Polemik Putusan MK soal Debt Collector, Penarikan Paksa Makin Tinggi

Minggu, 12/09/2021 20:40 WIB
Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Mahkamah Konstitusi (Foto: Detik)

Jakarta, law-justice.co - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang jaminan fidusia, dinilai akan membuat kasus penarikan paksa atas barang oleh kreditur atau leasing melalui debt collector kepada debitur yang menunggak cicilan bakal kian sering terjadi.


Mahkamah Konstitusi memutuskan klausul tersebut dalam sidang Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 15 Ayat 2 dan 3 tentang Jaminan Fidusia, yang terbit tanggal 31 Agustus 2021.


Sebetulnya, putusan MK ini menolak permohonan gugatan yang dilayangkan seorang penagih agunan bernama Joshua Michael Djami. Dia menilai keberadaan putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mengubah ketentuan Pasal 15 UU Fidusia, berdampak signifikan bagi debt collector.


Soalnya, klausulnya berbunyi kreditur tidak bisa secara sepihak menarik objek jaminan fidusia, seperti kendaraan atau rumah, hanya berdasarkan sertifikat jaminan.
Meski menolak gugatan, MK menambahkan frasa yang memberi angin segar bagi pihak leasing melakukan penarikan tanpa pengadilan. Putusan ini tertuang dalam Nomor 2/PUU-XIX/2021 yakni di halaman 83 paragraf 3.14.3.

 

Berikut bunyi putusan tersebut:


Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.

Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri.
Ancaman Penarikan Paksa Menanti Debitur


Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai putusan tersebut merupakan langkah mundur dari sisi perlindungan konsumen. Pasalnya, pihak lessor bakal semakin mudah melakukan penarikan kendaraan. "Putusan MK terlalu berpihak dan menguntungkan pihak leasor. Hal ini berpotensi dan sudah terbukti adanya praktik kekerasan oleh debt collector dalam menarik kendaraan konsumen, yang cenderung memaksa," jelas Tulus


Pengamat hukum, Hazmin Andalusi Sutan Muda, juga mengamini ancaman serupa. Kendati tidak ada keputusan yang relatif baru dalam sidang gugatan itu, Hazmin menilai frasa menarik kendaraan tanpa melalui pengadilan merupakan perdebatan panjang sampai saat ini.


Sebetulnya, dalam kacamata hukum, keputusan hakim tersebut menurutnya cukup jelas dan bagus. Sayangnya implementasi di lapangan terhadap pemaknaan wanprestasi tersebut sangat kabur. "Yang kerap terjadi di lapangan seperti beberapa kasus yang sempat viral, bisa terjadi ribut yang pernah juga ada ojol dengan debt collector. Ada juga kejadian yang tentara sampai menolong, itu yang terjadi di lapangan," jelas Pengacara di Hazmin Sutan Muda & Partner ini.


Frasa tersebut ia akui sebagai angin segar bagi kreditur. Terlebih lagi dalam situasi pandemi seperti sekarang, kemungkinan debitur telat melakukan pembayaran juga lebih tinggi. "Orang kesusahan juga membayar tiap bulan, mungkin karena di-PHK enggak mampu bayar. Jalan keluarnya seperti apa, itu yang harus clear," sambungnya.

Asosiasi Leasing Tegaskan Eksekusi Bisa Tanpa Pengadilan


Dia pun menegaskan bahwa pihak leasing juga tak sembarangan melakukan penarikan barang. Sebagian besar kasus yang sudah terjadi, penarikan dilakukan saat barang sudah berpindah tangan. "Rata-rata 99 persen mobilnya sudah digadai, dijual, pindah tangan, itu boleh enggak? kan sudah melanggar UU Fidusia nomor 36, hukumannya pidana 2 tahun," pungkas Suwandi.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar