Anggaran Bengkak, Jokowi-Xi Jinping Batal Uji Coba Kereta Cepat 2022

Rabu, 08/09/2021 18:55 WIB
Kereta cepat China (Foto: Hbtimes.com)

Kereta cepat China (Foto: Hbtimes.com)

Jakarta, law-justice.co - Pembengkakan biaya kereta cepat Jakarta - Bandung belum mengubah target pengoperasian yang direncanakan pada 2022 mendatang. PT Wijaya Karya (persero) Tbk (WIKA) memastikan saat ini proses cost over run proyek bersama China ini masih dibahas pemerintah dan mengubah target.


Awalnya biaya proyek mencapai US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 85 triliun. Kemudian, di tengah jalan ada kemungkinan biayanya membengkak setelah ada tinjauan dari konsultan yang dilakukan KCIC. Proyek ini diperkirakan tambah bengkak US$ 1,7-2,1 miliar sekitar Rp 24,14-29,82 triliun (kurs Rp 14.200).

Kereta cepat ditargetkan operasi 2022, khususnya akan diujicoba pada November 2022 bertepatan dengan ajang G20 di Bali. Rencananya Presiden Jokowi dan Presiden China akan menjajal kali pertama proyek ini.


"Pembengkakan ini tahap akhir, tapi penyelesaiannya tidak terdampak. Belum ada revisi operasional Jakarta - Bandung yang ditarget pada akhir 2022," jelas Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko WIKA Ade Wahyu, dalam Public Expose Live, Rabu (8/9/2021).

Ade menjelaskan cost over run dari proyek ini masih dibahas oleh stakeholder terkait. Besaran nilai pembengkakan biaya proyek diproyeksikan selesai pada Oktober ini.

"Jadi cost over run masih digodok dari internal Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dan sponsor saat ini sedang dalam tahap akhir mungkin besaran nilai dari cost over run selesai pada bulan Oktober," katanya

Sebelumnya PT Kereta Api Indonesia (Persero) menyebut pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung ini mencapai US$ 2 miliar atau setara Rp 28 triliun (asumsi kurs Rp 14.300/US$). Pembengkakan proyek ini disebabkan keterlambatan proses pembangunan.

Dimana awal pembangunan proyek ini awalnya senilai US$ 6,07 miliar seperti yang ditetapkan pada 2016 silam. Lalu nilai tambahan muncul pada kajian Januari 2021 senilai US$ 2,28 yang disebabkan keterlambatan penyerahan lahan untuk proyek itu.

"September 2020 sudah ada indikasi cost over run terkait keterlambatan daripada proyek ini," kata Direktur Utama Didiek Hartantyo, dalam RDP dengan komisi VI DPR RI, Rabu (1/9/2021).

 

Mayoritas Kepemilikan Berubah

Untuk diketahui kepemilikan Indonesia didapat melalui konsorsium BUMN bernama PT Pilar Sinergi BUMN (PSBI), sebesar 60% dan kepemilikan China berasal dari Beijing Yawan dengan porsi 40%.

PT PSBI terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) sebesar 38% sebagai pemilik terbesar di perusahaan ini, sisanya dimiliki oleh PT Kereta Api (Persero) 25%, PT Perkebunan Nusantara VII 25%, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) sebesar 12%.

Menurut Ade share holder dalam PT PSBI saat ini masih sama. Tapi akan dilakukan perubahan dimana PT WIKA yang menjadi pemimpin konsorsium akan digantikan oleh PT KAI.

"Dulu WIKA lead dari konsorsium ini nanti mungkin akan berubah ke PT KAI, nanti KAI juga akan mendapat PMN dalam pemenuhan base equity. Proses ini sedang digodok di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Setneg," jelasnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar