Heboh Pasien Covid-19 Ngaku Bayar Sampai Rp600 Juta, Satgas Buka Suara

Kamis, 19/08/2021 10:23 WIB
Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito (Okezone)

Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Berbagai cerita hadir di tengah upaya pengendalian pandemi COVID-19. Termasuk pasien yang mengaku harus membayar sejumlah besar biaya pengobatan setelah dikonfirmasi positif COVID-19.

"Sejak awal tahun 2021, LaporCOVID-19 menerima sedikitnya 26 laporan warga," ujar salah satu perwakilan Koalisi Warga untuk Akses Keadilan Kesehatan di LBH Jakarta, Charlie Albajili, lewat keterangan tertulisnya, Rabu (18/8).

"Yang mengeluhkan mengenai pembiayaan perawatan dan pembelian obat-obatan di rumah sakit." sambungnya.

Seperti salah satu pelapor yang pada Juni 2021 kemarin harus memasukkan ibunya ke RS rujukan akibat COVID-19. Pelapor itu pun akhirnya diminta membayar Rp600 juta.

Kisah berbeda disampaikan keluarga di Denpasar, Bali, yang diminta RS membeli obat Gammaraas senilai Rp220 juta pada Juli 2021. LBH Jakarta juga mengaku menerima pengaduan pasien yang diminta membayar sampai Rp225 juta oleh RS.

"Dengan alasan jangka waktu perawatan yang dibiayai pemerintah hanya 14 hari saja," sambung Charlie.

Koalisi pun mengecam keras praktik ini karena melanggar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/MENKES/104/2020 yag mengatur klaim biaya perawatan pasien COVID-19 dibebankan kepada Kemenkes lewat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.

"Aturan hukum telah jelas menegaskan tanggung jawab negara dalam menjamin biaya perawatan COVID-19 warganya," kata Charlie. "Oleh karena itu diperlukan tindakan pemanggilan, pemeriksaan, dan pemberian sanksi kepada RS yang melanggar Keputusan Menteri Kesehatan No. 4344 Tahun 2021 tersebut."

Lalu apa kata Satuan Tugas Penanganan COVID-19 soal laporan ini? Juru Bicara Satgas COVID-19, Prof Wiku Adisasmito menekankan bahwa pemungutan biaya perawatan terhadap pasien positif sama sekali tidak dibenarkan.

"Pemerintah menjamin bahwa perawatan terkait COVID-19 sepenuhnya ditanggung negara. Rumah Sakit tidak dibenarkan menarik biaya dari pasien COVID-19 sesuai yang telah diatur dalam Keputusan Kemenkes," tutur Wiku seperti melansir CNN Indonesia, dikutip pada Rabu (18/8).

Namun Wiku pun membeberkan beberapa dugaan alasan pasien diminta untuk membayar tagihan. Seperti misalnya keluarga pasien yang ingin mendapatkan layanan kesehatan yang lebih seperti naik kelas, maka selisih biaya akan ditagihkan.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Arianti Anaya, pun menerangkan soal penagihan pembelian obat Gammaraas. Disebutkan bahwa obat tersebut memang tidak masuk dalam terapi utama COVID-19 sehingga tidak disediakan pemerintah.

"Obat gratis yang dibagikan kepada masyarakat adalah (untuk) pasien positif tanpa gejala atau dengan gejala ringan," tutur Arianti lewat pesan WhatsApp kepada CNN Indonesia. Karena itulah kemudian biaya obat tersebut dibebankan kepada pasien.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar