Farid Fathur, Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN Indonesia)

Polemik Calon Anggota BPK; Gugat di PTUN, Sikap DPD & Menkeu Diam Saja

Kamis, 19/08/2021 05:29 WIB
Tangkapan layar hasil rekapitulasi nilai fit and proper test calon anggota BPK RI oleh DPD RI (Foto: Dok. DPD RI).

Tangkapan layar hasil rekapitulasi nilai fit and proper test calon anggota BPK RI oleh DPD RI (Foto: Dok. DPD RI).

Jakarta, law-justice.co - Polemik tentang pemilihan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang saat ini sedang bergulir di Komisi XI DPR RI terus berlanjut dan makin panas. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) secara resmi sudah mendaftarkan gugatannya kepada Ketua DPR RI, Puan Maharani, di PTUN Jakarta, Selasa (10/8).

Koordinator MAKI, Boyamin Saiman mengugat surat Ketua DPR RI Nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 yang ditujukan kepada pimpinan DPD RI tentang penyampaian 16 nama Calon Anggota BPK RI.

Boyamin yakin bahwa surat tersebut bermasalah, karena dua dari 16 nama yang diajukan oleh Pimpinan DPR RI, yakni Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin, tidak memenuhi syarat utama sebagai calon anggota BPK RI. "Tujuan kami adalah ingin membatalkan surat tersebut. Termasuk membatalkan dua nama yang bermasalah dan tidak memenuhi syarat," kata Boyamin.

Peluru pembuktian hukum yang digunakan MAKI adalah Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang berbunyi: Untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus memenuhi syarat, yakni paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.

Dua nama di atas dianggap tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota BPK karena belum genap dua tahun melepas jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Nyoman adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III) pada periode Oktober 2017-Desember 2019. Sementara Harry Z Soeratin bahkan baru Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).

Polemik tentang jabatan kedua calon anggota BPK itu membuat Komisi XI DPR RI meminta fatwa Mahkamah Agung (MA). MA diminta menilai apakah benar keduanya memang tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam proses pemilihan anggota BPK pada tahap selanjutnya.

Koalisi Masyarakat Kawal BPK atau Save#BPK (terdiri dari Pusat Kajian Keuangan Negara, Jaringan Informasi Rakyat, Komite Aksi Pemuda Anti Korupsi) menilai, permintaan fatwa itu berlebihan dan tidak dibutuhkan.

Perwakilan Save#BPK dari Pusat Kajian Keungan Negara Adi  Prasetyo kepada Law-Justice.co mengatakan, DPR RI harusnya cukup belajar dari kasus pengangkatan calon anggota BPK periode 2009-2014. Saat itu, Gunawan Sidauruk dan Dharma Bakti yang masing-masing menjabat sebagai Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat dan Sekretaris Jenderal BPK RI batal disahkan dalam rapat paripurna DPR RI.

Padahal saat itu, MA mengeluarkan fatwa bahwa calon anggota yang berasal dari internal BPK, tidak cukup kuat untuk disebut memiliki Conflict of Interest (Konflik kepentingan). Namun MA saat itu menyerahkan keputusan pada pimpinan DPR. Lalu DPR akhirnya menganulir duan ama yang sudah terpilih tersebut.

"Ini artinya yang begitu saja (dari internal BPK) dianulir. Kenapa yang jelas-jelas berasal dari eksternal BPK dan bermasalah malah dipertahankan?" lanjut Prasetyo kepada Law-Justice.co. Prasetyo melihat ada yang tidak beres dalam proses seleksi calon anggota BPK di Komisi XI sehingga mereka memutuskan untuk mengadukan hal tersebut ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

"Bukan berarti yang 14 itu tidak ada masalah ya. Tapi kami mengacu pada norma hukum UU BPK, bahwa hanya dua orang itu yang tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota BPK," lanjut dia.
 
Prasetyo mengatakan, jika syarat awal sudah terpenuhi, baru kemudian mereka akan menilik rekam jejak para calon anggota BPK RI berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), afiliasi poltik, dan pengalaman kinerja.

"Kami pasti akan mengkaji LHKPN dan afiliasi politik dan Itu sangat penting. Biar nanti publik bisa menilai sendiri, mana yang pantas dipilih," ucap Prasetyo. Terkait dua nama yang dipersoalkan, Prasetyo menegaskan, sangat penting bagi Komisi XI DPR RI untuk menjalankan amanat UU BPK khususnya Pasal 13 huruf j.

"Kalau sebelum dua tahun meninggalkan KPA, memang dikhawatirkan ada Conflict of Interest. Mereka sangat berpotensi untuk memeriksa hasil audit keuangan atau kinerja dimana mereka masih menjabat sebagai KPA. Bahkan ada yang mengusulkan, idealnya itu lima tahun," jelas Prasetyo.

Apalagi, lanjut dia, kedua orang tersebut adalah KPA di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menjadi salah satu objek utama pemeriksaan BPK. Jika salah pilih orang, kata Prasetyo, ada potensi pelonggaran pemeriksaan di lingkungan Kemenkeu.

"Sebagai bendahara umum negara, Kemenkeu punya banyak PR ke depannya. Kemenkeu punya beban fiskal untuk mengelola keuangan, termasuk bagaimana proses transfer ke daerah yang sering jadi sorotan. Peran BPK menjadi sangat penting," imbuh dia.

Melihat pentingnya posisi kedua calon yang menjadi sorotan, Koalisi Save#BPK kembali menegaskan bahwa Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z Soeratin harus digugurkan sebelum proses Fit and Proper Test berlangsung.

Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati mengatakan, persyaratan sebagai calon anggota BPK RI sebagaimana tertuang dalam UU BPK memang harus dipatuhi.

“Apabila sah memenuhi syarat secara hukum, proses pencalonan bisa diteruskan. Tetapi jika tidak, maka ini tentu ada indikasi melanggar ketentuan perundangan-undangan,” kata Anis kepada wartawan.

Hasil Fit and Proper Tes DPD

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah selesai melaksanakan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap calon anggota BPK RI pada 10-11 Agustus 2021 dan DPD RI membuat daftar peringkat calon yang paling direkomendasikan kepada DPR RI.

Secara berurutan, berikut daftar nilai hasil rekapitulasi dari penilaian fit and proper test calon anggota BPK RI oleh Komite IV DPD RI ,yaitu :

1. La Ode Nusriadi (82.00)
2. Dori Santosa (81.88)
3. Dadang Suwarna (81.45)
4. Blucer Welington Rajagukguk (81.24)
5. Nyoman Adhi Suryadnyana (79.88) *
6. Muhammad Syarkawi (77.07)
7. Widiarto (74.70)
8. Teuku Surya Darma (73.92)
9. Nelson Humiras Halomoan (73.77)
10. Shohibul Imam (73.71)
12. Harry Zacharias Soeratin (71.98) *
12. Kristiawanto (71.47)
13. Hari Pramudiono (68.55)
14. Muhammad Komarudin (67.02)
15. Encang Hermawan (63.57)
16. Ir. Mulyadi (Tidak hadir)

Walaupun dua calon bermasalah, Nyoman dan Harry digugat oleh MAKI ke PTUN Jakarta, namun DPD tetap memberi skor penilaian  Nyoman berada diurutan ke 5 dan Harry ke 12.  Namun dalam daftar hasil fit and proper tes disebutkan terdapat 2 (dua) nama Calon Anggota BPK  (yang diberi tanda bintang) yang tidak memenuhi persyaratan  formil sebagaimana yang disampaikan dalam Undang-Undang  Nomor 15 tahun 2006 Pasal 13 ayat (j) “paling singkat telah 2  (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di  lingkungan pengelola keuangan negara”. Terhadap catatan ini DPD memberikan kewenangan kepada  lembaga terkait untuk memutuskannya.

Ada Apa Menkeu Diam Saja

Sudah sebulan lebih polemik soal pencalonan dua anggota korps Kemenkeu ini berlangsung, namun sampai saat ini belum ada respon dan komentar dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani sebagai atasan tertinggi keduanya.

Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di ruang publik ada apa kok Sri Mulyani seperti diam saja. Sementara sorotan tajam terus diarahkan kepada dua bawahannya yang pencalonannya dinilai bermasalah dan tidak memenuhi ketentuan UU BPK RI.

Timbul tanda tanya, apakah sebagai Menkeu, Sri Mulyani memang tidak tahu menahu soal pencalonan ini atau dia tidak mau mencampuri urusan ini. Apapun alasan Menkeu, yang jelas publik tahu bahwa kedua calon adalah pejabat aktif di Kemenkeu dan karena itu jelas keduanya ada dalam kendali kontrol dan pengawasan Menkeu.

Karena berada dalam kontrol Kemenkeu, tentu keduanya melapor kepada atasan langsung untuk minta ijin mencalonkan diri sebagai calon anggota BPK. Atasan langsung kedua calon tersebut juga pasti melapor berjenjang kepada atasannya dan akhirnya sampai kepada Menkeu.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah keduanya mencalonkan diri atas inisiatif sendiri, atas perintah atau permintaan atasannya, atau penugasan dari Menkeu. Kalau pencalonannya berdasarkan permintaan atasan atau penugasan dari Menkeu, ada yang tidak masuk akal. Masa untuk jabatan anggota BPK yang merupakan unsur pimpinan pejabat tinggi negara setingkat dengan Presiden, Menkeu mengirim calon yang eselon pimpinannya adalah baru eselon 3 (Nyoman) dan eselon 2 (Harry).

Paling tidak Menkeu biasanya akan merekomendasikan calon mantan Dirjen atau Sekjen yang minimal eselon 1. Menkeu pasti ingin calon yang diusungnya untuk jabatan sekaliber anggota BPK, adalah harus pejabat tinggi madya yang sudah sangat senior, sehingga punya daya saing yang kompetitif saat diuji fit and proper di Komisi 11 DPR. Jelas jika yang dipilih Menkeu setingkat pejabat eselon 1, sudah pasti tidak tersandung dengan ketentuan 2 tahun minimum telah selesai menjabat  sebagai KPA.

Menkeu Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan terbaik yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan internasional dan pastinya akan memilih orang-orang terbaiknya dan memenuhi syarat ketentuan UU untuk ditugaskan di tempat lain. Saat ini faktanya dua calon dari Kemenkeu jelas bermasalah dan melanggar ketentuan UU BPK. Seharusnya Menkeu harus bersikap dan tidak bisa diam saja, agar publik tahu bahwa Menkeu taat pada ketentuan aturan hukum yang berlaku dan ikut menjaga wibawa dan marwah Lembaga Tinggi Negara BPK.

Caranya, sebagai atasan tertinggi kedua calon itu, Menkeu sangat bisa memerintahkan dua anak buahnya yang tidak memenuhi syarat pencalonan itu, untuk segera menarik diri dari pencalonan, sehingga polemik pencalonan ini yang sekarang sudah memasuki ranah hukum itu, bisa diakhiri dan kembali proses di Komisi 11 DPR bisa berjalan kondusif.

Menkeu harus sadar bahwa dua anakbuahnya yang mencalonkan diri ini, secara tidak langsung sebenarnya sudah mempermalukan institusi Kemenkeu. Sebab sebelum mencalonkan diri pastilah keduanya sudah tahu persis syarat untuk menjadi calon anggota BPK sesuai aturan UU BPK, ada ketentuan 2 tahun minimun telah selesai menjabat sebagai KPA. Namun keduanya tetap memaksakan diri untuk mencalonkan diri. Artinya masih menjadi calon saja, keduanya sudah berani mencoba melanggar ketentuan UU, lantas bagaimana nanti kalau  sudah terpilih resmi menjadi anggota BPK??.

Sebaliknya, jika Menkeu tidak bersikap dan proses pencalonan berjalan terus walau sudah digugat secara hukum, publik bisa menyimpulkan bahwa Menkeu telah bersekongkol dan secara sadar telah mengikuti skenario Komisi 11 DPR yang tetap ngotot mencalonkan keduanya walau bermasalah secara aturan UU. Terlalu mahal nilai harga dan reputasi seorang Menkeu terbaik di dunia, yang mau pasang badan untuk meloloskan pejabat yang hanya eselon 3 dan 2 yang syarat pencalonannya cacat hukum.

Menkeu Sri Mulyani harus ikut menjaga marwah, wibawa dan kehormatan  BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara. Korps BPK tentu merasa terdegradasi jika nanti misalnya yang terpilih adalah salah satu dari dua calon yang bermasalah ini.

Selain itu hasil keputusan DPD sebagai Lembaga Tinggi Negara yang menyatakan secara tegas pencalonan Nyoman dan Harry tidak memenuhi persyaratan UU BPK, harusnya dipatuhi oleh kedua calon tersebut dan atasan tertingginya yakni Menteri Keuangan. Kalau kedua calon dan Menkeu tetap menjalankan terus pencalonan keduanya ini, maka kedua calon dan Menkeu jelas tidak menghargai eksistensi dan keputusan sebuah Lembaga Tinggi Negara.

Terus diamnya Menkeu, bisa timbul persepsi Menkeu tersandera kepentingan dari anggota Komisi 11 DPR, yang juga adalah mitra kerjanya. Publik jadinya semakin punya alasan kuat untuk terus mempertanyakan ada apa Komisi 11 DPR dan Menkeu tetap ngotot mencalonkan dua orang itu, walau sudah ditolak oleh DPD.

Ada apa Menkeu sampai berani pasang badan dan tak berani menarik bawahannya dari proses pencalonan tersebut?. Publik bisa saja berkesimpulan dalam pencalonan anggota BPK ini, Menkeu punya hidden agenda dan mutual relation (relasi saling menguntungkan) dengan Komisi 11 yang juga sebagian anggotanya adalah juga anggota Badan Anggaran DPR RI, yang juga mitra kerja Menkeu.

(Warta Wartawati\Januardi Husin)

Share:




Berita Terkait

Komentar