Asep Rachmat, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

Organisme Robotis dan Teknologi Messianis

Rabu, 08/09/2021 08:07 WIB
Asep Rachmat, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

Asep Rachmat, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila

Jakarta, law-justice.co - Gelombang “Medium is the Massage" (1964) karya Marshall McLuhan tentu saja tak sanggup membendung samudera digitalisme pada lima dekade usai maha karyanya menyapu jagat media komunikasi dan informasi dunia; kala itu pola komunikasi media massa masih konvensional dua arah.

Pada masanya, McLuhan memang sukses berat merombak pola pikir media massa menjadi tonggak lahirnya aliran konvergensi media; dikenal dengan platform sosial (digital). Tetapi daya rusak sebagai efeknya pada abad milenium mungkin tidak ia harapkan. Konvergensi tersebut melahirkan pola komunikasi, informasi, dan bahkan interaksi antarmanusia yang terlampau zig-zag; benar-benar oleng akibat disrupsi ledakan teknologi komunikasi dan informatika.   

Inilah era, yang dalam rumusan Alvin Toffler dalam karyanya “Tiga Gelombang Peradaban” atau “The Third Wave” (1980) sebagai gelombang ketiga (informasi) setelah gelombang pertama (agraris) dan gelombang kedua (industri). Seolah telah menjadi ‘hukum besi’ teknologi: semua teknologi dari masa ke masa telah mempengaruhi bagaimana kita menemukan, menyimpan, dan menerjemah atau mengolah informasi, mengarahkan perhatian, dan menggunakan indra. Hal itu semua telah membentuk struktur fisik dan cara kerja pikiran manusia.

Lahirnya konvergensi media berupa platform sosial terjadi pada pertengahan dekade pertama tahun 2000-an, merupakan gelombang internet kedua (2005-2025), diukur dari siklus generasi menelan 25 tahun beserta sains dan teknologi yang menyertainya. Kita sekarang tengah mengarungi gelombang kedua ini.

Gelombang kedua itu lanjutan dari gelombang pertama (1980-2005); turut didorong oleh cara kerja pikiran Stave Jobs, Gordon E. Moore, Bill Gates, Scott McNeeealy, Bill Joy, dan para produsen teknologi komputer dengan berbagai perangkat keras dan lunaknya lainnya. Mereka ini yang menghubungkan berbagai perangkat itu dengan internet meskipun kala itu masih sederhana: interkoneksi-jaringan internet sebatas menghubungkan jaringan antarkomputer berbasis Internet Protocol (IP) yang merupakan protokol pertukaran paket data.

Para tokoh besar komputer itu merupakan lapisan tengah dari tokoh besar dua lapisan lainnya dalam kebangkitan teknologi nirkabel. Lapisan atasnya ialah para inovator penting teknologi satelit; transmitor komunikasi yang meneruskan sinyal di atas permukaan bumi. Lapisan ini termasuk didalamnya para inovator pemancar atau stasiun penerima sinyal ataupun tower penguat pemancar sinyal dengan antena di bumi.

Lapisan di bawahnya ialah para inovator serat optik untuk mentransmisikan sinyal dari sumber cahaya; biasanya laser. Berkibarnya industri serat optik di dunia memang sejalan dengan periode awal massifnya teknologi komputer beserta perangkat lunak dan kerasnya pada dekade 1980-an; eranya Stave Jobs dan Bill Gates cs. 

Para raksasa elektronik dan telekomunikasi memainkan peran penting yang mengibarkan industri serat optik ini seperti AT&T Inc yang didirikan Alexander Braham Bell; MCI WorldCom (kini MCI Inc) yang berdiri pada 1983; Standard Telecommunication Laboratories (STL) yang berdiri pada 1959 dan kini bagian dari ITT Corporation; dan sebagainya.

Melalui aliran konvergensi media, McLuhan sukses merangsang mereka walau ringkasan zaman para inovator itu dipengaruhi kuat oleh Toffler. McLuhan nampak beruntung; ia tidak mengubah kesalahan cetak karyanya dari seharusnya "message" (pesan), bukan seperti judul aslinya "massage" dalam arti harfiyah pijatan.

Pada gelombang kedua internet yang melahirkan platform sosial, kesalahan itu seolah menjadi pembenaran bahwa media dan "massage" (pijitan) telah bersenyawa dengan sensorik manusia saat menerima "message" (pesan). Untuk itu McLuhan sukses "memijat" sensorik yang mengubah perilaku manusia, industri, dan tatanan kehidupan sebagaimana era gelombang kedua internet ini. 

Menjelang abad ke-21 atau dekade 1990-an, filter disrupsi teknologi komunikasi dan informatika sempat dirangsang Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam "The Elements of Journalism". Karya ini seolah menjadi “anti-virus” disrupsi informasi yang diperankan oleh kaum jurnalis.

Anti-virus yang dimaksud pada gelombang kedua internet bukan sekedar perangkat keras dan lunak dalam pengertian gelombang pertama internet, tetapi ekosistem sosial yang mengendali sekaligus jadi navigasi penggunaan teknologi komunikasi dan informatika.

Banyak instrumen sosial, sains, dan teknologi yang dilibatkan, termasuk menggandeng filsafat dan agama dalam membentuk “anti-virus” ini. Tapi sebagai tungku pemasaknya peleburan pendidikan formal, pendidikan keluarga, dan lingkungan kemasyarakatan serta kebijakan politik menjadi wajib. 

Sayang “anti-virus” sistem sosial ala Kovach dan Rosenstiel serta para penggiat literasi lainnya tidak mengalami evolusi sepesat disrupsi teknologi komunikasi dan informatika, terutama ketika konvergensi media massa pada platform sosial secara otomatis mengubah perilaku individu manusia melampaui peran setiap individu dapat menjadi kantor berita. 

Untuk menggambarkan daya rusak disrupsi pada individu gelombang kedua internet ini saya senang merujuk pada karya Duo Nicho ini: Nicholas Carr dalam The Sh@llow (2010) dan Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2012).

Di antara temuan penting Carr: internet telah memaksa kita menelan informasi secara cepat dan instan yang berakibat fatal atas hilangnya kontrol sejalan dengan hilangnya daya konsentrasi, fokus, merenung, dan berfikir mendalam. Dalam berkomunikasi terutama secara virtual, misalnya dalam menanggapi persoalan cenderung reaktif; menjadi pribadi tidak sabar, gampang tersulut, dan mudah memvonis.

Gelombang ketiga (informasi) peradaban di dunia ala Toffler benar-benar telah mendikte seseorang berperilaku seperti chip komputer: pararel. Beraktivitas dalam satu waktu bersamaan atau multitasking. Carr meneliti: pola pararenial ini cenderung melahirkan pribadi sok mampu dan sok pintar; seolah-olah ingin melahap segala hal yang didapatkan dari sensor otak. Padahal setting alamiah otak dalam struktur saraf otak manusia itu berpola serial yang menuntut fokus.

Gambarannya mirip ketika menggenggam telpon pintar dengan membalas percakapan, membuat konten, dan melihat-lihat aneka konten lebih dari satu-dua media sosial yang nyaris dalam waktu bersamaan atau jeda yang sangat pendek. Fokus pada aktivitas terpecah-pecah; sulit bertahan dalam waktu kurang dari setengah jam.

Jujur saja, banyak di antara kita mengalami “the sh@llow” atau gejala otak dangkal itu, termasuk saya yang tak betah lagi berlama-lama membaca buku dan menjadikan android seolah istri kedua; terasa tengah digiring mendekati wabah anti-sosial.

Dapat ditebak seberapa besar daya rusak disrupsi tersebut pada wilayah sosial, yang ternyata merusak sirkuit saraf dan bahkan anatomi tubuh manusia. Pada titik ini penelitian Carr dalam The Sh@llow kian penting, ditinjau dari sudut kompeksitas pengaruh "teknologi intelektual" yang mempengaruhi fungsi otak manusia sebagai pembentuk pesan.

Situasinya kian kompleks bila merujuk pada riset empiris Maryanne Wolf. "Ada banyak fosil tubuh, tapi nyaris tidak ditemukan fosil pikiran. Bentuk dasar otak manusia tak banyak berubah selama 40 ribu tahun terakhir," nukil Carr dari "Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain" (2007) karya Wolf.

Padahal amat nyata gelombang kedua internet saat ini sukses besar merubah sirkuit saraf otak dan tubuh manusia sebagaimana yang diteliti Carr dalam The Sh@llow; dan hal itu menjadi salah satu pintu penting industri kecerdasan buatan seperti robotik yang kelak meletup pada gelombang ketiga internet. 

***

Pada gelombang ketiga itu, kecerdasan buatan bakal bermutasi menjadi organisme tersendiri sejenis organisme robotis dalam hakikat wujud robot yang mengendali manusia; ditinjau dari perkembangan teknologi antariksa yang kian semarak dan canggih pada stasiun antariksa, roket, setelit, dan tingkatan ruang orbitnya.

Bila era Yury Gagarin (R-7) vs Neil Armstrong (Saturn V) masih pakai awak, kali ini teknologi roket sudah tanpa awak. Bila sejak dekade 1960-an posisi satelit di ruang antariksa sebatas menjelajah Orbit Rendah Bumi/Low Earth Orbit (LEO), Orbit Menengah Bumi/Medium Earth Orbit (MEO), dan Orbit Tinggi Bumi/High Earth Orbit (HEO), tetapi sejak era platform sosial para pemain setelit dan roket berlomba-lomba menembus Orbit Geostationer/Geostationary Orbit (GSO).

GSO itu orbit paling tinggi di atas khatulistiwa bumi dan paling banyak digunakan untuk setelit komunikasi, meterologi, penyiaran, pengindraan jauh, dan pelacakan data digital. Prinsipnya: semakin tinggi orbit, semakin luas cakupan wilayah yang dijangkau persis semakin tinggi pesawat menjelajah maka semakin luas pemandangan yang dilihat.

Gelombang kedua internet yang menjadi era kejayaan platform sosial hanya menjadi artefak tanpa mesin pemancarnya pada teknologi antariksa itu. Berkat kemajuan teknologi luar angkasa ini umat manusia terasa didikte untuk bersiap diri menghadapi gelombang ketiga internet, dimulai pada 2025 dan berpuncak pada 2045; tepat satu abad Indonesia.   

Persiapannya telah dimulai pada era kejayaan platform sosial ini; ditandai dengan berbagai uji coba rekayasa teknologi wujud robot yang semakin evolutif. Sederhananya, tampilnya robot dalam perilaku sehari-hari manusia pada gelombang kedua internet sekarang nampak dari massifnya berbagai aplikasi layanan jasa gratis dan berbayar pada bidang-bidang kehidupan berupa piranti lunak (digital) yang menyatu dengan platform sosial semudah dalam genggaman tangan.

Saya tidak terbayang, misalnya, saat algoritma transtool pada aplikasi “voice to text” dan “text to voice” kian sempurna atau memiliki kemampuan nalar khas manusia secara otomatis. Benar-benar menggusur tradisi menulis dan berbicara, dan hal itu melumpuhkan bukan lagi tradisi, tetapi anugerah Tuhan pada manusia dalam bernalar. Yang semakin tak terbayang ketika perangkat lunaknya bermutasi jadi perangkat keras berupa robot yang menamatkan fungsi aktivitas manusia.

Rusaknya sirkuit saraf otak manusia akibat ledakan internet yang memecahkan fokus, melemahkan daya pikir, kecendrungan pada hal-hal instans dan sebagainya, akan siap belaka diganti dengan wujud robot. Pada saatnya kelak balita mengalami “stunting otak”, pengganti stunting fisik sebagai tantangan lanjutan setelah pemerintah berhasil mengatasi buruknya gizi dan nutrisi pada generasi.

Dengan evolusi teknologi robotik seperti Robot Sofia, Moley Robotic Kitchen, Samsung Bot Care, Starship Technologies, Robot Aeolus, dan sebagainya, boleh jadi ‘mereka’ ini kelak menjadi koloni tersendiri saat dirancang melebihi kemampuan kognitif, afektif, dan bahkan psikomotorik manusia. Untuk kewarga-negaraannya, Robot Sophia yang sejak 2017 telah menjadi warga negara Kerajaan Arab Saudi sebagai presendennya.   

Kelak mereka itu melayani kebutuhan manusia hampir dalam segala hal, bahkan memenuhi media seksual jenis manusia yang cenderung menggunakan teknologi atau “digiseksual”. Aplikasi seperti Tinder, Heybaby, Badoo, Buble, OkCupid atau aplikasi seni permainannya seperti iKamasutra, Kindu, Desire dan sebagainya akan tergusur atau terpaksa marger dengan kecerdasan buatan robot yang kian mirip manusia, misalnya pada Robot Emma yang dikembangkan AI-Altech.     

Landskap sosial serta implikasi serius bagi kehidupan umat manusia dengan kemunculan organisme robotik digiseksual itu, termasuk masa depan reproduksi, dikaji secara serius antara lain oleh Emily Witt, jurnalis The New Yorker, dalam karyanya “Future Sex: A New Type of Free Love” (2016). Setahun kemudian muncul karya “Robot Sex: Social and Ethical Implications” (2017) yang disunting Neil McArthur.

Ilustrasinya begini: digiseksual menawarkan prototipe fisik seperti aktor dan aktris kesukaan Anda bak Tom Cruise, Galgadot, Lee Min Ho, Aishwarya Rai dan sebagainya; namun ia memiliki kematangan nalar dan emosi setara Elon Musk dan Jack Ma dengan kecerdasan mirip Stephen Hawking atau setara dengan Edith Stern, Presiden R&D IBM, perempuan dengan skor IQ sekitar 200 atau 50 poin lebih tinggi dari Hawking dan Albert Eintein. Mampus!? 

Demikian pula prototipe robot di luar digiseksual dengan sintesis genetika para tokoh hebat di bidang masing-masing, yang pada puncak evolusi teknologi robot, seolah ‘kiamat’ keberlangsungan ekosistem dunia nyata sejalan dengan adanya fenomena negara-negara yang mengalami “bangsa tua”. Istilah ini untuk menggambarkan kecenderungan menurunnya kelompok usia produktif, sementara angka kelahiran menurun dan kelompok usia lansianya meningkat sebagaimana dialami Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Singapura.

***

Kecendrungan robotik pengganti aktivitas manusia tidak bisa disikapi dengan remeh atau dianggap khayalan. Evolusi perangkat komunikasi menjadi presenden itu: dari telepon kabel dan faksimile, atau pager yang masuk ke Indonesia era 1980-an, berevolusi menjadi telepon genggam (handphone) era 2000-an yang mengandalkan piranti pesan pendek dan grup komunikasi massal internet atau milis; kemudian bermutasi menjadi android atau telepon pintar era 2010-an dengan bejibun piranti lunak jejaring sosial dan aplikasi lainnya. 

Pada pertengahan gelombang kedua internet yang telah kita lewati, android bukan lagi barang mewah; telah menjadi kebutuhan pokok setiap individu di negara manapun yang diramal bakal terjadi terhadap penggunaan wujud robot dalam kehidupan sehari-hari (bisa saja diperkenalkan melalui teknologi hologram pengganti android).

Evolusinya sebangun dengan hancurnya berbagai industri konvensional dilumat teknologi nirkabel ini sebagaimana dialami pada ritel, media massa cetak, percetakan, visualisasi, anjungan tunai mandiri (ATM), alat tulis kantor, kursus atau pendidikan vokasi, dan sebagainya.

Di tanah air, “anti-virus” sistem sosial baru sampai pada seruan dan gerakan moril seperti gerakan anti-hoax dan gerakan literasi sebagai antitesis gerakan anti-hoax. Berbagai gerakan ini sejalan dengan riset Eric Klinenberg tentang etnografi di perpustakaan New York untuk mengembalikan perpustakaan sebagai infastruktur sosial.

Maksud Klinenberg, perpustakaan masa depan bukan saja menyediakan ruang fisik, buku-buku cetak, dan digital, tetapi sebagai organisasi penting yang membentuk cara berfikir, akses budaya, serta menemukenali interaksi sosial yang kian tanpa batas.

Ketidakmampuan menciptakan sistem sosial “anti-virus” akibat disrupsi tersebut persis dokrin Nabi dalam hadist riwayat Muslim tentang selemah-lemah iman manakala melihat `kemungkaran`.

Kaum cendikia dan intelektual di belahan bumi manapun tak ubahnya baru sampai pada level "lisan" dalam membendung destruktif digitalisme sebagai “anti-virus” otak; belum sampai pada level mengubah dengan "tangan" melalui teknologi sistemik atau senyawa organik dan bukan sublimasi seperti minyak dan air atau surga dan neraka yang mustahil bertemu.

Sederhana membaca subjektif ini. Bila benar-benar “anti-virus” itu telah menjadi sistem sosial: seluruh negara tidak lagi kerepotan menghadapi daya rusak dari disrupsi digitalisme ini.

Segelintir kelompok civil society di tanah air masih tertuju pada upaya reaktif; belum sampai pada upaya responsif dalam menciptakan ataupun memanfaatkan teknologi komunikasi dan informatika sebagai keunggulan komparatif walaupun sebetulnya tengah menuju ke arah optimalisasinya—dan untuk swadaya ini sangat kita hargai.

Memang ada segelintir kelompok di tanah air masih berjibaku menciptakan secara efektif, efisien, dan massif dalam optimalisasi limpahan tambang data dan informasi sebagai mesin analisis ataupun algoritma yang biasanya berputar pada kebiasaan pengguna (user) internet dan telepon pintar untuk kepentingan nasional yang menunjang kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan jati diri dalam budaya.

Sayangnya upaya tersebut benar-benar tenggelam di balik riuhnya kesukaan publik kita pada polarisasi “kampret” atau "kadrun" vs “cebong”, yang padahal mereka inipun korban dari putaran algoritma digital itu. Informasi lama bisa didaur ulang (dikontekstual) sekehendak hati sesuai peristiwa tertentu yang mutakhir; atau kumpulan informasi baru dan lama yang dijahit secara paksa untuk disusun sebagai realitas sesuai agenda setting dalang. Upaya itu juga tenggelam dalam kesibukan para elit politik mempersiap kemenangan mereka pada kompetisi elektoral berkala.

Algoritma pada berbagai media sosial popular seperti Google, Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, Line beserta aplikasi jejaring sosial lainnya dan semua website sebagai elemen big data pada platform sosial sekarang ini secara otomatis akan mencari, memformula, dan sekaligus mendistribusikan kepada user sebuah pesan berdasarkan tambang data kesamaan dan kebiasaan user yang dapat diakses dalam genggaman tangan, alias melalui telepon pintar.

Seberapa sering Anda membuka website dan menikmati aplikasi platform sosial, akan muncul otomatis notifikasi pada perangkat komunikasi jejaring sosial walau tanpa klik tombol persetujuan Anda.

Kebalikan dengan elit civil society negara-negara agresif terhadap teknologi robotik dan prototipe kecerdasan buatan lainnya. Mereka telah sampai pada uji coba penyimpanan big data pada DNA manusia serta pengembangan aplikasi big data secara massif untuk analisis data dalam pelayanan sosial, bisnis, riset dan terapan sains, bahkan untuk militer dimana aplikasi tersebut modal penting dalam teknologi wujud robot. Aplikasi tersebut antara lain RapidMiner, Apache Hadoop, Pentaho, Talkwalker, MongoDB, Xplenty, dan sebagainya.

Kemunculan aplikasi sejenis secara otomatis menerapkan filter disrupsi teknologi komunikasi dan informatika yang dalam ilmu komunikasi disebut “wafe”, konsep penyaring gelombang destruktif dari limbah data dan informasi untuk menghasilkan "gelombang" yang tenang, yang digunakan sesuai kebutuhan user.

Konsep ini meminjam istilah ilmu alam, yaitu gelombang berulang (wafe) dan gangguan berkala zai cair yang mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya. Di negeri Barat, konsep ini berkembang sejalan dengan lahirnya platform sosial awal era 2000-an walaupun mereka masih kerepotan menerapkan konsep ini sebagai sistem sosial dengan presenden dua Pemilu Presiden Amerika Serikat yang dimenangkan Donald Trump (2016) dan Joe Biden (2020).

Dan untuk hal itu pula mereka pun sebetulnya tidak cukup tangguh membedakan mana jenis informasi hoax dan bukan sebagaimana kebingungan mencari jenis (strain) vaksin dari timbulnya virus dalam dunia kesehatan.

***

Sebagai sistem sosial, “anti virus” disrupsi teknologi komunikasi dan informatika beroperasi lazimnya terminologi bidang kesehatan: anti-virus atau vaksin tercipta dari virus itu sendiri. Barangkali dari sini timbulnya diktum “teknologi tidak akan pernah netral” karena dari keruangan dan material yang tersedia pasti ada motif dan akibat yang turut membentuk ataupun mengubah struktur fisik dan cara kerja pikiran manusia.

Apa yang pernah digugat Martin Heidegger untuk kembali pada esensi teknologi sebagai sarana etis dan manusia sebagai subjek yang ia persepsikan sebagai “budaya teknologi”, tidak akan pernah paripurna sepanjang motif penguasaan sumber daya belum tercerabut dari muka bumi.

Idealisme budaya teknologi abad milenium yang jebol atau diretas oleh teknologi komunikasi dan informatika terlanjur menjelma menjadi dunia yang lain (another kind of world) sebagaimana “zoon politikon” atau binatang politik. 

Bahkan penyimpangan budaya teknologi melebur ke dalam penyimpangan politik sebagaimana `pertempuran` sengit “astropolitik” (kajian politik wilayah keantariksaan antarnegara) dalam United Nations-Committee on Peaceful Uses of Outer Space (UN-COPUOS). Sejak awal, rezim hukum internasional antariksa ini disetting ambigu.

Prinsip penggunaan ruang antariksa secara damai dan menolak penguasaan suatu negara terhadap benda-benda ruang antariksa karena merupakan “common heritage of mankind” (warisan bagi seluruh manusia) dikadali negara-negara setelit untuk kepentingan “astronomics” menggunakan kekuatan militer terselubung.

Buku terbaru yang rilis pada Januari 2021, “Commercial and Military Uses of Outer Space” karya Melissa de Zwart dan Stacey Henderson (ed) memaparkan kilas eksplorasi dan eksploitasi keantariksaan ini untuk kepentingan ganda bisnis dan pertahanan sekaligus.

Astronomics yang saya maksud melebar: bukan lagi semata bisnis orang kaya yang memasok astronom, sekolah, bisnis, dan lembaga pemerintah dengan peralatan optik (istilah yang dikenal sejak 1979);  tapi penggunaan teknologi antariksa untuk bidang sains, teknologi, sipil, militer dan bisnis dalam upaya stabilisasi ataupun penguasaan geoekonomi, terutama menguasai Geostationary Orbit (GSO), orbit setelit di ruang antariksa yang paling istimewa.

Tahun 2017: dari 1.738 satelit di dunia yang digotong menggunakan roket, kepentingan komersil mencapai (44%) atau sebanyak 768 unit setelit. Sisanya untuk kepentingan pemerintah (337 unit) dan kepentingan militer 263 unit  (Aktieva Tri Tjitrawati, 2018).

Algoritma ketidakadilan global astropolitik demi menguasai astronomics sama saja dengan kemunculan borjuasi awal abad modern. Dari keluarga kaya hedonis membentuk korporasi dan masuk ke wilayah pemerintah dengan panetrasi lobi-lobi ala Yahudi ataupun masuk langsung ke jantung politik menjadi pejabat negara.

Borjuasi dengan segala anak-anak haramnya seperti kapitalisme dan ekstrimisme atas nama agama tak ubah menjadi bahan pokok anti-virus sistem sosial terhadap kegilaan organisme digital; tergantung keinsyafan.

Erik Seedhouse dalam karyanya “Spaceports around The World: A Global Growth Industry” (2017) membuka mata saya mengenai agresivitas bisnis antar-orang kaya menguasai pasar bandar antariksa komersil di dunia, khususnya di Florida, Texas, Oklahoma, Virginia dan Alaska.

Demikian pula pertarungan ”astronomics” Amerika Serikat Vs Cina dalam karyanya “The New Space Race: China vs USA” (2010). Dan tentu saja ada simpul jejaring pasar bandar antarika komersil antar-adidaya ekonomi itu melalui korporasi trans-nasional untuk menguasai pasar berbasis internet pada negara-negara “kolong” seperti Indonesia.

Borjuasi dalam kegilaan organisme digital akan nampak abadi sebagaimana teologi messianisme umat manusia; diskursus teologis pembebasan dari ketidakadilan. Mungkin pada titik messianisme itu level merubah keadaan naik level dari "lisan" ke "tangan"; walau bertaruh pada kemunculan tiran ketika baut-baut demokrasi kian frustasi digilas roda demokrasi digital seperti sekarang.

Dan mungkin saja para demagogis bakal sinis bila anti-virus dalam sistem sosial itu saya sebut dengan "teknologi messianis". 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar