Sejarah Langka, Hakim Ringankan Hukuman Akibat Koruptor Dicaci Publik

Rabu, 25/08/2021 20:55 WIB
Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara. (Kompas)

Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara. (Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang mengadili eks Menteri Sosial Juliari P Batubara, dikecam publik.

Itu lantaran majelis hakim dianggap lebih bersimpati kepada koruptor Juliari Batubara ketimbang penerima bansos yang terdampak pandemi Covid-19.

Sepanjang sejarah peradilan di Indonesia, kata pakar hukum, hakim tidak pernah menggunakan cercaan masyarakat terhadap terdakwa sebagai alasan untuk meringankan hukuman.

Namun KPK menilai hakim telah bersikap objektif karena mengakomodasi permintaan jaksa dan Juliari.

Sementara itu, seorang mantan terpidana korupsi menganggap pertimbangan hakim itu ganjil karena citra negatif selama ini memang melekat pada pelaku kejahatan ini.

Dalam perspektif hukum, kata pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, seorang terdakwa bisa mendapatkan keringanan hukuman jika melakukan perbuatan positif bagi orang lain atau membantu membongkar suatu perkara.

Feri menilai pertimbangan majelis hakim meringankan vonis terhadap Juliari ganjal. Menurutnya hakim justru lebih mempedulikan nasib politikus PDI Perjuangan itu ketimbang desakan untuk menjatuhkan vonis berat.


Padahal, kata Feri, hakim memiliki opsi memberikan hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup bahkan pidana mati terhadap pelaku korupsi di masa bencana.

"Apa alat ukur hakim bahwa publik melakukan penghinaan kepada terdakwa? Seberapa banyak yang mencerca dan berapa yang membela? Kalau hanya berbasis perasaan dan asumsi hakim, itu tidak pas," kata Feri via telepon, Selasa (24/8/2021).

"Pelaku bukan hanya tidak amanah, tapi mengambil keuntungan dari bantuan untuk warga yang terdampak pandemi. Kenapa hakim malah peduli kepada pelaku, bukan publik yang telah dikhianati dan uangnya dicuri?

"Orang patut curiga, hal meringankan ini dicari-cari untuk membenarkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan pemberatan yang diatur undang-undang," ujar Feri.

Pada sidang pembacaan putusan Senin (23/8/2021), majelis hakim menghukum Juliari dengan penjara selama 12 tahun.

Vonis ini lebih tinggi satu tahun dari tuntutan jaksa KPK, tapi tidak sesuai dengan harapan pegiat antikorupsi yang menganggap Juliari patut dihukum lebih berat.

Juliari juga dihukum membayar denda sebesar Rp500 juta dan uang pengganti sebanyak Rp14,5 miliar. Dia juga divonis tidak boleh menggunakan hak politik selama empat tahun.

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat," kata anggota majelis hakim, Yusuf Pranowo saat membacakan berkas putusan.

"Terdakwa divonis masyarakat telah bersalah padahal secara hukum belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ujar Yusuf.

Feri Amsari menganggap hakim tidak jelas mengukur kerugian yang diterima Juliari akibat cercaan publik. Dia menilai hakim juga abai membaca keresahan publik terhadap korupsi, apalagi dalam masa bencana non-alam seperti pada era penularan Covid-19.

"Kalau pertimbangan itu benar, setiap pelaku kejahatan akan mendapat keringanan," kata Feri.

"Kasus korupsi banyak diprotes publik. Setelah pejabat diberikan kewenangan tapi ternyata mereka korupsi. Publik tentu kecewa, sedih, kesal, marah dan mengeluarkan berbagai pernyataan.

"Sikap antikorupsi itu kenapa malah menjadi alasan untuk meringankan hukuman?" ujar Feri.


Namun Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menyebut majelis hakim telah mengabulkan seluruh tuntutan jaksa terhadap Juliari. Walau enggan mengomentari pertimbangan yang meringankan, menurutnya hakim bersikap adil dalam menjatuhkan vonis.

"Hakim punya pertimbangan sehingga salah satunya mengakomodasi yang disampaikan terdakwa dalam nota pembelaannya," kata Ali.

"Secara normatif, putusan hakim tentu mempertimbangkan dua pihak, baik jaksa maupun terdakwa.

"Dari aspek keadilan, hakim sudah tepat mempertimbangkan alasan yang memberatkan dan meringankan serta dalil dari kedua pihak," ujarnya.

Dalam pleidoinya, Juliari menyebut perkara bansos membuat partainya dihujani hujatan.

"Saya sadar bahwa sejak perkara ini muncul, badai hujatan dan cacian datang silih berganti ditujukan kepada PDI Perjuangan," ucapnya dalam sidang tanggal 9 Agustus lalu.

Pada nota pembelaannya tersebut, Juliari mengeklaim tidak berniat korupsi. Dia juga menyangkal mengambil keuntungan dari anggaran bansos.

Dua hal itu kemudian menjadi hal yang menurut majelis hakim dapat menjadi alasan pemberat hukuman terhadap Juliari.

Bagaimanapun, hinaan masyarakat semestinya tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman koruptor, kata Wa Ode Nurhayati, politikus yang pernah divonis bersalah dalam kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah.

Wa Ode divonis enam tahun penjara dalam perkara itu. Dia bebas tahun 2017.

Menurut Wa Ode, setiap terdakwa korupsi selama ini selalu mendapat cercaan dari masyarakat. Stigma buruk itu, kata dia, bahkan terus melekat walau mereka telah keluar dari penjara.

"Saya tidak setuju cacian menurunkan hukuman. Pertimbangan untuk mantan menteri sosial itu sangat dramatis. Caci maki tidak hanya di kasus korupsi bansos tapi banyak kasus yang lain," ujarnya saat dihubungi.

Wa Ode menilai, citra yang begitu negatif terhadap orang yang terjerat korupsi justru dibentuk KPK.

Dia bercerita, anaknya dirundung teman sekolah soal ibunya yang pernah mendekam di penjara.

"Sejak itu saya siapkan mental anak saya. Saya mengedukasinya dengan cara saya. Itu yang paling berat bagi napi korupsi, terutama yang seorang ibu," ujarnya.

Citra itu juga mengiringi Wa Ode yang kini berupaya terjun lagi ke politik.

"Di suatu pilkada, saya pernah dukung satu pasangan, tapi kandidat itu langsung diserang bahwa mereka didukung koruptor," kata Wa Ode.

"Korupsi menjadi bantal yang empuk untuk menghajar kami. Moral masyarakat sudah terbentuk sedemikian rupa. Jujur, KPK berhasil melakukan itu," tuturnya.

Satu hari setelah vonis dijatuhkan, Juliari belum memutuskan apakah akan mengajukan banding terhadap putusan hakim.

Selain Juliari, kasus bansos juga menjerat bawahannya di Kementerian Sosial, yaitu Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. Adi dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan tuntutan KPK untuk Matheus adalah delapan tahun penjara.

Indonesian Corruption Watch mendesak KPK mengungkap berbagai dugaan kejahatan lain dalam proyek bansos ini. Mereka menduga banyak aktor lain yang belum terungkap dalam penyidikan KPK.

KPK menyebut akan melanjutkan investigasi mereka jika menemukan fakta hukum baru dalam putusan majelis hakim terhadap Juliari.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar