Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Fungsi Legislasi DPR Sedang Bergerak ke Arah Negara Totaliter?

Kamis, 19/08/2021 05:50 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Foto: Istimewa).

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (Foto: Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu yang lalu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai penyusunan undang-undang alias legislasi di DPR di masa pandemi Covid-19 cenderung "ugal-ugalan" mengarah pada cirri pembuatan undang undang di negara  totaliter. Pasalnya, UU yang diproduksi tak mencerminkan kebutuhan masyarakat di masa wabah dan hanya mengedepankan kepentingan politik serta ekonomi semata.

"Pelaksanaan fungsi legislasi DPR sepanjang tahun lalu didominasi oleh kehendak politik pembentuk Undang-Undang ketimbang untuk tujuan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat," dikutip dari hasil riset PSHK bertajuk `Legislasi Masa Pandemi: Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020` yang diterbitkan Selasa (27/7).

Pelaksanaan fungsi legislasi yang dijalankan oleh DPR bersama sama dengan Pemerintah saat ini memang memunculkan serangkaian pertanyaan karena banyak terjadi kontroversi didalamnya. 

Untuk apa sebenarnya tujuan dibuat suatu peraturan perundang undangan dalam suatu negara ? Apa pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembentukan perundang undangan yang ada ?. Benarkah pelaksanaan fungsi legislasi DPR kita mengarah ke negara totaliter ?. 

Untuk Apa Undang Undang Dibuat ?

Parlemen atau DPR merupakan salah satu institusi krusial bagi demokrasi di Indonesia.  Dalam konstitusi sendiri disebutkan bahwa  DPR mempunyai fungsi anggaran,  fungsi pengawasan dan fungsi legislasi. Fungsi legislasi terkait di antaranya dengan penyusunan rancangan undang-undang bersama sama dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Tujuan dibuatnya suatu peraturan atau peraturan perundang undangan antara DPR dengan Pemerintah pada dasarnya adalah :

Pertama, untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara.   Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan sejalan dengan apa yang sudah digariskan oleh aturan hukum yang ada.  Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). 

Manusia adalah makhluk beringas yang membawa ancaman bagi ketertiban umum sehingga, untuk menciptakan ketertiban diperlukan hukum atau undang undang yang bisa mengendalikan keberingasan manusia itu. Perilaku manusia harus sesuai dengan apa yang sudah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan.

Kedua, untuk menjamin perlindungan dan terpenuhinya hak azasi seluruh warga negara.  Hak asasi mausia adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat pada individu sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) harus diladasi oleh aturan hukum, yaitu aturan perundang-undangan. Pemerintah dalam menegakan HAM di negara yang berasaskan hukum, harus selalu memperhatikan peraturan-peraturan yang berlaku

Jika pemerintah melakukannya dengan kekuasaan, maka orang yang duduk dalam pemerintahan itulah yang akan terjerat oleh hukum jika yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Hubungan yang lainya dalam konsep negara hukum dijelaskan bahwa negara hukum memiliki salah satu ciri yaitu warga negara harus mendapatkan perlindungan hak azasi manusia. Karena jika itu dilanggar akan bertentangan dengan prinsip negara hukum itu sendiri.

Ketiga, untuk menjamin dan meningkatkan keadilan bagi seluruh warga negara. Perwujudan keadilan dan keadilan sosial dalam Negara hukum Indonesia merupakan unsur utama, mendasar, sekaligus unsur yang paling rumit dan luas dimensinya. Keadilan sebagai kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang, apa yang seharusnya diterima. Untuk itu semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan dan kesejahtaraan masyarakat adalah adil. Keadilan dan keadilan sosial memiliki pertemalian yang erat, dalam konteks negara hukum Indonesia. 

Terwujudnya keadilan sosial, harus didasarkan atas keadilan, ketertiban dan keteraturan, dimana setiap orang mendapatkan kesempatan membangun kehidupan yang layak sehingga tercipta kesejahteraan umum. Amanat Konstitusi menegaskan Keadilan sosial selalu ditujukan untuk mewujudkan atau terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perwujudan keadilan sosial menghendaki upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat dientaskan dari kemiskinan dan agar kesenjangan sosial ekonomi di tengah-tengah masyarakat dapat dikurangi

Keempat, mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.  Peraturan perundang undangan yang dibuat merupakan sebuah  pedoman bagi seluruh warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena  Undang Undang berfungsi untuk mengatur kehidupan warga negara dalam menciptakan keamanan dan ketertiban bermasyarakat termasuk meningkatkan kesejahteraannya. Peraturan perundangan ditujukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka warga negara wajib menaati peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat oleh pemerintah dengan DPR dengan penuh kesadaran. 

Peraturan perundang undangan itu juga mengikat para penyelenggara negara.Sehingga  setiap tindakan pemerintah/pemerintahan harus berdasarkan hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Negara diselenggarakan tidak atas kemauan semata sang penguasa, tetapi negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa tunduk pada hukum tersebut.

Kelima, untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan ditengah masyarakat. Dibuatnya peraturan perundang undangan antara  lain juga untuk menciptakan ketertiban, kenyamanan  serta keteraturan masyarakat. Karena melalui Undang Undang dapat dijadikan sarana untuk  membatasi gerak seseorang dalam melakukan berbagai aktivitas, sehingga  ia  berperan penting dalam mencegah terjadinya perilaku yang menyimpang. Dengan mematuhi serta meneggakan hukum secara baik, maka dapat menciptakan ketertiban, kenyamanan  dan keteraturan masyarakat.

Mengapa Masyarakat Perlu dilibatkan dalam pembuatan Undang Undang ?

Selain mempunyai fungsi anggaran, pengawasan dan legislasi, DPR juga mempunyai fungsi representatif merujuk pada fungsinya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, sehingga parlemen harus mewakili dan mengekspresikan kepentingan dan pendapat masyarakat. 

Persoalan yang seringkali muncul selama ini, bahwa DPR, DPD, dan Pemerintah selaku penguasa pembentuk undang-undang dinilai kurang aspiratif dan tidak partisipatif. Padahal, bagaimanapun tujuan dibentuknya undangundang untuk kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia. 

Meskipun mandatnya sudah diserahkan kepada wakilnya, rakyat tetap mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam pembentukan suatu Undang Undang.Untuk merepresentasikan ide, rakyat tetap dapat menyuarakan aspirasinya melalui berbagai media baik media cetak, media elektronik, dan media konvensional lainnya yang secara konstitusional dijamin dalam rangka penghormatan terhadap hak asasi manusia. 

Dengan memahami pentingnya aspirasi masyarakat, maka materi muatan akan lebih berpihak untuk kepentingan rakyat. Adanya penyelewengan terhadap materi muatan yang ditujukan untuk kepentingan rakyat berarti mengingkari hakikat keberadaan undang-undang di tengah-tengah masyarakat. 

Berlakunya undang-undang yang tidak berpihak pada kepentingan publik akan berbahaya bagi kelangsungan tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Apalagi jika undang undang itu hanya menguntungkan pihak pihak tertentu saja.

Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan telah terakomodasi dalam ketentuan hukum positif Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. 

Dengan dianutnya asas keterbukaan dalam undang-undang tersebut, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Sementara itu, yang dimaksud masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan undang-undang. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. 

Partispasi masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang juga merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya: keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi 

Menurut Satjipto Rahardjo (1998:127),  transparansi dan partispasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan mengandung makna menjaga netralitas. Netralitas maksudnya berarti persamaan, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh pihak terutama masyarakat, mencerminkan suasana konflik antar kekuatan dan kepentingan dalam masyarakat. Keputusan dan hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat dan menjadi sumber informasi yang berguna sekaligus merupakan komitmen sistem demokrasi.

Penyerapan aspirasi masyarakat untuk mewujudkan perundang-undangan yang menyejahterakan, dapat dilakukan dengan jalan membuka ruang partisipasi seluruh komponen masyarakat. Ruang partisipasi tersebut meliputi: 1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan; 2. Merumuskan aturan main (rule of the game) khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan;

3. Untuk langkah awal pelaksanaan pemantauan, perlu merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara mengakomodir aspirasi masyarakat dalam Pembasahan Peraturan Perundang-Undangan. 4. Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur DPR RI, masyarakat, akademisi, dan media massa; 5. Memperluas jaringan kerja sama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya melalui ad hoc. Jaringan kerja sama tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.

Demikianlah prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam meningkatkan peran serta dan partisipasi aktif oleh masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Untuk itu, dalam kerangka normatif tersebut diatas, tentu perlu diimplementasikan dalam tataran praktek atau implementasinya. Lalu apakah saat ini prinsip prinsip tersebut telah dijalankan sebagaimana mestinya ?, 

Fungsi Legislasi Bergerak Menuju Negara Totaliter ?

Akhir akhir ini ditengah pandemi virus corona banyak kritik yang dialamatkan ke DPR dalam pelaksanaan tugas legislasinya.  Praktek penyusunan legislasi saat ini dinilai ugal ugalan dan cenderung mengarah pada ciri negara totaliter. Pasalnya, UU yang diproduksi dinilai  tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat di masa wabah dan hanya mengedepankan kepentingan politik serta ekonomi semata seperti yang disinggung oleh PSHK.

Praktek legislasi demikian memang lazim terjadi pada negara negara yang menganut sistem totaliter dan bukan negara demokrasi seperti yang berlaku di Indonesia. Untuk sekadar diketahui bahwa sistem pemerintahan totaliter  adalah bentuk pemerintahan dimana pemerintah berusaha untuk menguasai segala aspek kehidupan masyarakat. Penguasa mengatur aspek kehidupan masyarakat mulai dari ekonomi, politik, norma-norma yang berlaku, hingga paham dan kepercayaan masyarakat. 

Sistem totaliter  hadir sebagai lawan dari sistem demokrasi, yang mana dalam sistem ini, bukan pemerintah yang melayani masyarakat namun justru masyarakat yang melayani pemerintahnya. Masyarakat wajib mendukung segala kebijakan, lembaga pemerintahan, dan proses pembangunan negara ke dalam bentuk yang sesuai dengan keinginan penguasa.

Contoh negara totaliter di dunia seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRC), Uni Sovies pada masa Stalin, Jerman pada masa Nazi, Kamboja di era tahun 1970-an, Eritrea dan Korea Utara. 

Di negara negara yang menganut sistem totaliter ini maka praktek legislasi yang dijalankan adalah sesuai dengan kehendak penguasa saja. Karena dominannya kehendak penguasa maka pembentukan Undang-Undang tidak memerlukan peran aktif masyarakat  karena  rakyat sendiri  berada di bawah kendali negara dengan tujuan agar stabilitas di tengah masyarakat dapat terus terjaga. 

Hal tersebut memang  sejalan dengan watak suatu pemerintahan totaliter yang senantiasa berusaha untuk mengendalikan dan mengubah perilaku rakyat melalui ideologi; termasuk yang berkaitan budaya, ekonomi, politik, dan sosial mereka. Karenanya rezim totaliter sering dicirikan dengan represi politik, kontrol atas ekonomi, pembatasan bicara, pengawasan massa, kurangnya demokrasi, pengkultusan pemimpin, dan meluasnya penggunaan terorisme negara.

Pemerintah totaliter  tidak mentolerir pihak-pihak yang berbeda pendapat dan yang melakukan kontrol diktator atas banyak aspek kehidupan termasuk dalam pembuatan suatu Undang Undang. Mereka mengontrol kebebasan dan kemauan dari warga negaranya. Untuk melakukanya, pemerintah mengendalikan militer, alat komunikasi dan polisi secara absolut, sehingga masyarakat tidak bisa mengekspresikan suaranya.

Praktek legislasi yang terjadi di Indonesia saat ini yang cenderung mengabaikan aspirasi dan partisipasi rakyat pada akhirnya memunculkan pandangan bahwa  proses legislasi di Indonesia memang sedang bergerak ke sistem totaliter dalam pembuatan undang undangnya. Apakah memang demikian kenyataannya ?

Dalam konteks ini PSHK telah menunjukkan bukti  buktinya. Serperti  dikutip media, menurut PSHK Sepanjang 2020, setidaknya ada empat RUU kontroversial yang dibahas dan disahkan dalam waktu relatif singkat menjadi Undang-Undang. Padahal, penolakan warga sangat besar terutama kalangan buruh dan mahasiswa.

Pertama, perubahan atas UU Minerba. Revisi UU yang tuntas dala tiga bulan mendapatkan memberikan kewenangan pengelolaan izin tambang bagi pemerintah pusat, yang sebelumnya dipegang pemerintah daerah."Selain itu, proses pembahasannya dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel," ujar PSHK.

Kedua, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang Kebijakan Keuangan Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi UU. Perundangan ini dianggap melanggar konstitusi karena memberikan kewenangan penganggaran yang sangat besar kepada presiden."Dan mereduksi fungsi anggaran DPR," tulis PSHK.

Ketiga, perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi (MK). Substansi perubahan UU ini dinilai tak relevan dengan kebutuhan MK.Salah satu poin kontroversial adalah penambahan periode jabatan hakim konstitusi menjadi maksimal 15 tahun, dari sebelumnya dua periode. Hal ini dianggap memicu konflik kepentingan karena UU Cipta Kerja tengah diuji di MK.Selain itu, revisi UU MK dibahas dalam waktu yang amat singkat tanpa partisipasi masyarakat.

Keempat, UU Cipta Kerja. Presiden Jokowi sejak awal sudah menggarisbawahi pentingnya UU ini meski penolakan warga sangat besar karena dinilai lebih berpihak ke pengusaha dan merugikan kalangan buruh.

"Sikap pemerintah dan DPR yang terkesan memaksakan penyelesaian sejumlah RUU mengindikasikan adanya kepentingan tertentu di luar persoalan pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang seharusnya menjadi kewajiban mereka," ujar PSHK.

Bukti kecenderungan totaliter lainnya adalah menutup telinga terhadap kritik publik. Fraksi Rakyat Indonesia, yang merupakan koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh, dan organisasi kemahasiswaan, sudah menuntut agar DPR lebih fokus pada fungsi pengawasan dan anggaran penanganan Covid-19."Namun, desakan-desakan tersebut tidak membuat DPR menunda agenda legislasi guna berkonsentrasi mengawasi penanganan Covid-19," kata PSHK.

Kongkalingkong antara DPR dan pemerintah dalam pembuatan Undang Undang memang tidak terlepas dari konstelasi politik di Senayan saat ini dimana lembaga wakil rakyat itu dinilai telah “berselingkuh” dengan penguasa sehingga pembahasan Undang Undang yang seharusnya berjalan dengan penuh dinamika demokrasi dengan segala argumentasinya kali ini berjalan mulus mulus saja. Nyaris tidak ada perdebatan apalagi perlawanan perlawanan terhadap substansi Undang Undang maupun proses pembuatannya. Semuanya berjalan seiring sejalan, seia sekata sehingga menunjukkan kekompakan diantaranya kedua. 

Meskipun substansi Undang Undang maupun prosedur pembuatannya dinilai bermasalah tetapi nyaris tidak ada suara suara lantang dari gedung dewan untuk mengkritisisnya. Proses check  anda balances sepertinya memang memang telah berakhir dengan adanya “kemesraaan” antara dua lembaga yaitu DPR dan pemerintah yang berkuasa. 

Fenomena tersebut kiranya memang bagus untuk stabilitas semu pemerintahan namun sesunggunya malapetaka bagi kehidupan demokrasi di Indonesia karena penyimpangan penyimpangan yang terjadi nyaris tidak ada kekuatan yang bisa mengontrolnya sehingga merugikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari kontrol dari oligarkhi yang begitu dominan menentukan kebijakan kebijakan politik kelembagaan negara.

Sementara itu protes protes yang dilancarkan berbagai elemen masyarakat atas pembahasan Undang Undang yang dinilai kontroversial pada akhirnya juga memunculkan rasa kecewa bagi para pemotresnya. Karena ibarat kata pepatah  anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Undang Undang yang bersifat kontroversial tersebut tetap disahkan meskipun dinilai cacat materill dan formilnya.

Buntutnya selain demo yang merebak dimana mana, ada gugatan yang dilayangkan beberapa  elemen masyarakat ke MK. Banyak Undang Undang yang dimintakan permohonan uji materi dan uji formilnya ke MK meskipun hasilnya membuat masyarakat kecewa karena MK hampir selalu menolaknya. 

Penolakan dari MK seperti menjadi sinyal semakin kentaranya aroma kebijakan legislasi di Indonesia yang mengarah pada sistem negara totaliter dimana peran masyarakat dalam proses pembuatan Undang Undang  terkesan dinihilkan dan dianggap tidak ada.

Disini muncul kesan lembaga yudikatif seperti MK telah tunduk pada kemauan eksekutif sehingga keputusan keputusannya lebih banyak yang memihak pada kepentingan rejim yang sedang berkuasa.  Jika benar demikian maka artinya demokrasi telah mati meskipun faktualnya lembaga yudikatif seperti MK itu masih ada.

Dilihat dari aspek pelaksanaan fungsi legislasi, watak sistem negara totaliter itu sepertinya  memang ada. Terbukti dengan adanya pengabaian  protes protes yang dialamatkan ke penguasa dan keputusan lembaga yudikatif seperti MK yang terkesan memihak kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Sehingga tidak berkelebihan kiranya kalau ada yang menilai pelaksanaan fungsi legislasi di Indonesia telah mengarah kepada praktek pembuatan peraturan seperti yang terjadi di negara negara  totaliter pada umumnya. Bagaimana menurut Anda ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar