Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menelisik Kegaduhan Pemilihan Anggota BPK, yang Harusnya Sesuai UU BPK

Kamis, 09/09/2021 10:38 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Awal September tahun ini atau tepatnya tanggal 8 dan 9, Komisi XI DPR RI disibukkan oleh pelaksanaan  agenda pemilihan anggota  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang baru untuk menggantikan anggota BPK yang lama. Pemilihan anggota BPK yang baru sebenarnya  merupakan suatu peristiwa biasa saja, namun agenda pergantian anggota baru BPK kali ini mendapat banyak sorotan karena “kegaduhan” yang ditimbulkannya.

Kegaduhan macam apa sehingga menjadi topik berita yang cukup hangat di sosial media ? Bagaimana sebaiknya DPR menyikapi momen pergantian pejabat BPK ini agar sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya ?

Pergantian Anggota BPK

Komisi XI DPR RI saat ini memang tengah sibuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan calon anggota BPK dikarenakan pemilihan harus sudah selesai  pada bulan September  ini,  mengacu pada Pasal 14 ayat 4 UU BPK yang mengamanatkan agar DPR harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.

Diketahui, Komisi Bidang Keuangan DPR RI dalam rapat internal pada tanggal 24 Juni 2021 yang lalu telah menetapkan sebanyak 16 nama Calon Anggota BPK RI yang akan mengikuti pelaksanaan fit and proper test. Adapun 16 nama calon anggota BPK tersebut di antaranya:

  1. Dadang Suwarna
  2. Dr. Dori Santosa, S.E., M.M., CSFA., CFrA.
  3. Encang Hermawan, S.H., S.A.P., S.I.P.
  4. Dr. Kristiawanto, S.H.I., M.H.
  5. Dr. Shohibul Imam, CA., CPA
  6. Nyoman Adhi Suryadnyana, S.E., M.E.
  7. R. Hari Pramudiono, S.H., M.M.
  8. Muhammad Komarudin, S.H., M.H.
  9. Nelson Humiras Halomoan
  10. Ir. Widiarto, Sp.I
  11. Dr. Muhammad Syarkawi Rauf, S.E., M.S.E
  12. Teuku Surya Darma
  13. Dr. Harry Zacharias Soeratin, S.E., Ak., M.M.Acc., Ph.D., (candidate), CA., EPC., CRGP
  14. Dr. Blucer Welington Rajagukguk, S.E., Ak., M.Sc., S.H., M.H.
  15. Laode Nusriadi, SE., M.Si., Ak., CA., CPA., CPA (Aust)., ACPA., CfrA., CSFA.
  16. Ir. H. Mulyadi

Namun belakangan, saat diputuskan di DPD RI, satu calon dinyatakan mengundurkan diri karena sakit yakni Mulyadi. Sehubungan dengan telah masuknya nama-nama tersebut, saat ini Komisi XI DPR RI tengah menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap  Calon Anggota BPK yaitu tanggal 8 dan 9 september 2021.

Pangkal Kegaduhan

Munculnya kegaduhan dalam agenda pemilihan anggota BPK disebabkan karena adanya dua orang calon anggota BPK yang dinilai tidak memenuhi syarat formil tetapi tetap dimajukan sebagai calon anggota BPK. Dua calon anggota BPK itu bernama Nyoman Adhi Suryadnyana  dan Harry Z. Soeratin.

Kedua orang tersebut dinilai tidak memenuhi syarat formil karena tidak memenuhi ketentuan pasal pasal 13 huruf J Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Dalam pasal tersebut  disebutkan bahwa untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK syaratnya paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.

Untuk diketahui bahwa Nyoman Adhi Suryadnyana  pada 3 Oktober 2017 sampai 20 Desember 2019 masih menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III).Sedangkan calon anggota BPK lain Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).

Tetapi dua nama yang dinilai bermasalah tersebut ternyata tetap nangkring dalam urutan calon yang anggota BPK bahkan masih diberikan kesempatan untuk ikut fit and proper test pula. Pada hal Pasal 13 huruf J adalah syarat mutlak seseorang boleh mencalonkan diri sebagai anggota BPK. Dalam hukum biasa disebut syarat formil. Syarat Formil ibarat kata seperti wudhu, tidak lah sah sholat seseorang jika tidak berwudhu sebelumnya.

Persoalan ini kemudian mendorong elemen masyarakat yang peduli BPK menggugat  DPR RI. Seperti diberitakan Kompas, 6/8/21, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)  akan mengajukan gugatan terhadap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.Dalam gugatannya, MAKI meminta Puan Maharani membatalkan surat hasil seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak memenuhi persayaratan dari kedua orang tersebut.

“MAKI merasa perlu mengawal DPR untuk mendapatkan calon anggota BPK yang baik dan integritas tinggi, termasuk tidak boleh meloloskan calon yang diduga tidak memenuhi persyaratan,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Jumat (6/8/2021).

Kegaduhan dalam pemilihan anggota BPK ini bahkan memunculkan kecurigaan adanya permainan politik uang didalamnya. Dalam kaitan ini peneliti Formappi Lucius Karus meminta semua pihak terkait mewaspadai adanya praktik permainan uang dalam pemilihan anggota BPK. "Peluang terjadinya praktik permainan memakai uang untuk lolos seleksi sangat mungkin terjadi," kata Lucius kepada wartawan di Jakarta seperti dikutip SindoNews.com Selasa (7/9/21).

Menurut dia, praktik transaksional dalam perekrutan pejabat publik ini selalu saja muncul. Dia mencontohkan pemilihan pejabat Bank Indonesia yang menyeret Miranda Goeltom."Praktik membeli dukungan untuk mendapatkan jabatan seperti menjadi anggota BPK juga bisa saja terjadi karena toh suara anggota DPR akan menjadi penentu di satu sisi dan di sisi lain nafsu para calon untuk bisa duduk di BPK sangat tinggi. Karena itu ya mungkin saja itu permainan uang," bebernya.

Memanasnya soal pemilihan anggota BPK ini pada akhirnya mendorong DPR untuk mengajukan pendapat ke Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu pada tanggal 16 Agustus 2021 DPR bersurat ke MA meminta pendapat hukum terkait pencalonan Sdr. Nyoman Adi dan Sdr. Heri Zoeratin sebagai calon Anggota BPK.

Dalam Fatwa atau Pendapat Hukum Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021 Mahkamah Agung memberikan 3 (tiga) point. 1. Bahwa MA berwenang memberikan pendapat hukum. 2. Calon Anggota BPK harus memenuhi syarat dalam pasal 13 huruf j yaitu paling singkat dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Dan 3. Pasal 13 huruf j dimaksud agar tidak terjadi conflict of intrest dalam menjalankan tugas.

Berdasarkan fakta tersebut sudah sangat jelas MA menyebut pasal 13 huruf j sebagai syarat mutlak calon anggota BPK. MK menggariskan 2 hal utama yaitu harus memenuhi syarat dalam pasal 13 huruf j dan tujuan pasal tersebut adalah untuk menghindari conflict of intrest . conflict of intrest dalam hal ini adalah tujuan atau kemanfaatan hukum yang tujuan hukum tersebut tidak bisa mereduksi norma wajib 2 tahun meninggalkan jabatannya.

Fatwa tersebut senada dengan Fatwa yang sudah pernah dikeluarkan MA pada tahun 2009 yang juga dimintakan oleh DPR terkait pasal yang sama. Dalam Fatwa Nomor 118/KMA/IX/2009, MA juga memberikan pendapat hukum yang sama.

Bagaimana Sikap DPR

Menanggapi adanya polemik pemilihan anggota BPK tersebut menurut hemat saya sebaiknya DPR dalam hal ini Komisi IX sebaiknya memang mematuhi Fatwa MA. Seperti halnya sikap DPR periode sebelumnya yang juga mematuhi fatwa MA terkait dengan permasalahan yang sama.

Untuk diketahui pada tahun 2009 yang lalu MA telah mengeluarkan fatwa yang sama dan telah dipatuhi oleh DPR dengan membatalkan pencalonan Sdr. Gunawan Sidauruk dan Sdr. Dharma Bhakti sebagai Anggota BPK dalam rapat paripurna DPR tanggal 29 september 2009 yang dipimpin oleh Ketua DPR Agung Laksono.

Sebelumnya Dua orang tersebut telah melakukan fit and proper test di Komisi 11 DPR RI dan ditetapkan sebagai Anggota BPK untuk dikirim ke Presiden. Namun atas dasar Fatwa MA, maka DPR menganulir penetapan Komisi 11 dalam rapat Paripurna dan memutuskan nomor urut 8 dan 9 menjadi anggota BPK, yaitu Drs. T. Muhammad Nurlif Dr. Ali Masykur Musa.

Sementara Gunawan Sidauruk dan Dharma Bhakti dianulir sebagai Anggota BPK karena Gunawan Sidauruk saat itu menjabat sebagai Kepala Wilayah BPK Provinsi Jawa Barat dan Dharma Bhakti adalah Sekretaris Jenderal BPK. Dalam jabatan tersebut keduanya merupakan Kuasa Pengguna Anggaran sehingga tidak menuhi syarat formil dalam pasal 13 huruf j UU BPK.

Dalam fatwa MA memang  selalu diakhiri dengan kalimat "namun keputusan lebih lanjut menjadi kewenangan DPR". Dalam Fatwa tahun 2009 kalimat itu juga muncul. Namun kewenangan yang dimaksud adalah karena DPR lah yang oleh Undang Undang diberikan mandat melaksanakan rekruitment anggota BPK.

Kewenangan haruslah dimaknai sebagai melaksanakan ketentuan perundangan sebagaimana pendapat hukum MA. Kewenangan lebih lanjut tidak bisa dimaknai sebagai kewenangan untuk mengambil keputusan di luar ketentuan Undang Undang.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana yang menyarankan agar  pemilihan Pimpinan BPK agar tetap mengacu pada undang-undang. Apalagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan pendapat hukum sebagaimana diminta Komisi XI, yang intinya agar persyaratan calon Anggota BPK merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 13 huruf j UU BPK. “Syarat di dalam UU tentu wajib dipenuhi,” katanya seperti dikutip merdeka.com

Jika karena satu dan lain hal fatwa MA tidak diindahkan maka akan memunculkan kesan kurang baik dan bisa mendegradasi kredibilitas DPR sendiri. Konsekuensinya DPR akan dinilai telah melakukan pembangkangan terhadap hukum oleh lembaga negara. Pada hal DPR adalah lembaga pembuat UU yang seharusnya menjadi yang terdepan dalam kepatuhan terhadap UU yang diciptakan sendiri.

Konsekuensi selanjutnya  jika DPR mengabaikan fatwa MA maka  bisa bermakna seluruh putusan DPR yang didasarkan pada pelanggaran UU akan batal demi hukum.  Selain itu dengan adanya pelanggaran syarat formil ini akan menjadi objek gugatan ke hukum administrasi negara dan berimbas pada pembatalannya. Lebih jauh bisa berakibat pidana karena kerugian negara yang harus membiayai ulang proses rekruitmen anggota BPK yang baru.

Akibat lebih jauh seluruh anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran dan pembangkangan hukum bisa diproses secara hukum yang bisa berakibat pada pemecatan sebagai anggota DPR. Karena  salah satu klausul pemberhentian anggota DPR adalah jika secara nyata dan terang benderang melakukan pelanggaran hukum.

Di sinilah integritas anggota DPR dipertaruhkan dan akan dicatat publik dalam sejarah kepatuhan hukum masing masing  individu anggota. Dalam hal ini kebenaran tidaklah untuk divoting, meski disuarakan satu orang. Integritas anggoa DPR akan benar benar diuji, apakah alan memegang sumpah jabatan atas nama Tuhan untuk patuh dan ketentuan yang ada

Untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan dimasa yang akan datang dalam pemilihan anggota BPK, kiranya komisi XI bisa  melakukan inovasi kenegaraan dengan membentuk Panel Ahli untuk memastikan tahapan pemilihan calon anggota BPK berjalan transparan dan menghasilkan anggota BPK yang profesional, berintegritas dan independen.

Panel Ahli dapat diisi dari kalangan akademisi, tokoh masyarakat dan profesional yang teruji kenegarawanannya untuk menyaring para pelamar anggota BPK dari berbagai perspektif secara komprehensif. Hasil saringan dari Panel Ahli inilah yang menjadi rujukan bagi komisi XI untuk diuji kelayakan dan kepatutannya.

Upaya tersebut sebenarnya bukan hal yang baru  karena Komisi III DPR  sendiri sudah melakukannya. Yaitu saat menyeleksi calon hakim MK dari unsur DPR dengan menggandeng akademisi serta tokoh masyarakat yang memiiki sikap negarawan.  Sejauh ini memamg belum ada aturan yang mengaturnya, baik Undang Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Namun, sebagai inovasi kenegaraan, langkah tersebut menjadi jawaban atas aspirasi publik yang menginginkan proses pemilihan anggota BPK sesuai dengan jalurnya. Semua itu dilakukan agar lembaga pengawas keuangan negara berjalan sesuai dengan harapan kita bersama.

Jika hal tersebut dilakukan, setidaknya akan  menjadi terobosan politik yang konstruktif bagi DPR untuk memastikan proses pemilihan anggota BPK telah berjalan secara  transparan,  sehingga sesuai dengan harapan publik pada umumnya. Semoga.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar