Mahfud MD: Pemakzulan Gus Dur Tidak Sah Menurut Hukum Tata Negara!

Senin, 23/08/2021 06:28 WIB
Menkopolhukam Mahfud MD saat memberikan arahan persiapan Pilkada Tahun 2020 di depan para Ketua KPU, Ketua Bawaslu, dan Forkopimda se-DIY di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Sabtu (7/11). (Foto: Humas Kemenkopolhukam)

Menkopolhukam Mahfud MD saat memberikan arahan persiapan Pilkada Tahun 2020 di depan para Ketua KPU, Ketua Bawaslu, dan Forkopimda se-DIY di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Sabtu (7/11). (Foto: Humas Kemenkopolhukam)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyatakan pemakzulan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak sah apabila ditinjau dari segi Hukum Tata Negara.

Mahfud menyampaikan hal itu dalam agenda `Peringatan Haul Gus Dur ke-12 Hijriah` yang ditayangkan akun Youtube NU Channel, Minggu (22/8) malam.

"Gus Dur itu jatuh sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara itu penjatuhannya tidak sah. Tetapi kan saya punya disertasi tentang politik hukum, kalau di dalam hidup bernegara itu hukum adalah produk politik. Kalau politik menghendaki ini, hukumnya tidak mendukung, politiknya itu membuldoser hukum. Itu bisa terjadi sampai sekarang," ujar Mahfud, Minggu (22/8).

Mahfud yang sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan era Gus Dur menerangkan kriteria presiden dapat dilengserkan termuat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, yakni dinyatakan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.

"Apabila presiden benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum I agar memperbaiki [kebijakan], kalau masih benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum II agar memperbaiki kebijakannya. Kalau sudah memorandum II masih melanggar lagi, MPR melakukan Sidang Istimewa untuk memberhentikan," tutur dia.

Namun yang terjadi pada Gus Dur tidak demikian, lanjut Mahfud. Gus Dur dimakzulkan Sidang Istimewa MPR melalui kasus yang berbeda antara memorandum I, II, dan III.

Memorandum I dan II terkait dengan isu Buloggate dan Bruneigate yang menyatakan bahwa Gus Dur patut diduga melakukan penyalahgunaan.

Berbeda dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 yang mengatur `sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara`.

"Masuk memorandum II, selesai, enggak ada Sidang Istimewa untuk memorandum I dan II. Sidang Istimewa yang kemudian diangkat untuk kasus lain. Kasusnya itu karena Gus Dur memecat Kapolri [Surojo] Bimantoro dan menggantinya dengan Chaerudin Ismail. Nah, itu melanggar aturan memang," ucap Mahfud.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan bahwa pergantian Kapolri tidak boleh dilakukan secara sepihak, melainkan juga harus atas persetujuan DPR.

Hal itu sebagaimana Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000. Meski begitu, ia menegaskan semestinya Gus Dur tidak langsung dijatuhkan karena ini kasus baru.

"Itu melanggar memang, tetapi ini pelanggaran baru sehingga harus dimulai dari memorandum baru mestinya agar diperbaiki. Tapi, langsung pada waktu itu pecat, lalu hari Minggu Pak Amien Rais bilang besok sidang karena Gus Dur telah melanggar Haluan Negara. Bukan lagi soal Bulog, itu sudah hilang," ungkap Mahfud.

Gus Dur dimakzulkan pada 23 Juli 2001. Pemakzulan dalam Sidang Istimewa MPR pada Senin petang itu menyatakan Gus Dur telah menyalahi Haluan Negara.

Posisi Gus Dur sebagai kepala negara kemudian diserahkan MPR kepada Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar