Dr. Roy T Pakpahan, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Restrukturisasi Pertamina dan Pola Bisnis Holding BUMN yang Pro Rakyat

Rabu, 15/09/2021 10:08 WIB
Dr. Roy T Pakpahan, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Dr. Roy T Pakpahan, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

[INTRO]
Pertamina memasuki fase sejarah baru yang benar-benar hanya jadi holding saja. Semua yang berbau operasional sepenuhnya diserahkan ke sub-sub-holding atau anak perusahaan. Itulah keputusan terbaru Menteri BUMN, Erick Thohir
 
Yang menjadi pertanyaan apakah dengan program sub holding ini dengan sendirinya mafia dan KKN yang selama ini membekap Pertamina juga akan hilang? Sebab para penikmat dan mafia di bisnis Pertamina, tentu tidak akan mau kehilangan cuan-nya begitu saja. Pasti akan ada perlawanan...
 
Di sisi lain, pembentukan subholding berpotensi mengarah ke rencana pelepasan aset melalui IPO yang akan mengakibatkan tidak dapat dikontrolnya harga produk karena penentuan harga akan diserahkan ke mekanisme pasar. 

Tiga dari lima anak usaha yang direncanakan untuk IPO, yakni PT Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina International Shipping, dan PT Pertamina Hulu Energi, merupakan anak usaha inti dari Pertamina yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak sehingga rencana ini menimbulkan beberapa kekhawatiran, karena kalau dikuasai dan dimonopoli pihak tertentu, akan membuat harga naik dan memberatkan rakyat banyak.
 
Seperti diketahui ada 6 sub-holding di bawah Pertamina. Yakni:
1. Upstream, yang menangani semua urusan hulu: ladang-ladang minyak dan gas.

2. Refining & Petrochemical, yang menangani lima kilang besar dan industri kimia.

3. Commercial & Trading, yang menangani penjualan BBM dan membeli minyak mentah.

4. Power & NRE, yang menangani geotermal dan energi baru seperti solar cell dan baterai lithium.

5. Gas. PGN (Perusahaan Gas Negara)

6. Shipping, yang mengurusi kapal-kapal Pertamina, khususnya kapal-kapal tanker pengangkut minyak.

Tentu reorganisasi Pertamina ini merupakan langkah besar yang akan menghadapi banyak tantangan, apalagi karena restrukturisasi ini atas inisiatif penuh dari kementerian BUMN dan bukan dari inisiatif Pertamina. Ahok sebagai Preskom pun tak banyak dilibatkan dan juga tak banyak omong seperti biasanya jika ada hal penting di Pertamina.
 
Yang jelas para petinggi dan staf di grup Pertamina kini lagi panas dingin. Karena akan banyak yang kehilangan kekuasaan dan dimutasi atau reorganisasi. Banyak jabatan lama yang harus hilang. Pasti akan ada yang tidak puas dan tentu menjadi tugas Serikat Pekerja Pertamina untuk mengurusnya.

Menteri Erick bisa saja berhasil untuk "menertibkan" struktur di Pertamina, tapi apakah model bisnisnya ikut berubah atau masih setia dengan pola lama. Sebab orang Indonesia paling jago soal poles memoles struktur dan program dengan berbagai nama-nama canggih, tapi substansinya sama saja. Fakta ini belajar dari kasus penanganan Covid, yang istilah dan namanya begitu banyak dan terus berubah, tapi kasus covid dan korban masih terus berjatuhan.
 
Ada beberapa masalah yang muncul bila pembentukan holding-subholding direalisasikan dan dilanjutkan dengan IPO terhadap anak-anak usaha Pertamina, yaitu :
 
Pertama, adanya potensi melanggar UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d) yang menyebutkan bahwa persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak.
 
Kedua, naiknya potensi pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.
 
Ketiga, potensi terjadinya pola transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
 
Keempat, potensi terjadinya silo antarsubholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.
 
Kelima, peran dan kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin antarsubholding saling bersaing ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.
 
Keenam, hilangnya previlege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO. Ketika subholding di IPO itu menjadi perusahaan privat, maka penugasan pemerintah tidak dapat lagi dilakukan pada perusahaan-perusahaan privat.
 
Ketujuh, rencana holding-subholding dan IPO dikhawatirkan dapat mengancam ketahanan energi nasional dan program pemerataan pembangunan (BBM satu harga) tak berjalan.
 
Kedelapan, dalam sub holding kali ini, masa depan biodisel juga tak jelas di unit sub holding yang mana. Begitu juga unit usaha Rumah Sakit, Hotel, Yayasan Pendidikan, dll tidak ikut dimasukkan dalam sub holding tertentu tetapi digabung dengan unit usaha BUMN lain, yang belum tentu sesehat unit usaha milik Pertamina.

Seharusnya masa depan Pertamina mengikuti era mobil listrik yang menggantikan mobil berbahan bakar fosil. Memang ada sub-holding bidang energi baru, tapi masih lebih condong mengolah energi geotermal panas bumi. Sedang di proyek baterai lithium Pertamina hanya minoritas yang memegang 20 persen saham.
 
Sebab itu Pertamina harus lebih agresif mencari lahan bisnis energi terbarukan dan tidak terperangkap hanya mengurus energi konvensional. Platform cetak biru bisnis energi Pertamina harus dibuat oleh holding dan menjadi acuan sub holding dalam mengembangkan pola bisnisnya sehingga tetap mengedepankan kepentingan publik.
 
Pembentukan subholding bertujuan agar Pertamina bisa lebih fokus pada lini usahanya, memperkuat daya saing perusahaan, serta untuk percepatan ekpansi bisnis, yang salah satunya melalui IPO untuk PT Pertamina Geothermal Energy.
 
Rencana IPO ini cukup rasional mengingat pengembangan panas bumi membutuhkan modal dan memiliki risiko yang besar. Tapi harus diingat di sisi lain, Pertamina juga memiliki berbagai penugasan yang berat, mulai dari melaksanakan penugasan BBM bersubsidi, membangun kilang, hingga mengembangkan biodiesel.
 
Artinya, Pertamina menyatakan bahwa secara holding mereka tetap sebagai persero dan tidak ada aset yang kelak menjadi milik asing atau investor, apalagi menjadi tamu di ladang energi miliknya sendiri, seperti yang terjadi dengan penguasaan asing atas sumber daya alam Indonesia.

Kesimpulannya, sehebat apa pun restrukturisasi yang dibawa Menteri Erick, jelas itu hanya sebuah alat dari pola yang dipakai. Hasil akhirnya tetap di tangan orang yang memegang kendali atas alat itu.

Sebagai contoh, apakah dengan restrukturisasi ini produksi minyak Pertamina langsung bisa naik. Mungkin saja tidak. Kalau bisa naik itu karena blok Rokan kini menjadi milik Pertamina. Untuk menaikkan produksi minyak tetap harus menemukan sumur atau ladang baru dan ekspansi. Jelas itu perlu waktu lama, juga butuh modal dan teknologi yang mumpuni.

Yang pasti seharusnya setelah restrukturisasi ini kilang-kilang minyak Pertamina bisa menjadi lebih efisien dan punya daya saing. Kalau tetap seperti sekarang, akan sia-sia program sub holding ini.
 
Selain itu hal penting yang juga harus menjadi perhatian adalah soal penataan dan penguasaan aset-aset milik Pertamina di dalam dan di luar negeri, yang jumlahnya triliunan rupiah dan bisa saja lebih. Kalau sub holding IPO, tentu aset itu tidak hanya jadi milik Pertamina saja, tetapi juga investor baru yang akan masuk. 

Kerja restrukturisasi ini memang kerja besar yang perlu waktu panjang untuk melihat hasilnya karena selama ini Pertamina tidur pulas dan menjadi bancakan para mafia. Setelah restrukturisasi, apakah para mafia ikut tergilas restrukturisasi atau malah bersalin rupa menjadi investor legal melalui IPO.
 
Yang jelas, terobosan Menteri Erick ini perlu diapresiasi dan harus dikawal publik agar berjalan sesuai koridor dan kepentingan publik (rakyat) tetap dijamin, sehingga tidak timbul gejolak dan Pertamina mampu mandiri untuk bersaing di pasar global.
 

(Editor\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar