Konflik Agraria 1 Periode Jokowi Lampaui 2 Periode Kepemimpinan SBY

Senin, 13/09/2021 22:40 WIB
Protes penuntasan konflik agraria (Net)

Protes penuntasan konflik agraria (Net)

Jakarta, law-justice.co - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2020 mencapai 2.291 kasus.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan jumlah kasus itu melampaui 10 tahun masa kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 1.770 kasus.

"Sehingga memang yang kita lihat sekarang adalah konflik agraria yang tidak berkesudahan," kata Dewi dalam diskusi virtual, Senin (13/9/2021).

Berdasarkan catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi, yaitu 851 kasus. Diikuti sektor properti 519, kehutanan 169, pertanian 147, pertambangan 141, pesisir dan pulau-pulau kecil 63 serta, pembangunan infrastruktur 30, dan fasilitas militer 21.

"Sehingga tidak heran kalau kita bicara situasi riil di lapangan sampai sekarang ada puluhan ribu desa dengan tanah-tanah pertanian produktif masyarakat yang tumpang tindih di dalam konsesi perkebunan HGU milik swasta atau negara," tuturnya.

Jumlah kasus konflik lahan tersebut menunjukkan ada tindakan perampasan tanah yang sangat masif di seluruh wilayah Indonesia.

"Baik itu di desa-desa yang ditempati oleh masyarakat agraris, bahari, pedesaan, hingga masyarakat adat," imbuhnya.

Dewi lalu mendesak agar pemerintah menjalankan mandat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 serta memperkuat agenda kerakyatan di bidang agraria.

Model pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini membutuhkan lahan yang luas, sehingga potensi perampasan dan penggusuran lahan warga semakin meningkat.

"Kalau konstitusi dan UUPA tidak kunjung ditegakkan maka yang terjadi adalah terlanggarnya prinsip keadilan kesejahteraan. Yang mana itu menjadi cita-cita dari para pendiri dan pemikir bangsa," ujarnya.

Dia pun menekankan bahwa UUPA mengatur hak atas tanah bagi seluruh warga negara Indonesia dari seluruh lapisan. Mulai dari masyarakat kecil hingga korporasi besar. Semuanya memiliki hak dan pemerintah harus memperhatikan itu.

"Jadi sudah diatur sedemikian rupa, bukan berarti itu UUPA tidak memperdulikan Korporasi badan besar. Tetapi diatur sehingga penguasaan tanah itu tidak bersifat monopoli swasta," kata dia.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar