Saut Situmorang: Saat ini KPK Diragukan, Tak Bisa Diharapkan Lagi

Minggu, 29/08/2021 19:20 WIB
Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang (Media Indonesia)

Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang (Media Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang meragukan masa depan dari upaya pemberantasan korupsi yang tengah dilakukan KPK saat ini.


Tak hanya telah terkikis akibat adanya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dinilai bermasalah, integritas kelima pimpinan disebut jadi permasalahan lain dari terpuruknya penanganan rasuah di KPK.


Saut bahkan berani menyebut bahwa ada 3 dari 5 pimpinan KPK di era Firli Bahuri Cs yang dianggapnya bermasalah. Kondisi tersebut jelas tak menguntungkan bagi kerja-kerja yang dilakukan KPK saat ini.


"Saya melihat bahwa kalau memang kita pingin memberantas korupsi dengan seperti apa yang dimaksud oleh reformasi dengan situasi struktur organisasi seperti sekarang ini dengan yang di dalamnya masih bagian dari masalah, Anda tidak bisa mengharapkan apa-apa dari KPK," ujar Saut dalam diskusi yang disiarkan di kanal YouTube ICW, Minggu (29/8/2021).


"Sudah jelas dari 5, tiga bermasalah. Satu kurang umur okelah enggak apa-apa, jadi kalau divoting itu yang berintegrity itu cuma satu orang," sambungnya.

Kondisi tak menguntungkan bagi KPK itu, kata Saut, diperparah dengan pandangan pimpinan era ini yang menganggap bahwa korupsi dapat ditangani melalui sistem pencegahan.


Padahal, menurutnya, pencegahan hanyalah salah satu metode dari keseluruhan sistem pemberantasan korupsi. Sehingga, ia menekankan bahwa memberantas korupsi tak bisa hanya dilakukan dengan satu metode. "Jangan lupa kerja KPK itu koordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan, penindakan. Tiga paket itu embedded satu sama lain. Anda tidak bisa bilang pencegahan, pencegahan enggak. Koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, itu jadi satu. Anda juga enggak bisa memakai teori yang satu menutup teori yang lain," ucap Saut.

Situasi tersebut, kata Saut, bahkan diperparah dengan dimunculkannya sejumlah terobosan atau program yang dianggapnya sama sekali jauh dari hal yang dilakukan KPK secara lembaga. Salah satu program yang dimaksud Saut itu yakni dengan mengajak para mantan napi korupsi untuk ikut aktif memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan dampak dari korupsi itu sendiri. "Pakai mantan tahanan untuk kemudian menjelaskan, menginspirasi orang untuk tidak korupsi. Tapi Anda lupa teori lain bahwa di Indonesia itu ada yang namanya teori paternalistik. Makanya di KPK itu kan selalu bicara risiko," tegas Saut.


Rentetan hal dan fakta yang terjadi pada KPK sekarang inilah yang menurut Saut makin menggambarkan tak layaknya para pimpinan KPK periode ini.
"Anda bisa bayangkan, dalam keadaan seperti itu kita mau membersihkan Indonesia yang APBN-nya seperti itu, utang luar negerinya seperti itu, bansosnya seperti itu, kemudian masyarakatnya juga masih sedang sakit. Kemudian mereka (pimpinan KPK) bisa men-trigger apa?" kata Saut.


Dampak Serius Ambaikan Ombudsman


Ombudsman RI dan Komnas HAM telah merilis hasil penyelidikan dan pemeriksan terkait proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK. Hasilnya, Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan ada permasalahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan TWK.


Masalah tersebut adalah maladministrasi hingga dugaan pelanggaran HAM. Menanggapi hal ini, Komisioner KPK tahun 2009, Mas Achmad Santosa atau yang karib disapa Ota mengatakan rekomendasi dua lembaga negara itu memiliki status yang sah.


Jika tak dijalankan, ia khawatir justru akan memunculkan dampak serius terhadap KPK. "Apabila tidak adanya pembenahan maka terdapat potensi dampak yang serius ke depan dari persoalan KPK ini," ujar Ota dalam diskusi yang disiarkan di kanal YouTube ICW, Minggu (29/8/2021).


Ota merujuk Ombudsman dan Komnas HAM sebagai lembaga kuasi negara (State Auxalary Bodies) dalam masalah ini. Lembaga kuasi negara dibentuk untuk menangani masalah karena ketidakmampuan lembaga yang ada sebelumnya.


Ota menilai pengabaian atas rekomendasi dua lembaga negara itu sudah mulai terlihat. Misalnya, hilangnya legitimasi KPK dari publik sebagai lembaga yang dikenal memiliki peran strategis dalam pemberantasan korupsi.

Tak hanya itu, pasca TWK, Ota menilai perlahan kinerja KPK mulai menurun di segala bidang terutama dalam urusan penindakan. Semua hal itu, kata Ota, tak lain terjadi karena orang-orang yang notabene bekerja secara baik di KPK justru diberhentikan melalui proses yang bermasalah. "Penurunan kinerja KPK dalam penindakan sesuai dengan laporan atau survei yang dirilis tentu sulit untuk dilepaskan dari persoalan TWK ini. Hal tersebut diperparah tentunya dengan menurunnya IPK sesuai dengan hasil transparansi internasional ini kekhawatiran kita," ucap Ota.


Padahal, keberadaan KPK dapat menjadi satu langkah besar memajukan Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, ia mendesak Presiden Jokowi untuk menyeriusi pemberantasan korupsi di Indonesia. "KPK tidak bisa dilepaskan dari konteks semangat reformasi dan membicarakan KPK tidak bisa dilepaskan dari efektivitas penindakan maupun pencegahan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ota.


"Presiden dan para politisi negarawan itu harus menyelesaikan persoalan KPK ini agar kita betul-betul, mimpi kita untuk menjadi 2045, sebagai boleh dibilang tahun emas Indonesia, itu betul-betul bisa tercapai," tutupnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar