Cerita Jurnalis Dipidana karena Berita, UU ITE Lukai Arti `Merdeka`?

Rabu, 18/08/2021 22:10 WIB
Jurnalis media di Makassar dipenjara akibat menulis berita perkara korupsi (Net)

Jurnalis media di Makassar dipenjara akibat menulis berita perkara korupsi (Net)

Jakarta, law-justice.co - “Sedikitpun saya tidak pernah merasa takut atau ragu untuk kembali menulis hanya karena saya dipenjara. Saya justru lebih bersemangat lagi untuk menulis, khususnya untuk sebuah liputan mendalam.”

"SAYA tidak semestinya di sini. Saya bukan pelaku kriminal” itu yang terbesit dalam pikiran Muhammad Asrul saat pertama kali berada di dalam sel Rumah Tahanan Polda Sulawesi Selatan.

Jurnalis media daring berita.news ini dipenjara seusai menulis tiga artikel terkait kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan anak Wali Kota Palopo sekaligus Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Palopo, Farid Karim Judas.

Ketiga artikel itu masing-masing berjudul ‘Putra Mahkota Palopo Diduga Dalang Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M’; ‘Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas’; dan ‘Jilid II Korupsi Jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik untuk Farid Judas?’

Farid Judas melaporkan Asrul ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan pada 17 Desember 2019. Laporan tersebut teregistrasi dengan Nomor: LPB/465/XII/2019/SPKT Polda Sulsel.

Menerima laporan dari Putra Mahkota Palopo, aparat kepolisian bergerak cepat. Asrul dijemput penyidik di kediamannya Jalan Deppasawi Dalam, Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Makassar, 29 Januari 2020.

“TOK.. tok.. tok..” suara itu tiba-tiba terdengar dari balik pintu kediaman Asrul saat dia tengah meriung bersama dua anak dan istri sekitar pukul 13.00 WITA.

Andi Hasrianti, adik ipar Asrul, bergegas membukakan pintu. Tiga pria berbadan tegap berdiri di hadapan Andi. Mereka mengaku dari Polda Sulawesi Selatan.


“Ada Muhammad Asrul?” tanyanya.

Andi berjalan menemui Asrul. Mendinginkan kehangatan yang sebelumnya terjalin di tengah keriangan Asrul, istri dan dua anaknya.

“Ada orang mengaku dari Polda mencari abang,” bisik Andi kepada Asrul.

Asrul bergegas berdiri, lalu berjalan menuju pintu. Dalam pikirannya, dia sudah mengetahui kehadiran ketiga penyidik berkaitan dengan laporan yang dilayangkan Farid Judas.

“Ini surat panggilan pemeriksaan,” kata penyidik seraya menunjukan surat tersebut kepada Asrul. Pada surat tersebut tertera keterangan Asrul sedianya dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.


Asrul kemudian meminta izin kepada penyidik untuk sejenak menemui istrinya. Dia berjalan kembali menemui istrinya. Mencoba menenangkan, seakan tak ada masalah.

“Abang sebentar mau ke Polda. Ada urusan,” ucapnya.

Perlahan Asrul dan ketiga penyidik berjalan menuju mobil. Di tengah perjalanan dia melihat Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan. Dia mengenal sosok tersebut karena beberapa kali bertemu tatkala meliput di Polda Sulawesi Selatan.

“Tapi ternyata saya dibawa dengan mobil yang berbeda dengan Kasubdit Siber itu,” ujar Asrul.

Sekitar pukul 15.30 WITA Asrul tiba di Polda Sulawesi Selatan. Dia langsung menjalani pemeriksaan. Waktu berjalan menujuk pukul 20.30 WITA. Lima jam Asrul diperiksa tanpa didampingi pengacara.

Asrul sedikit lega, dalam pikirannya, mengira bisa kembali pulang, menemui anak dan istrin. Melanjutkan kembali kehangatan yang sempat didinginkan oleh kehadiran ketiga penyidik.

Namun, kenyataan berkata lain. Asrul tak diperkenankan pulang. Dia langsung ditetapkan sebagai tersangka dan digelandang ke Rutan Polda Sulawesi Selatan tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga.


Keesokan harinya, pada 31 Januari 2020 penyidik baru memberikan kabar lewat Surat Pemberitahuan Penahanan Nomor: B/70/I/2020/Ditreskrimsus Polda Sumsel.

“Sepuluh tahun saya berprofesi sebagai jurnalis, baru kali ini merasakan bui karena sebuah pemberitaan,” ungkapnya.


Butuh tiga hari tubuh Asrul menyesuaikan dengan keadaan di sel Rutan Polda Sulawesi Selatan.

Dinginnya lantai, lembabnya udara, dan sulitnya air. Tubuhnya meringkuk di antara penghuni tahanan lain. Mulutnya menolak setiap makanan yang masuk. Dalam hati dan pikirannya hanya tertuju pada anak dan istri.

“Tiga hari saya enggak bisa makan. Tidur ya hanya tidur ayam,” katanya.

Tiga puluh enam hari sejak Asrul ditahan, dia akhirnya dibebaskan. Tepat pada 5 Maret 2020 Asrul dibebaskan setelah penangguhan penahanannya dikabulkan.

Permohonan itu dikabulkan setelah Dewan Pers melayangkan surat ke Polda Sulawesi Selatan.


Surat tersebut salah satunya berisi pernyataan yang menegaskan tulisan Asrul merupakan karya jurnalistik.

Jadi, segala sengketa yang muncul karena karya itu, harus diselesaikan memakai mekanisme yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Meski penangguhan penahanan itu dikabulkan, perkara yang menjerat Asrul tetap lanjut. Hingga kekinian, perkara ini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Palopo. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Asrul dengan pasal berlapis.

Dia didakwa menyebarkan berita bohong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Kemudian menyebarkan ujaran kebencian dalam Pasal 28 Ayat 2 dan pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat 3 sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Asrul diancam dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara.

 

Digugat cerai

Perkara tudingan pencemaran nama baik yang dilayangkan Farid Judas berdampak panjang bagi kehidupan Asrul.


Semenjak berkasus di Polda Sulawesi Selatan, Asrul tidak lagi bekerja. Dia bahkan sempat dilarang menulis dan bermedia sosial selama proses hukum yang menjeratnya ditangani penyidik Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan.

Belakangan Asrul sempat ditawarkan perkerjan di salah satu media lokal di Makassar. Tawaran itu datang seusai kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan.

Namun, Asrul menolak. Dia ingin terlebih dahulu fokus menghadapi perkara yang tengah dihadapinya ini.

Proses persidangan atas kasus dugaan pencemaran nama baik yang dihadapi Asrul di Pengadilan Negeri Palolo belum juga selesai.

Kini Asrul dihadapi satu perkara lainnya di Pengadilan Agama. Dia digugat cerai oleh istrinya. Dalih sang istri menggugat cerai karena faktor ekonomi.

“Saya tidak mau terlalu dalam membahas ini. Karena dia juga sudah menikah siri dengan pria lain. Bahkan yang saya tahu, mereka juga sudah memilik anak,” tutur Asrul.

Sejak digugat cerai sang istri, Asrul kembali ke kediaman orang tuanya. Sehari-harinya, Asrul kembali terpangku kepada orang tua.

Satu-satunya sepeda motor matik Yamaha Soul milik Asrul telah dijual. Uang senilai Rp 7 juta hasil penjualannya digunakan untuk biaya oprasional selama masa persidangan.

Dari Makassar ke Pengadilan Negeri Palopo, Asrul biasa menggunakan bus dengan ongkos sekitar Rp500 ribu pulang-pergi berikut makan dan biaya lainnya.

Perjalanan dia tempuh selama hampir delapan jam. Asrul selalu berangkat satu hari sebelum agenda persidangan berlangsung.

Saat ini satu-satunya yang terus terpikiran oleh Asrul ialah kabar kedua anaknya. Sejak Ramadhan tahun lalu hingga kekinian dia belum pernah bertemu dengan kedua anaknya.

Dia dikaruniai anak laki-laki yang kekinian masih berusia 11 tahun. Sedangkan yang terkecil, perempuan dengan usia 6 tahun.

“Sejujurnya sampai saat ini saya belum menceritakan tentang kasus yang sedang saya hadapi. Mungkin mereka mengetahui saya sibuk bekerja,” tutur Asrul dengan nada berat.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB atau sekitar pukul 21.00 WITA saat Asrul menghubungi saya lewat pesan singkat.

Dia berkirim pesan sedang bersiap berangkat ke Pengadilan Negeri Palopo pada Minggu (15/8/2021).

Keesokan harinya dia akan menghadapi sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Dewan Pers dan Bahasa yang dihadirkan oleh JPU.

“Doakan ya semoga lancar sidangnya,” singkat Asrul.

Pers belum merdeka

Perkara yang dihadapi Asrul menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap profesi jurnalis di Indonesia.

Padahal, kemerdekaan pers merupakan syarat mutlak untuk mendorong pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.

Bagaimana mungkin pemerintahan yang bersih ini bisa tercipta, jika produk-produk jurnalisme dikriminalisasi semacam ini.

“Pada peringatan HUT ke-76 kemerdekaan RI ini, kami sebenarnya ingin menyampaikan ke pemerintah, ke presiden dan aparat penegak hukum bahwa teman-teman jurnalis masih belum merdeka dari kekerasan,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.

Sasmito menilai, pemidanaan terhadap Asrul menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.

Sengketa pers sudah semestinya diselesaikan dengan mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers.

Di lain sisi, apa yang dialami oleh Asrul menurut Sasmito juga semakin memperpanjang daftar penyalahgunaan Undang-Undang ITE untuk menjerat jurnalis dalam karyanya. Sekaligus, mengancam sikap kritis warga terhadap dugaan kasus korupsi.

“AJI Indonesia dalam kurun waktu tiga hari kedepan ini mulai tanggal 16,17, dan 18 Agustus kita ingin mengkampanyekan tentang merdeka dari kekerasan. Ada beberapa hal yang ingin kita coba ingatkan ke pemerintah dan presiden terkait kasus-kasus yang menjadi perhatian AJI. Seperti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi dan beberapa teror yang dialami jurnalis di Papua,” katanya.

Sekitar pukul 15.30 WIB sehari sebelum Indonesia genap merdeka diusia ke-76, ponsel di saku saya kembali bergetar.

Pesan singkat datang dari Asrul. Dia mengabarkan persidangan telah selesai. Saat mengirim pesan, dia tengah dalam bus perjalanan kembali menuju rumahnya di Makassar.

“Doakan semoga perkara saya cepat selesai dan hati nurani majelis hakim terbuka untuk memvonis bebas. Setidaknya ini akan menjadi kado kemerdekaan, bukan untuk saya semata. Tapi untuk profesi jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia."

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar