Prof. Denny Indrayana Phd, Chairman INTEGRITY

Problematika & Solusi Hukum atas Seleksi Anggota BPK yang Bermasalah

Kamis, 16/09/2021 09:17 WIB
Pakar Hukum, Prof. Denny Indrayana (RMOL)

Pakar Hukum, Prof. Denny Indrayana (RMOL)

Jakarta, law-justice.co - Sewaktu saya mendapat amanah sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN (2008-2011), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah bertanya, “Mengapa dalam proses pemilihan pimpinan BPK, Presiden tidak terlibat proses seleksi ya?”

Tahun 2009 itu sedang ada seleksi pimpinan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan sempat menimbulkan polemik karena ada yang tidak memenuhi syarat, sempat diusulkan DPR, meskipun akhirnya dibatalkan dalam Paripurna.

Sebelumnya di tahun 2004, ketika SBY baru saja dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia Ke-6—melalui proses pemilihan Presiden langsung yang pertama dalam sejarah republik, proses seleksi anggota BPK sempat menjadi perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan permohonan SKLN karena tidak dilibatkan dalam proses seleksi. PERSOALAN PADA UUD 1945 Respon awal saya ketika mendapat pertanyaan Presiden SBY adalah, “Kelihatannya ada persoalan di UU BPK-nya Bapak Presiden”.

Namun ternyata saya keliru. Setelah membaca norma pemilihan anggota BPK, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, mengatur BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Norma tersebut hanya turunan dari pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang mengatur “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden”.

Dengan pengaturan konstitusi yang demikian, tidak mengherankan jika dalam realitas politiknya, DPR mempunyai kewenangan monopolistik untuk menentukan anggota BPK.

Kita sama-sama paham bahwa “pertimbangan DPD” tidak punya kekuatan politik yang konkrit. Kata “pertimbangan” sendiri mempunyai makna tidak punya daya ikat, apalagi daya paksa, untuk wajib diikuti.

Terlebih, meskipun dalam konteks yang berbeda, yaitu dalam putusan terkait pengujian undang-undang soal kewenangan legislasi DPD, namun Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 secara jelas memberi bobot lebih rendah atas arti “memberi pertimbangan” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, terutama jika dibandingkan dengan kewenangan DPD untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang.

Jika kewenangan DPD untuk memberi pertimbangan saja tidak ada daya ikat, maka menjadi wajar jika kewenangan Presiden untuk meresmikan hasil seleksi, derajatnya bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kewenangan DPD yang memberikan pertimbangan.

Sehingga menjawab pertanyaan Presiden SBY, memang norma konstitusi tidak memberikan kewenangan Presiden untuk terlibat dan mempengaruhi hasil seleksi. Kewenangan Presiden tidak ada dalam proses seleksi yang menentukan terpilih atau tidaknya anggota BPK, tetapi terbatas hanya pada proses administrasi sebagai kepala negara yang menandatangani Keputusan Presiden untuk mengangkat atau memberhentikan anggota BPK.

Itu adalah pemaknaan normal, dari pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Sekali lagi, norma konstitusi demikian memberikan kewenangan yang monopolistik kepada DPR untuk memilih anggota BPK. Peran pertimbangan DPD, ataupun fungsi administratif Presiden untuk meresmikan tidak mempunyai daya tawar konstitusional di hadapan DPR.

(Tahapan Terbit Kepres Pengangkatan Anggota BPK)

 

LIMA LANGKAH SOLUSI

Pertanyaannya, bagaimana kalau DPR dengan hak monopolinya bertindak sewenang-wenang dalam proses seleksi anggota BPK, langkah penyelamatan konstitusional apa yang dapat dilakukan?

Langkah pertama adalah mendorong perubahan UUD 1945 yang di dalamnya termasuk merumuskan ulang proses seleksi anggota BPK. Kewenangan monopolistik seleksi oleh lembaga manapun sebaiknya tidak dilanggengkan, apalagi diberikan oleh konstitusi.

Paham konstitusionalisme mempunyai karakteristik utama untuk membatasi kekuasaan (limitation of power), salah satunya dengan menerapkan sistem saling-kontrol-saling-imbang (checks and balances system). Maka, jika akhir-akhir ini ada wacana untuk melakukan perubahan konstitusi, salah satu yang penting untuk dilakukan adalah dengan mengubah proses seleksi anggota BPK, agar tidak cenderung dimonopoli oleh DPR.

Caranya bisa dengan menguatkan kewenangan DPD, atau lebih melibatkan Presiden dalam proses seleksi. Pertimbangannya, di antara semua organ konstitusi, lembaga negara yang eksistensi dan kewenangannya diatur dalam konstitusi, hanya proses seleksi BPK yang relatif dimonopoli oleh DPR.

Pemilihan Presiden, DPR, DPD, bahkan kepala daerah dipilih oleh rakyat. Seleksi hakim agung melibatkan Komisi Yudisial selain DPR. Rekrutmen hakim konstitusi dilakukan oleh Presiden, DPR dan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sendiri rekrutmennya melibatkan Presiden dan DPR.

Langkah kedua adalah, sambil menunggu perubahan norma seleksi pada level konstitusi, dilakukan perubahan pada UU BPK khususnya yang terkait dengan mekanisme rekrutmen anggota BPK. Misalnya, dengan mengadopsi berbagai mekanisme proses lainnya, yaitu menghadirkan panitia seleksi yang dibantu oleh panel ahli yang independen.

Kesemuanya dirancang untuk membantu proses rekrutmen di DPR, untuk menghindari agar seleksi BPK jangan terlalu berorientasi kepentingan politik non-negara ataupun sangat berjangka pendek.

Langkah ketiga adalah memberikan pemaknaan progresif atas kewenangan hasil seleksi anggota BPK yang “diresmikan oleh Presiden”. Normalnya, frasa demikian hanya menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara semata.

Artinya peresmian itu adalah proses administratif penerbitan Keppres saja. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang Presiden juga ikut menilai dan akhirnya tidak menerbitkan Keputusan Presiden, di antaranya karena pertimbangan sosiologis penolakan publik.

Contoh yang paling historikal dan kontroversial, serta hangat diperdebatkan adalah ketika Presiden Jokowi akhirnya tidak menerbitkan Keppres pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri, meskipun awalnya Presiden sendiri mengusulkan, dan DPR sudah menyetujui.

Sebagai kelanjutan dari solusi ketiga di atas, karena pertimbangan proses di DPR sebenarnya ada kekeliruan, salah satunya meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat formil UU BPK, maka Presiden Jokowi memutuskan tidak dulu menerbitkan Keppres.

Alasan Presiden adalah tidak ingin melanggar sumpah jabatannya dalam UUD 1945 yang secara tegas mengatur untuk melaksanakan undang-undang “dengan selurus-lurusnya”. Dalam konteks demikian, Keppres dimaknai bukan semata proses tetapi mempunyai bobot substantif.

Karenanya, membalas surat DPR, Presiden bisa meminta DPR untuk mengkaji ulang hasil seleksinya yang melanggar UU BPK. Tentu saja Keputusan Presiden Jokowi yang demikian, bisa mengundang reaksi protes dari DPR. Maka jalan keluar kenegaraannya adalah DPR dapat mengajukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di Mahkamah Konstitusi.

Dalam persidangan di MK dapat didorong pemaknaan konstitusional yang membatasi peran DPR agar tidak terlalu monopolistik dalam proses seleksi anggota BPK. Pemaknaan konstitusional melalui proses ajudikasi ini secara teori ketatanegaraan adalah bentuk perubahan konstitusi melalui putusan Mahkamah, yang tentu juga mempunyai kekuatan mengikat.

Langkah keempat adalah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) atas tindakan faktual DPR ke pengadilan TUN (Tata Usaha Negara). Pada bagian ini langkah DPR yang tetap meloloskan calon, padahal tidak memenuhi syarat berdasarkan UU BPK adalah perbuatan melawan hukum yang memenuhi syarat untuk menjadi objek TUN.

Apalagi, langkah DPR kali ini berbeda dengan proses seleksi di tahun 2009. Kala itu setelah mendapatkan fatwa dari Mahkamah Agung nomor 118/KMA/IX/2009, DPR membatalkan dua nama calon anggota BPK, karena tidak memenuhi syarat pasal 13 huruf j UU BPK, yang penting dilaksanakan untuk menghindari benturan kepentingan jika menjadi anggota BPK.

Pasal tersebut mengatur “Paling singkat 2 (dua) tahun telah meninggalkan jabatan sebagai Pejabat di lingkungan pengelola keuangan Negara”. Atas uji konstitusionalitas yang diajukan, Putusan MK Nomor 62/PUU-XII/2013 tanggal 18 September 2014 menyatakan pasal 13 huruf j UU 15/2006 tentang BPK konstitusional.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun yang diatur dalam Pasal 13 huruf j UU BPK, bertujuan agar calon yang terpilih dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri dan bebas. Pertimbangan MK yang demikian sejalan dengan fatwa MA yang menggarisbawahi pentingnya menegakkan prinsip anti-conflict of interest.

Bahwasanya tindakan DPR yang tetap meloloskan calon, meskipun tidak memenuhi syarat pasal 13 huruf j UU BPK tersebut semakin nyata, karena pertimbangan DPD sudah mengingatkan soal adanya calon yang tidak memenuhi syarat formil undang-undang tersebut. Apalagi atas surat DPR, fatwa MA Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021 tanggal 25 Agustus 2021 kembali menegaskan bahwa pasal 13 itu adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon anggota BPK untuk menghindari benturan kepentingan.

Solusi kelima adalah dalam hal Presiden tetap menerbitkan Keppres pengangkatan calon yang sebenarnya tidak memenuhi syarat UU BPK, maka Keppres demikian layak menjadi objek gugatan di pengadilan TUN. Berbeda dengan gugatan OOD, maka Keppres digugat sebagai Keputusan TUN (beschikking) yang bersifat konkret, individual dan final—tetapi mengandung cacat prosedur, cacat substansi, serta bertentangan dengan AUPB.

Baik gugatan OOD ataupun Keputusan TUN, keduanya lebih dahulu mesti diawali dengan pengajuan upaya administratif, berupa keberatan dan/atau banding, sesuai ketentuan UU Administrasi Pemerintahan. Kekuatannya, dengan mengajukan dua gugatan secara paralel, maka keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi.

Misalnya, jika gugatan OOD dikabulkan maka bisa menjadi alat bukti yang menguatkan pembatalan di gugatan Keppres, meskipun memang akan menyulitkan jika yang terjadi adalah sebaliknya. Kelemahannya, sebagaimana layaknya gugatan di pengadilan, proses bisa memakan waktu yang lama, alias bertahun-tahun. Untuk lebih jelas menggambarkan rencana dan alur kedua gugatan tersebut, berikut adalah penggambarannya dalam bentuk flowchart advokasi.

Problematika seleksi anggota BPK ini sudah menjadi isu konstitusional yang harus diselesaikan dengan cepat dan bijak. Bagaimanapun, BPK punya peran yang sentral dan strategis dalam kehidupan bernegara kita, terlebih dalam agenda menciptakan sistem keuangan negara yang akuntabel dan antikorupsi. Karena itu persoalan yang kerap menyelimuti proses seleksi anggota BPK tidak bisa terus dibiarkan. Proses seleksi adalah pintu masuk dan penentu bagi eksisnya institusi BPK yang terhormat dan berwibawa.

(Tabel Gugatan Perbuatan Melawan Hukum).

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar