Polemik Otsus Papua Masih Bergulir, Kemendagri Tetap Dorong Revisi UU?

Minggu, 29/08/2021 22:00 WIB
Aksi masa warga Papu tolak otsus (Tirto)

Aksi masa warga Papu tolak otsus (Tirto)

Jakarta, law-justice.co - Revisi Undang Undang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) disebut sangat penting untuk mendorong pengelolaan dana Otsus tepat sasaran.


Dengan pengelolaan dana Otsus yang tepat sasaran, diharapkan kesejahteraan orang asli Papua (OAP) akan meningkat.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Akmal Malik dalam keterangan tertulis Minggu (29/8).

Akmal menjelaskan, dengan adanya perubahan UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, diharapkan tata kelola anggaran kebijakan tepat sasaran.

"Sehingga ini akan membawa dampak positif bagi kehidupan warga asli dan masyarakat Papua dalam beberapa waktu mendatang," kata Akmal.

Akmal menjelaskan, dalam UU Otsus yang telah direvisi ini akan memperjelas bagaimana tata kelola anggaran Otsus kedepannya.

Pengelolaan dana Otsus, kata Akmal harus dipastikan benar-benar menyasar kepada masyarakat yang berada di desa maupun distrik yang ada di Papua.

"Tata kelola anggaran yang transparan ini bisa membuat pengelolaan dana menjadi lebih tepat sasaran, yakni benar-benar diterima dan dinikmati masyarakat asli Papua," ujarnya.

Akmal juga mengungkapkan, bahwa setiap klausul yang tertuang dalam revisi UU Otsus ini disusun secara gamblang.

Dalam perubahan UU Otsus, dijelaskan tata cara melakukan pengelolaan terhadap alokasi anggaran. Dengan begitu, setiap nilai anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk Papua benar-benar menyasar langsung kepada masyarakat.

"Ini akan membawa perubahan signifikan pada berbagai aspek kehidupan di Papua di masa mendatang. Dana Otsus ini harus digunakan untuk kepentingan orang asli Papua. Oleh karena itu, kita buat aturan tata kelola yang benar, agar tepat sasaran," imbuhnya.

Menurutnya, tata kelola yang benar dalam pengelolaan dana Otsus sangat penting. Karena alokasi dana Otsus yang dikucurkan pemerintah untuk Papua ini sangat besar jumlahnya.

Tercatat, dalam 20 tahun terakhir, anggaran Otsus yang telah diberikan oleh pemerintah untuk Papua mencapai Rp 146,39 triliun.

"Pemerintah sendiri secara konsisten memberikan dana Otsus kepada dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat. Dalam periode 2002 hingga 2007, pemerintah hanya memberikan dana Otsus kepada Provinsi Papua di dengan kisaran tiap tahun mencapai Rp1,38 triliun hingga Rp4,30 triliun," tuturnya.

Sementara, kata dia, mulai dari tahun 2008, pemerintah memberikan dana Otsus kepada Provinsi Papua Barat. Selama rentang tahun 2008 hingga 2021, Provinsi Papua Barat menerima dana Otsus dengan kisaran Rp 0,68 triliun sampai Rp 4,11 triliun.

"Untuk Provinsi Papua dari mulai 2008 hingga 2021, pemerintah memberikan dana Otsus dengan kisaran Rp 3,92 triliun sampai Rp 7,91 triliun. Maka sangat penting memperbaiki proses mekanisme penyaluran dana Otsus. Karena ini untuk mewujudkan adanya transparansi dan akuntabilitas proses implementasinya," tuturnya.

Akmal juga mengungkapkan, bahwa dalam merumuskan perbaikan UU Otsus Papua ini, pemerintah telah melakukan serangkaian kajian evaluasi. Kajian evaluasi ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

"Kajian evaluasi Otsus Papua ini sudah dimulai dari tahun 2008, 2012,2013, dan 2018. Secara komprehensif, berbagai pemangku kepentingan melakukan evaluasi kepada penggunaan dana tersebut," ujarnya.

Hasil dari evaluasi tersebut, lanjut Akmal, yang kemudian dipergunakan pemerintah bersama DPR dalam merumuskan revisi UU Otsus Papua.

Ia pun berharap, kedepannya, penggunaan dana Otsus Papua dapat diberikan secara tepat sasaran. Artinya, orang asli Papua benar-benar menikmati dana Otsus tersebut.

"Melakukan evaluasi yang kita lakukan secara komprehensif yang melibatkan berbagai pihak yang sifatnya tematik," katanya.


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Revisi kedua Undang Undang (UU) 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua, dalam rapat paripurna ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021, Kamis (15/7).

 

Polemik Otsus Papua

 

Sebelumnya, sempat diutarakan Advokat pemerhati isu Papua, Veronica Koman mengkritik langkah DPR RI dan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Ia menyebut undang-undang itu hanya mewakili kepentingan pemerintah.

Veronica menyayangkan pemerintah dan DPR RI mengesahkan aturan itu saat warga Papua menolak. Ia menilai kepentingan orang Papua tak dipertimbangkan dalam undang-undang tersebut.

"Perpanjangan Otsus Papua ini dari Jakarta, oleh Jakarta, dan untuk Jakarta karena MRP saja sudah bilang, bahwa orang Papua kebanyakan menolak Otsus," kata Veronica seperti melansir CNNIndonesia.com, Jumat (16/7/2021) lalu.

Veronica menyoroti sejumlah revisi dalam UU Otsus Papua. Salah satunya perubahan pasal 76 tentang pemekaran di wilayah Papua.

Dia menyebut pasal itu mempermudah pemerintah pusat memekarkan daerah di Papua. Padahal, secara undang-undang, pemekaran di Papua tak memenuhi syarat kepadatan penduduk. Selain itu, pemekaran justru menimbulkan potensi konflik.

"Pemekaran-pemekaran di Papua salah satu taktik divide et impera yang efeknya memarjinalisasi orang Papua. Dengan pemekaran, berarti kan ada wilayah administratif baru, akan ada sebutan transmigrasi lagi," ujarnya.

Ia juga mengkritik penghapusan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal 28 UU Otsus Papua. Dua ayat itu mengatur hak warga Papua mendirikan partai politik.

Veronica menyebut penghapusan dua ayat itu membuat warga Papua tak bisa membuat partai politik lokal. Padahal, di daerah Otsus lainnya seperti Aceh, diperbolehkan membentuk partai lokal.

"Tadinya juga tidak terlaksana karena begitu besarnya stigma dan tekanan dari Jakarta sehingga partai lokal di Papua tidak pernah ada di Papua. Bahkan, sekarang hitam di atas putihnya tidak ada," ucap Veronica.

Sebelumnya, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan RUU Otsus Papua. Aturan itu merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021.

Revisi tersebut berisi 20 pasal. Sebanyak 18 pasal merupakan perubahan dari undang-undang yang telah ada. Adapun dua pasal lainnya merupakan pasal baru.

 

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar