Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Analisis Hukum Seputar Bancakan Anggaran Program Indonesia Pintar

Senin, 30/08/2021 07:05 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Pendidikan merupakan hak setiap warga negara sebagaimana amanah konstitusi pada pasal 31 ayat 1UUD 1945. Hal ini berimplikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan menjadi kewajiban pemerintah,sehingga segala bentuk sarana-prasarana menjadi tanggungjawabnya.

Salah satu tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ialah melalui pendanaan. Setidaknya 20% anggarandana baik dari pemerintah pusat maupun daerah harus dialokasikan untuk pendidikan.

Jumlah tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bentuk pendanaan seperti untuk biaya operasional, gaji dan tunjangan pendidik, dan bantuan lainnya baik dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai pendidikan tinggi.

Dengan demikian, suatu keharusan jika pemerintah menganggarkan dana untuk bidang pendidikan dalam kerangka kesejahteraaan sosial.Selama ini, pemerintah telah memberikan dana untuk menunjang kegiatan operasional dalambentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sedangkan biaya personal siswa tetap ditanggung orangtua.

Oleh karena itu Pemerintah kemudian memberikan bantuan untuk operasional siswa yang selama ini ditanggung oleh orang tua. Bantuan biaya ini kemudian diwujudkan dalam bentuk Program Indonesia Pintar (PIP).

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Program Indonesi Pintar (PIP), PIP adalah bantuan berupa uang tunai dari pemerintah yang diberikan kepada peserta didik yang orang tuanya tidak atau kurang mampu membiayai pendidikannya, sebagai kelanjutan dan perluasan sasaran dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang pernah dimulai pada era Presiden SusiloBambang Yudhoyono.

PIP masuk dalam kerangka kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai  amanat Perpres 166  tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Aktivitas program ini adalah penyaluran bantuan dana kepada siswa yang memiliki hambatan ekonomi dalam mengakses pendidikan.

Dengan demikian PIP tidak lain untuk membantu biaya personal siswa seperti biaya transportasi, pakaian sekolah, dan uang saku. Harapannya, dengan diberikannya bantuan ini angka partisipasi sekolah semakin meningkat dan tidak ada lagi anak yang berhenti bersekolah karena alasan ekonomi.

Bantuan PIP melalui kartu Indonesia Pintar (KIP) maupun bantuan pendidikan lainnya guna mendukung wajib belajar bertujuan untuk meringankan beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua yang berasal dari status ekonomi bawah. Bantuan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam bersekolah dan mencegah anak putus sekolah.

Bantuan tersebut ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pendidikan siswa diluar biaya operasional sekolah, biaya transportasi, uang saku dan lain-lain. Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau disebut juga Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan program perdana pemerintah Jokowi yang merupakan bagian Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Saat ini PIP  dijalankan merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2020 yang lantas petunjuk pelaksanaannya ditegaskan melalui Peraturan Sekretaris Jenderal Kemdikbud Nomor 7 Tahun 2021.

Hasil dari monitoring  ICW  (Indonesia  Corruption Watch) menginformasikan bahwa masih banyak warga miskin yang belum terdaftar sebagai peserta KIP/PIP (41,9 persen).

Hal ini disebabkan karena data yang digunakan untuk program KIP/PIP masih belum akurat. Distribusi kartu dan pencairan dana KIP masih bermasalah. Kartu masih belum diterima peserta meski mereka sudah mengetahui atau bahkan menerima sebagian dan KIP/PIP.

Sebagian dana KIP/PIP sudah digunakan untuk membiayai pendidikan murid (biaya personal dan pungutan/sumbangan ke sekolah). Namun, sebagian besar lagi dana tersebut belum digunakan untuk keperluan pendidikan.

Sementara itu berdasarkan hasil investigasi tim Law-justice.co diperoleh fakta bahwa  tata kelola anggaran bantuan PIP  ternyata masih karut marut. Walau pun program tersebut sudah berjalan lebih dari lima tahun lamanya.

Hal itu terlihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) pada semester II 2020. Dalam hasil audit itu tercatat ada anggaran sekitar Rp2 triliun yang rawan disalahgunakan karena bantuan tidak tepat sasaran.

Laporan itu dirilis berdasarkan hasil audit tahun anggaran 2018 hingga semester I 2020. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai, karena data pokok pendidikan yang digunakan sebagai sumber data pengusulan calon penerima tidak handal, sementara Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan.

Selain itu, terdapat penyaluran dana PIP kepada siswa minimal sebanyak 5.364.986 siswa atau sebesar Rp2,86 triliun tidak tepat sasaran karena diberikan kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima.

Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pengelolaan PIP mengungkapkan 7 temuan yang memuat 23 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 20 kelemahan sistem pengendalian intern, 2 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp33,00 juta, dan 1 permasalahan senilai Rp2,86 triliun.

Penyimpangan dan Upaya Perbaikan

Meskipun PIP telah berlangsung lebih dari lima tahun lamanya namun pada kenyataannya dugaan penyelewengan atau penyimpangan terus saja terjadi menghiasi pemberitaan media massa.

Sebagai contoh seperti dikutip oleh POS-KUPANG.COM, Jumat 11 Juni 2021 bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang yang di lakukan oleh kepala sekolah SDI Wae Paci yang berinisial MN terkait pemanfaatan dana program indonesia pintar (PIP) tahun anggaran 2015 dan tahun anggaran 2016 dengan nilai kerugian keuangan negara berdasarkan Laporan hasil pemeriksaan (LHP) Inspektorat Manggarai Timur sebesar Rp97.875.000.

Kasus serupa juga terjadi di Gowa  dimana diberitakan  Tim investigasi Group Wartawan Media Online “GoWa-MO” Indonesia berhasil membongkar dugaan tindak pidana Korupsi beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) pada salah satu SMP di Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Diduga pelakunya kepala sekolah berinisial (STP) dengan modus menggandakan rekening siswa dan memalsukan tanda tangannya

Penyimpangan dana PIP juga terjadi di Solo dimana dalam kasus ini seorang terdakwa yang berinisial NH beberapa kali mendownload SK penetapan siswa yang mendapatkan dana PIP lengkap dengan nama, sekolah serta nomor virtual account.

Atas dasar itu, terdakwa NH kemudian mencairkan dana PIP dan digunakan untuk kepentingannya sendiri sejak tahun 2016 Sampai dengan tahun 2017 yang mencapai Rp. 725.500.000,- namun terdakwa telah mengakui perbuatannya di hadapan pimpinan BRI dan baru bisa mengembalikan 80 juta.

Rangkaian penyimpangan dana PIP diberbagai daerah sesungguhnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan masih amburadulnya data yang dijadikan dasar penerima dana PIP itu sendiri.  Sejauh ini basis data PIP  bersumber dari Data Terpadu Kementerian Sosial (DTKS).

Banyak data di DTKS yang tidak terverifikasi dengan baik sehingga menyebabkan banyaknya kasus siswa seolah mendapat bantuan KIP padahal kenyataannya di lapangan menunjukkan sebaliknya.Selain itu Data Pokok Pendidikan (Dapodik) juga menyimpan sejumlah masalah besar yang kemudian berimbas pada ketidaktepatan sasaran PIP.

Terhadap adanya dugaan penyimpangan penyimpangan itu banyak pihak yang sudah angkat suara agar kejadian serupa tidak terjadi lagi nantinya. Sebagai contoh   peneliti ICW Wana Alamsyah menyarankan agar Kemendikbud melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pendistribusian kartu program tersebut.

Selain itu agar supaya PIP dapat berjalan lancar dari hulu hingga ke hilir, ICW menyarankan perlunya  adanya sinergis antara Kemendikbud dengan lembaga lembaga seperti Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), serta Badan Pusat Statistik (BPS).

Amburadulnya data penerima PIP juga disoroti oleh DPR RI. Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR menyatakan sudah lama menyoroti tumpang tindihnya data penerima beasiswa Program Indonesia Pintar atau PIP yang selama ini sering terjadi salah sasaran.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan ada tiga hal yang urgen diperbaiki yaitu Pertama, mengevalusi Program Kartu Indonesia Pintar atau KIP yang basis datanya bersumber dari Data Terpadu Kementerian Sosial (DTKS). Kedua, perbaikan Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Ketiga, perlunya  peningkatan sosialisasi mengenai PIP di sekolah-sekolah.

Saran senada juga pernah disampaikan oleh BPK yang juga meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar melakukan verifikasi dan validasi isian data pokok pendidikan (dapodik) dari satuan pendidikan dalam rangka pengelolaan PIP serta melakukan cleansing dan perbaikan data sesuai ketentuan tata kelola data yang berlaku, memiliki prosedur standar bagi operator dapodik untuk mengusulkan penerima PIP, serta menggunakan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) dan NIK sebagai acuan pemberian bantuan.

Terjadinya dugaan penyimpangan dan adanya saran untuk perbaikan sudah banyak disuarakan namun sepertinya PIP yang telah berjalan selama lebih lima tahun ini tidak kunjung terlihat adanya upaya pembenahan agar penerima PIP tepat sasaran. Hal ini tentu saja patut disayangkan karena membuka peluang adanya potensi penyimpangan penggunaan anggaran negara.

Analisis Hukum

Atas terjadinya penyimpangan penggunaan dana PIP tersebut kepada para pelakunya dapat dikenakan pasal tindak pidana korupsi dan atau penyuapan sebagaimana diatur dalam  pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU no 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi  selain itu pasal 372 KUHP tentang penggelapan.

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki unsur-unsur yang sama yaitu sama-sama melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara danperekonomian negara hanya bedanya Pasal 3 jika perbuatan tersebut dilakukan denganmenyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

Perbedaan antara kedua Pasal ini terletak pada kualitas dan kedudukan pelakunya. Pasal 3 lebih ditujukan pada pelaku sebagai penyelenggara negara/Pegawai Negeri yang memiliki kewenangan dan kedudukan tertentu. Kualitas pelaku ini akan menentukan cara melakukan perbuatannnya yaitu dengan menyalahgunakan kewenanganatau jabatan yang melekat padanya.

Jika kita cermati maka Pasal 3 merupakan kekhususandari Pasal 2 sebagaimana dirumuskan berikut ini:

Pasal 2:(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjaraseumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan palinglama20(duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.00.000,00 (dua ratus jutarupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3:Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh)tahun dan atau denda  paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) danpalingbanyakRp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Sebagai Pasal yang merupakan kehususan dari Pasal yang lain maka seharusnya dalam penerapannya sesuai dengan asas Lex Specialist derogat Lex Generalist maka seharusnya Pasal 3 memiliki kekhususan pula. Seharusnya ancaman pidana pada pasal 3 lebih berat dari pada Pasal 2 dan pada pasal 3 tidak ada pemberatan sebagaimana Pasal 2 ayat (2). Karena Pasal 3 dalam melakukan kejahatannya pelaku menggunakan sarana menyalahgunakan wewenang dan jabatan yang ada padanya.

Penyelenggara Negara adalah pihak yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menyelenggarakan negara dengan bersih dan transparan serta bertanggungjawab.Penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan.Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.

Terutama perilaku korupsi yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Korupsi yang dilakukan penyelenggara negara tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara itu sendiri tetapi juga dilakukan antar penyelenggara negara, selain itu juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atas fungsi penyelenggaraan negara.

Terkait dengan penyimpangan dana PIP kebanyakan dilakukan oleh pejabat di pemerintahan yang menjadi penyelenggara pendidikan seperti misalnya Kepala Sekolah yang berstatus sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara).

Dalam hal ini apakah ASN merupakan pejabat pemerintahan ?. Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang bersifat abstrak dengan fungsi tertentu, yang secara keseluruhan mencerminkan kerja organisasi.

Pengertian jabatan dan pejabat sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan tergambar dalam UU ASN. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua jenis, yakni pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dalam Pasal 15 UU ASN disebutkan bahwa pejabat dalam jabatan pelaksana bertanggungjawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Artinya, pasal tersebut menyatakan bahwa pegawai ASN pada tingkat pelaksana pun dikategorikan sebagai pejabat, yakni pejabat pelaksana. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh pegawai ASN, baik yang berstatus sebagai PNS maupun PPPK merupakan pejabat pemerintahan atau pejabat publik.

Dari rangkaian perbuatan yang dilkukan terdakwa  kasus penyimpangan dana PIP pada umumnya dilakukan oleh jajaran ASN dalam kapasistasnya sebagai Kepala sekolah atau jabatan struktural lainnya.

Sebagai ASN yang mempunyai posisi atau kewenangan  maka hal ini mengandung pengertian bahwa perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan terdakwa karena ia  memiliki posisi sebagai  ASN yang mempunyai jabatan.Sekiranya yang bersangkutan itu orang sipil biasa yang tidak mempunyai jabatan atau kewenangan maka tindak pidana itu tidak mungkin bisa dilakukan.

Adapun perbedaan penerapan pasal  Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terletak pada kapasitasnya.

Jika pelakunya itu adalah ASN yang mempunyai jabatan dan kewenangan maka lebih tepat kiranya kepada terdakwa dikenakan pasal  Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena Pasal ini khusus mengenai melakukan tindak pidana korupsi  dengan menggunakan sarana menyalahgunakan kewenangan danatau jabatan yang ada padanya. Dengan menerapkan Pasal 3 maka terhadap unsur pasal menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dapat terpenuhi.

Adapun terhadap pelaku penyimpangan yang merupakan  orang biasa atau ASN biasa atau mereka yang tidak mempunyai jabatan dan kewenangan lebih tepat dikenakan pasal  2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya seperti telah dikemukakan diatas, terjadinya penyimpangan penggunaan dana PIP tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan buruknya aspek pendataan yang bersumber dari Data Terpadu Kementerian Sosial (DTKS) dan juga Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

Pada hal Pejabat Pemerintahan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, kebijakan pemerintahan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Adapun kewajiban Pejabat Pemerintahan yang diatur dalam undang-undang ini di antaranya:

  1. Membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya;
  2. Mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan keputusan dan
  3. Mematuhi undang-undang dalam menggunakan Diskresi;
  4. Memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan ketentuan;
  5. Memberitahukan kepada warga masyarakat yang berkaitan dengan keputusan dan/atau tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (Sepuluh) hari kerja terhitung sejak keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan.
  6. Memeriksa dan meneliti dokumen administrasi pemerintahan, serta membuka akses dokumen administrasi pemerintahan kepada warga masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh Undang- Undang;
  7. Menerbitkan Keputusan terhadap permohonan warga masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding;
  8. Melaksanakan keputusan dan/atau tindakan yang sah dan keputusan yang telah dinyatakan tidak sah  atau dibatalkan oleh pengadilan, pejabat yangbersangkutan, atau pejabat atasan,“Dan mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Apabila pejabat negara  tersebut ternyata tidak melakukan hal yang semestinya dilakukan atau membiarkan sesuatu yang mestinya dikerjakan, maka apakah dia dapat dikatakan melakukan kelalaian ataupun pembiaran ?

Terhadap kondisi ini sudah banyak pihak yang meminta supaya dilakukan perbaikan agar dana PIP bisa  tepat sasaran. Namun lima tahun sudah berlalu upaya itu rupanya tidak kunjung dapat diwujudkan sesuai harapan. Karena nyatanya masih sering terdengar program PIP salah sasaran karena data yang menjadi basis penyalurannya tidak akurat. Menjadi pertanyaan kemudian bagaimana pertanggungajawaban secara hukum atas hal tersebut.

Dalam hal ini sanksi tentunya tidak semata mata ditujukan kepada mereka yang telah melakukan penyimpangan hukum yang berujung pidana saja tetapi kesalahan dalam pengelolaan pendataan yang membuat suatu pelaksanaan program tidak tepat sasaran tentunya perlu juga dimintai pertanggungjawabannya.

Kepada pihak pihak yang berkaitan dengan soal pendataan jika ditemukan adanya kesalahan (termasuk pembiaran) seyogyanya perlu dikenakan sanksi karena apa yang dilakukan atau tidak dilakukan telah berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian negara akibat program yang salah sasaran.

Dalam kaitan dengan soal sanksi ini, Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober lalu telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi kepada Pejabat Pemerintahan. PP ini merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 84 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

 Dalam PP tersebut, yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan adalah pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif dan pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan.

 “Sanksi administratif terdiri atas sanksi administratif ringan,sanksi administratif sedang dan sanksi administratif berat,” demikian bunyi Pasal 4 PP tersebutsebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, Kamis (17/11).

 Sanksi administratif ringan dikenakan kepada pejabat pemerintahak jika tidak melaksanakan 22 tindakan. Antara lain,tidak menggunakan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau Azas Umum Pemerintahan yang Bersih (AUPB).

Sanksi administratif sedang diberikan kepada pejabat pemerintahan apabila tidak memperoleh persetujuan dari atasan pejabat dalam penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran.

Untuk sanksi administratif berat diberikan kepada pejabat pemerintahan apabila menyalahgunakan wewenang yang meliputi melampaui wewenangnya, mencampuradukkan wewenang dan atau bertindak sewenang-wenang. Kemudian menetapkan dan atau melakukan keputusan atau tindakan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan serta melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasionalatau merusak lingkungan hidup.

Sanksi administratif ringan antara lain berupa teguran lisan, teguran tertulis dan penundaan kenaikan pangkat, golongan dan atu hak-hak jabatan. Sedangkan sanksi administratif sedang berupa pembayaran uang paksa atau ganti rugi,pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatansertapemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.

 Sementara untuk sanksi administratif berat hukumannya meliputi pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya. Pemberhentian tetap pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.Serta,pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.

 Ditegaskan dalam PP ini, dalam hal pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif tidak mengenakan sanksi administratif kepada pejabat pemerintahan yang melakukan pelanggaran, maka pejabat yang berwenang tersebut dikenakan sanksi administratif oleh atasannya.Sanksi sebagaimana dimaksud sama dengan jenis sanksi administratif yang seharusnya dikenakan kepada pejabat pemerintahan yang melakukan pelanggaran administratif.

 Sejauh ini masih belum terdengar adanya sanksi administratif yang dikenakan terhadap pejabat terkait dalam pengelolaan PIP khususnya berkenaan dengan masalah amburadulnya data penerima PIP.

Tiadanya sanksi akhirnya tidak memunculkan efek jera sehingga kesalahan dan pembiaran akan terus berulang dan akhirnya sangat berpotensi merugikan keuangan negara. Apakah memang kondisi seperti ini  sengaja dipelihara untuk membuat supaya peluang menilep anggaran negara menjadi lebih terbuka ?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar