanan pada penyelesaian perdata tentu memiliki konsekuensi hukum yang cukup signifikan dalam proses penanganan perkara BLBI. Para obligor cukup hanya membayar atau mengembalikan dana-dana yang sempat dilarikan kepada satgas.

Setelah itu mereka bebas dari semua tuntutan pidana. Meskipun Mahfud sendiri mengatakan bahwa pengembalian bukan berarti meniadakan proses pidana. Tetapi dari rentetan perkara yang ditangani oleh satgas saat ini, sudah sangat jelas bahwa pemerintah mengambil langkah pragmatis sketimbang bersusah payah membuktikan adanya skandal kejahatan dalam skandal BLBI.

Padahal jelas ada kerugian negara dalam skandal ini. Dalih pemerintah, langkah pidana sudah selesai pasca putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Putusan MA tersebut menyatakan perkara itu bukan suatu tindak pidana.

Implikasinya, pengusutan kasus dua tersangka BLBI yakni Sjamsul Nursalim dan istrinya dihentikan penyidikannya oleh lembaga antikorupsi. Tak ayal, langkah "aman" yang ditempuh pemerintah ini kemudian banyak disorot para pengamat hukum dan kebijakan, termasuk media.

Ada banyak analisa yang berkembang salah satunya menyandingkan kebijakan penanganan BLBI dengan tax amnesty. Tax amnesty adalah kebijakan pragmatis yang ditempuh oleh pemerintahan Jokowi untuk mengisi kekosongan kas negara. Konon ada Rp11.000 triliun yang disasar negara.  

Pemerintah tak mempersoalkan asal-usul harta mereka. Para taipan atau pemilik harta cukup merepatriasi atau mendeklarasikan ke otoritas pajak, kemudian diganjar dengan sanksi yang rendah. Setelah itu mereka bebas dari semua dosa perpajakan dan pidana yang tejadi pada masa lalu.  

Apabila dilihat dari polanya, langkah ini agak mirip dengan proses penyelesaian BLBI. Para obligor cukup membayar utangnya. Setelah itu kelar tak ada lagi ancaman pidana. Penyelesaian non pidana dalam perkara BLBI jelas mengusik rasa keadilan.

Selain itu juga meniadakan beban negara yang puluhan tahun harus mencicil utang karena aksi para taipan yang kini hidup nyaman serba mewah di luar negeri. Beban yang cukup berat tentunya. Karena dana yang seharusnya dikucurkan untuk menyejahterakan rakyat justru dialihkan untuk membayar `utang` para taipan. Jumlahnya bukan lagi puluhan ribu, tetapi triliunan.

Karena dasar hukum untuk melakukan tax amnesti jilid II belum selesai dan masih berbentuk RUU, maka prioritas pemerintah saat ini adalah mengejar dana obligor BLBI. Lantas apakah pengusaha yang sudah memenuhi kewajiban membayar tax amnesti jlid I, masih juga asetnya dikejar untuk membayar utang dana BLBI yang sudah dinikmati pada saat krisis ekonomi 1998?

Menurut tim Satgas BLBI, pembayaran tax amnesti jilid I dan perburuan harta obligor BLBI adalah dua entitas yang berbeda. Jika obligor BLBI itu sudah pernah memenuhi kewajibannya dalam tax amnesti jilid I tidak otomatis bebas dari kewajiban membayar dana obligor BLBI. Sebab tax amnesti adalah pelaporan dan menebus pajak yang memang harus dibayar dari total nilai kekayaan yang dimiliki.

Sedangkan perburuan dana BLBI, murni pada pengembalian dana BLBI yang diterima obligor BLBI dari pemerintah pada saat krisis 1998 . Tentu dana yang diterima obligor itu adalah uang negara (rakyat) yang harus dikembalikan lagi kepada negara. Jelas dana BLBI ini bukan dan tidak masuk menjadi bagian harta kekayaan milik pengusaha yang masuk dalam ranah atau ruang lingkup sasaran tax amnesti.

Yang jelas beberapa pengusaha ada yang keberatan disuruh untuk membayar utang BLBI ini karena merasa sudah pernah membayar tebusan pada saat program tax amnesti jilid I. Mereka menilai dengan menebus pembayaran tax amnesti maka secara otomatis sudah membayar dana obligor BLBI yang ditagih lagi oleh satgas BLBI. 

Kalau kedua pihak tetap ngotot dengan pendiriannya masing-masing, maka ke depan akan banyak kasus sengketa dan gugatan hukum yang masuk ke pengadilan,  yang akan menjadi yurisprudensi hukum. Apalagi pendirian Satgas BLBI hanya berdasarkan Keppres saja, yang secara hukum tidak begitu kuat dasar hukumnya.

Antara Perdata dan Pidana

Selama ini upaya pendekatan hukum perdata terbukti tidak cukup kuat memaksa para pengutang menyelesaikan kewajibannya. Setidaknya ada beberapa lembaga serupa Satgas BLBI yang dibentuk pemerintah untuk memburu aset BLBI tapi gagal, di antaranya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 1998 dan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) pada 2004.

Pemerintan harus mengutamakan pendekatan hukum pidana dalam menangani persoalan ini selama belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset. Kalau pidana punya daya paksa lebih kuat daripada perdata. Karena perdata itu bargaining terus. Pemerintah ini seolah-olah gampangin, seolah-olah tutup mata ada tindak pidana,

Sejak awal (BLBI) ini pidana korupsi karena dana bantuan likuiditas dari Bank Indonesia ada yang dikemplang, bukan buat bayar ke nasabahnya. Jika menggunakan upaya hukum pidana, bakal memudahkan Satgas ketika hendak melacak aset bermasalah di dalam negeri, maupun yang berada di luar negeri.

Sebab Indonesia bisa meminta bantuan negara lain - yang telah menjalin perjanjian hukum pidana timbal balik (Mutual Legal Assistance) - untuk membekukan kekayaan hasil kejahatan mereka.

Berbeda dengan hukum perdata, yang tak memiliki upaya paksa dan tegas. Kalau perdata itu kan sifatnya privat. Sementara kalau mau kerja sama tindak pidana, negara dengan negara.

Proses memilah aset yang akan disita saja setahun belum tentu akan selesai dan alurnya bisa kemana-mana. Sebab ada kemungkinan asetnya sudah dijual atau dipindah tangankan. Pasti akan mandek. Jadi banyak masalahnya. Itu mengapa harusnya Satgas berkoordinasi dengan KPK dan ironisnya justru KPK tidak masuk dalam unsur satgas BLBI ini.

Kesimpulannya Pemerintah harus belajar dari kesalahan rejim sebelumnya yang tidak berhasil mendapatkan kembali dana obligor BLBI. Jangan sampai jatuh lagi ke lubang yang sama untuk kesekiankalinya dan buatlah kebijakan yang mempunyai dasar hukum yang kuat serta bukan sekadar uji coba saja.

(Yudi Rachman\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar